Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga global. Namun, di tanah air, di mana norma sosial sering mengakar kuat pada tradisi dan pendidikan yang mendalam, pergeseran ini terasa lebih mencolok.Â
Generasi muda kini lebih tertarik untuk menjadi influencer, YouTuber, atau selebritas media sosial daripada pemikir, akademisi, atau pemimpin yang berbasis pada ilmu dan wawasan.Â
Pengaruh "jago joget" ini begitu kuat hingga menembus institusi-institusi pendidikan dan politik.
Kepemimpinan Masa Depan: Antara Lampu Sorot dan Tinta Pemikiran
Ketika kita melihat sejarah Indonesia, pemimpin-pemimpin besar seperti Bung Karno, Bung Hatta, hingga Gus Dur diakui bukan karena mereka viral, melainkan karena mereka memiliki kedalaman pemikiran dan visi yang kokoh.Â
Mereka menghabiskan waktu berjam-jam dengan buku, refleksi, dan diskusi, jauh dari hingar bingar panggung populer. Kecerdasan mereka bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kepentingan bangsa.
Namun, kepemimpinan seperti ini semakin jarang kita temui. Sekarang, yang sering mendapat sorotan adalah mereka yang mampu bermain dengan narasi populer, yang pandai menari di bawah lampu sorot viralitas.Â
Kepemimpinan tak lagi diukur dari seberapa dalam pemikiran seseorang, tetapi seberapa luas pengaruhnya di media sosial. Apakah ini berarti kecerdasan telah mati?Â
Kita perlu waspada bahwa era ini, yang lebih mengutamakan "jago joget" di atas intelektualisasi, sedang merayakan keglamoran yang sering kali dangkal.Â
Akibatnya, pemimpin-pemimpin masa depan mungkin akan lebih pandai dalam hal tampil di depan kamera daripada membangun narasi yang kuat untuk memimpin bangsa.
Menghadapi Gelombang: Intelektual atau Selebritas?
Kita tidak bisa menolak perubahan zaman. Namun, kita juga tidak boleh menyerah pada hipnotisme budaya populer tanpa perlawanan.Â
Pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada generasi muda adalah: Apakah Anda ingin menjadi pemimpin dengan pemikiran mendalam, atau hanya sekadar viral tanpa substansi?