Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

'Joget' Intelektual

17 September 2024   09:38 Diperbarui: 17 September 2024   16:57 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar penghibur. Negara ini membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi, perubahan iklim, krisis ekonomi, dan banyak lagi. 

Namun, tantangan terbesar yang kita hadapi sekarang adalah menjaga agar kecerdasan dan intelektualisasi tetap relevan di tengah-tengah badai viralitas.

Dengan menggunakan metafora "tinta pemikiran" versus "lampu sorot panggung," kita dapat memahami perbedaan mendasar antara dua jalan yang terbuka bagi generasi muda. 

Tinta pemikiran adalah investasi jangka panjang yang membangun kedalaman karakter dan visi. Sementara itu, lampu sorot panggung adalah kilauan sesaat yang sering kali redup begitu tren bergeser.

Antara Harapan dan Tantangan

Pendidikan masih menjadi kunci. Jika kita bisa menanamkan dalam benak anak muda bahwa menjadi cerdas lebih penting daripada sekadar viral, kita masih punya harapan. 

Sistem pendidikan Indonesia, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, harus mampu menumbuhkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan, pemikiran kritis, dan refleksi mendalam.

Namun, tanggung jawab ini tidak bisa hanya diletakkan pada pundak institusi pendidikan. Orang tua, tokoh masyarakat, dan bahkan media massa juga memiliki peran penting. 

Narasi tentang pentingnya kecerdasan harus terus digaungkan, bahkan jika hal tersebut mungkin tidak sepopuler joget TikTok.

Kita sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, budaya populer yang mendewakan viralitas menggoda kita untuk mengikuti arusnya. 

Di sisi lain, tradisi intelektual menantang kita untuk tetap berpikir mendalam di tengah dunia yang semakin dangkal. Saatnya kita bertanya pada diri sendiri dan pada generasi muda: Apakah kita ingin dikenang sebagai pemimpin yang membangun bangsa dengan pemikiran, atau sekadar selebritas yang menghibur sesaat di bawah lampu sorot panggung?

Pilihan ada di tangan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun