Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Restorative Justice, Obat Mujarab untuk Luka Pendidikan

4 Oktober 2024   16:14 Diperbarui: 4 Oktober 2024   16:56 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI penyelesaian masalah dengan cara Restorative Justice | sumber gambar: the74million.org

Kekerasan di sekolah seringkali dianggap sebagai bagian dari dinamika pendidikan yang tidak terhindarkan.

Di Indonesia, masalah kekerasan di sekolah, baik itu antara siswa atau antara guru dan siswa, masih menjadi persoalan serius. Hukuman fisik, skorsing, atau bahkan dikeluarkan dari sekolah seringkali menjadi solusi pertama. Namun, apakah pendekatan hukuman keras ini efektif dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan harmonis?

Pendekatan represif ini tidak hanya gagal menyelesaikan akar permasalahan kekerasan, tetapi seringkali memperburuk situasi, menyebabkan siswa semakin terisolasi dan kehilangan rasa keterhubungan sosial. Di sinilah pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif, dapat memberikan solusi yang lebih manusiawi. Dengan fokus pada pemulihan hubungan dan perbaikan sosial, restorative justice memberikan pandangan baru tentang bagaimana konflik di sekolah dapat dikelola tanpa kekerasan.

Kekerasan di Sekolah: Masalah yang Mendarah Daging

Kekerasan di sekolah adalah cerminan masalah yang lebih besar dalam masyarakat. 

Di Indonesia, ketimpangan sosial, perbedaan status ekonomi, dan budaya patriarki sering memperparah masalah kekerasan di sekolah. Misalnya, kasus perundungan tidak hanya terjadi antara siswa, tetapi juga antara guru dan siswa. Sebuah survei oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa kekerasan fisik, verbal, dan psikologis masih sering terjadi di lingkungan sekolah, yang menyebabkan siswa mengalami trauma dan kesulitan belajar.

Dalam situasi ini, hukuman represif hanya memperkuat siklus kekerasan. Seorang siswa yang dihukum karena berperilaku buruk mungkin tidak akan belajar bagaimana memperbaiki perilakunya, melainkan menjadi semakin terpinggirkan. Ketika rasa saling menghargai tidak ditanamkan, masalah kekerasan akan terus terulang. Restorative justice menawarkan alternatif yang lebih solutif, dengan fokus pada dialog dan penyelesaian masalah bersama, sehingga menciptakan ruang di mana hubungan dapat dipulihkan dan konflik diselesaikan dengan cara yang lebih positif.

Apa Itu Restorative Justice?

Restorative justice adalah pendekatan yang mendorong dialog antara pelaku dan korban, serta melibatkan komunitas sekolah dalam proses penyelesaian konflik.

Daripada menghukum pelaku dengan sanksi yang keras, model ini mengutamakan pemulihan sosial dan emosional baik bagi korban maupun pelaku. Inti dari pendekatan ini adalah pemulihan hubungan yang rusak dan perbaikan terhadap kerugian yang terjadi, alih-alih fokus pada pembalasan.

Margaret Thorsborne dan Peta Blood dalam bukunya "Restorative Justice in Education: A Practical Guide to Building a Restorative School" menyatakan bahwa pendekatan ini bukan hanya bertujuan menyelesaikan konflik, tetapi juga menciptakan lingkungan sekolah yang lebih inklusif. Dalam praktiknya, restorative justice memungkinkan pelaku untuk menyadari dampak dari perbuatannya, meminta maaf, dan melakukan tindakan reparasi yang sesuai untuk memulihkan kerugian yang dialami korban.

Proses ini tidak hanya mengajarkan pelaku tentang tanggung jawab pribadi, tetapi juga membantu korban merasa dihargai dan didengar. Dengan adanya dialog terbuka, seluruh pihak dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi yang mendukung keberlanjutan hubungan sosial yang sehat di sekolah.

Studi Kasus: Keberhasilan Restorative Justice di Sekolah

Penerapan restorative justice di sekolah telah terbukti efektif di berbagai negara.

Salah satu contoh yang paling menonjol adalah di Selandia Baru, di mana pendekatan ini berhasil mengurangi kekerasan di sekolah dan meningkatkan suasana belajar yang lebih kondusif. Di Te Aroha College, misalnya, restorative justice digunakan sebagai cara untuk menanggulangi kekerasan antar siswa. Hasilnya sangat positif: kekerasan menurun drastis dan siswa menjadi lebih mampu menyelesaikan konflik dengan cara yang tidak mengandalkan hukuman.

Tidak hanya itu, studi meta-analisis yang dilakukan oleh A. D. Gregoriou dan E. M. Mendez di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa restorative justice di sekolah efektif dalam mengurangi kekerasan dan pelanggaran disiplin. Siswa yang terlibat dalam praktik restorative justice melaporkan peningkatan dalam hubungan mereka dengan teman sekelas dan guru, serta berkurangnya tingkat stres dan kecemasan di lingkungan sekolah.

Bisakah Restorative Justice Diterapkan di Indonesia?

Di Indonesia, tantangan utama dalam menerapkan restorative justice di sekolah adalah persepsi masyarakat tentang hukuman dan disiplin.

Banyak yang masih memandang hukuman fisik sebagai cara yang sah untuk mengendalikan perilaku siswa. Namun, dengan pemahaman yang lebih baik tentang manfaat restorative justice, perubahan ini dapat diadopsi secara bertahap. Sekolah-sekolah yang ingin menerapkan model ini perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah, pelatihan untuk guru, serta keterlibatan seluruh pihak yang ada di lingkungan sekolah.

Hambatan lain adalah ketimpangan kekuasaan yang sering kali terjadi di lingkungan sekolah. 

Di Indonesia, pelaku kekerasan atau perundungan tidak jarang berasal dari keluarga yang lebih mampu secara ekonomi, sementara korban adalah siswa dari latar belakang ekonomi yang kurang beruntung. Dalam situasi seperti ini, orang tua pelaku sering menggunakan kekuasaan atau status sosial mereka untuk menghindari konsekuensi bagi anak mereka. 

Hal ini tentu menjadi tantangan besar dalam pelaksanaan restorative justice. Namun, jika pendekatan ini diterapkan dengan transparansi dan kesetaraan, hal ini dapat membantu membongkar ketidakadilan sistemik yang ada di sekolah.

Restorative Justice untuk Kasus Pelecehan Seksual

Salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh sekolah di Indonesia adalah pelecehan seksual.

Baik itu pelecehan antara siswa atau pelecehan yang dilakukan oleh guru kepada siswa, kasus-kasus ini sangat merusak lingkungan sekolah dan dapat meninggalkan trauma jangka panjang bagi korbannya. Bagaimana restorative justice dapat diimplementasikan dalam kasus-kasus yang sensitif ini?

Penting untuk dicatat bahwa restorative justice bukanlah pengganti dari sistem peradilan pidana.

Dalam kasus pelecehan seksual, pelaku tetap harus bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Namun, restorative justice dapat menjadi pelengkap yang memberikan ruang bagi korban untuk didengar dan mendapatkan keadilan emosional dan sosial. Dalam beberapa kasus, korban mungkin ingin terlibat dalam dialog dengan pelaku sebagai bagian dari proses penyembuhan, sementara dalam kasus lain, mereka mungkin lebih memilih untuk tidak berinteraksi langsung.

Dalam kasus pelecehan seksual oleh siswa atau guru, pendekatan restorative justice harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Fasilitator yang berpengalaman harus dilibatkan untuk memastikan bahwa proses ini berjalan dengan aman dan tidak memperburuk trauma korban. Restorative justice dalam konteks ini dapat mencakup:

  • Pemulihan korban: Korban diberi kesempatan untuk menyuarakan perasaan dan dampak yang dirasakannya dalam suasana yang aman dan mendukung.
  • Tanggung jawab pelaku : Pelaku harus mengakui perbuatannya, meminta maaf, dan menunjukkan upaya untuk memperbaiki kerusakan yang telah mereka timbulkan, baik melalui tindakan langsung maupun melalui reparasi simbolis.
  • Komunitas sekolah: Seluruh komunitas sekolah dilibatkan dalam proses untuk memastikan bahwa budaya yang mendukung kekerasan atau pelecehan tidak lagi berlanjut.

Tantangan Budaya dan Ekonomi dalam Implementasi Restorative Justice

Tantangan lain dalam menerapkan restorative justice di Indonesia adalah budaya hierarkis yang kuat, di mana otoritas guru atau orang tua seringkali tidak bisa dipertanyakan.

Dalam banyak budaya lokal, otoritas guru dianggap mutlak, sehingga membuka ruang untuk dialog terbuka antara guru dan siswa menjadi tantangan tersendiri. Di sisi lain, pendidikan di Indonesia seringkali lebih fokus pada hasil akademik ketimbang perkembangan emosional dan sosial siswa.

Selain tantangan budaya, faktor ekonomi juga menjadi kendala. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, kekurangan sumber daya untuk menyediakan pelatihan bagi guru dan staf sekolah dalam menerapkan restorative justice. Pemerintah perlu memberikan dukungan finansial dan regulasi yang memadai agar pendekatan ini dapat diterapkan secara efektif di seluruh sekolah di Indonesia.

Restorative Justice: Langkah Nyata untuk Sekolah yang Lebih Baik

Meski tantangan yang dihadapi cukup besar, penerapan restorative justice di sekolah-sekolah Indonesia tetap mungkin jika dilakukan dengan perencanaan yang matang.

Pemerintah bisa mengambil peran penting dalam menyediakan pelatihan bagi guru, mempromosikan kesadaran akan manfaat pendekatan ini, dan mengintegrasikan restorative justice ke dalam kurikulum nasional. Dukungan dari komunitas sekolah juga diperlukan untuk memastikan bahwa pendekatan ini bisa berjalan dengan lancar.

Kesimpulan

Restorative justice menawarkan solusi yang lebih manusiawi dan berkelanjutan dalam mengatasi kekerasan di sekolah.

Dengan mengutamakan dialog dan pemulihan hubungan, pendekatan ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif bagi semua siswa. Meskipun tantangan sosial, ekonomi, dan budaya tetap ada, restorative justice memberikan harapan baru untuk pendidikan yang lebih baik di Indonesia---pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk generasi yang saling menghargai dan bertanggung jawab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun