Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

'Joget' Intelektual

17 September 2024   09:38 Diperbarui: 17 September 2024   16:57 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: flickr.com

"Yang saya takutkan itu anak-anak muda sudah terdidik tapi terhipnotis, bahwasanya kedepan kalau mau mencapai posisi kepemimpinan, dalam konteks apapun: akademisi, ekonomi, usaha, politik, spiritual dan lain-lain. Yang lebih penting adalah bisa joget, bukan melakukan intelektualisasi. Karena saat ini yang jago joget itu yang lebih viral." -- Gita Wirjawan

Bayangkan sebuah ruangan yang sunyi, dengan deretan buku berjajar rapi. Di sudut meja, terdapat seorang pemimpin besar, tenggelam dalam perenungan mendalam, setiap helai kertas yang dibaca memperkuat visinya untuk masa depan bangsanya. 

Inilah gambaran klasik dari sosok seperti Muhammad Hatta---pemikir, pejuang, wakil presiden pertama Indonesia. 

Ruang kerjanya dipenuhi dengan buku-buku yang menjadi bahan bakar intelektualnya, mendirikan perpustakaan pribadi dari koleksi yang melimpah. Namun, dalam dunia modern, pemandangan ini berubah drastis.

Hari ini, ruang kerja para tokoh publik justru sering dipenuhi oleh benda-benda yang lebih mencolok secara visual tetapi mungkin kurang substansi. 

Koleksi action figure, mainan, dan perangkat teknologi terbaru lebih sering menghiasi gambar-gambar viral di media sosial. Tidak sedikit yang mengasosiasikan kepemimpinan dengan gaya hidup populer alih-alih intelektualitas. 

Netizen bahkan membandingkan koleksi mainan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, dengan koleksi buku Bung Hatta---sebuah kontras antara pemikiran mendalam dan budaya populer.

Namun, apakah ini sebuah tanda sesuatu yang perlu dikawatirkan, atau hanya transformasi yang wajar dalam budaya kepemimpinan? Apakah kita sedang mencetak generasi yang cerdas, atau generasi yang viral?

'Joget' Intelektual: Antara Kecerdasan dan Popularitas di Era Digital

Di era digital, menjadi terkenal lebih mudah daripada sebelumnya. Satu video TikTok yang menampilkan joget sederhana dapat menjangkau jutaan mata dalam hitungan jam. 

Influencer tumbuh seperti jamur di musim hujan, mendapatkan pengaruh melalui layar ponsel. Ketika popularitas menjadi ukuran kesuksesan, kompetisi intelektual sering kalah oleh mereka yang mampu menghibur.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga global. Namun, di tanah air, di mana norma sosial sering mengakar kuat pada tradisi dan pendidikan yang mendalam, pergeseran ini terasa lebih mencolok. 

Generasi muda kini lebih tertarik untuk menjadi influencer, YouTuber, atau selebritas media sosial daripada pemikir, akademisi, atau pemimpin yang berbasis pada ilmu dan wawasan. 

Pengaruh "jago joget" ini begitu kuat hingga menembus institusi-institusi pendidikan dan politik.

Kepemimpinan Masa Depan: Antara Lampu Sorot dan Tinta Pemikiran

Ketika kita melihat sejarah Indonesia, pemimpin-pemimpin besar seperti Bung Karno, Bung Hatta, hingga Gus Dur diakui bukan karena mereka viral, melainkan karena mereka memiliki kedalaman pemikiran dan visi yang kokoh. 

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam dengan buku, refleksi, dan diskusi, jauh dari hingar bingar panggung populer. Kecerdasan mereka bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kepentingan bangsa.

Namun, kepemimpinan seperti ini semakin jarang kita temui. Sekarang, yang sering mendapat sorotan adalah mereka yang mampu bermain dengan narasi populer, yang pandai menari di bawah lampu sorot viralitas. 

Kepemimpinan tak lagi diukur dari seberapa dalam pemikiran seseorang, tetapi seberapa luas pengaruhnya di media sosial. Apakah ini berarti kecerdasan telah mati? 

Kita perlu waspada bahwa era ini, yang lebih mengutamakan "jago joget" di atas intelektualisasi, sedang merayakan keglamoran yang sering kali dangkal. 

Akibatnya, pemimpin-pemimpin masa depan mungkin akan lebih pandai dalam hal tampil di depan kamera daripada membangun narasi yang kuat untuk memimpin bangsa.

Menghadapi Gelombang: Intelektual atau Selebritas?

Kita tidak bisa menolak perubahan zaman. Namun, kita juga tidak boleh menyerah pada hipnotisme budaya populer tanpa perlawanan. 

Pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada generasi muda adalah: Apakah Anda ingin menjadi pemimpin dengan pemikiran mendalam, atau hanya sekadar viral tanpa substansi?

Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar penghibur. Negara ini membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan globalisasi, perubahan iklim, krisis ekonomi, dan banyak lagi. 

Namun, tantangan terbesar yang kita hadapi sekarang adalah menjaga agar kecerdasan dan intelektualisasi tetap relevan di tengah-tengah badai viralitas.

Dengan menggunakan metafora "tinta pemikiran" versus "lampu sorot panggung," kita dapat memahami perbedaan mendasar antara dua jalan yang terbuka bagi generasi muda. 

Tinta pemikiran adalah investasi jangka panjang yang membangun kedalaman karakter dan visi. Sementara itu, lampu sorot panggung adalah kilauan sesaat yang sering kali redup begitu tren bergeser.

Antara Harapan dan Tantangan

Pendidikan masih menjadi kunci. Jika kita bisa menanamkan dalam benak anak muda bahwa menjadi cerdas lebih penting daripada sekadar viral, kita masih punya harapan. 

Sistem pendidikan Indonesia, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, harus mampu menumbuhkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan, pemikiran kritis, dan refleksi mendalam.

Namun, tanggung jawab ini tidak bisa hanya diletakkan pada pundak institusi pendidikan. Orang tua, tokoh masyarakat, dan bahkan media massa juga memiliki peran penting. 

Narasi tentang pentingnya kecerdasan harus terus digaungkan, bahkan jika hal tersebut mungkin tidak sepopuler joget TikTok.

Kita sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, budaya populer yang mendewakan viralitas menggoda kita untuk mengikuti arusnya. 

Di sisi lain, tradisi intelektual menantang kita untuk tetap berpikir mendalam di tengah dunia yang semakin dangkal. Saatnya kita bertanya pada diri sendiri dan pada generasi muda: Apakah kita ingin dikenang sebagai pemimpin yang membangun bangsa dengan pemikiran, atau sekadar selebritas yang menghibur sesaat di bawah lampu sorot panggung?

Pilihan ada di tangan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun