Jika membayar, sebetulnya esensi halaman opini sebagai ruang publik untuk memberikan komentar dan kritik, sudah hilang. Koran atau media massa mestinya senang ada warga yang menulis opini tanpa dibayar.
Namun, karena koran juga butuh pemasukan, langkah mesti ditempuh. Halaman yang dulunya malah menjadi cuan bagi penulis, kini dibalik menjadi cuan untuk redaksi atau divisi usaha koran. Demikian juga ada media massa daring yang tak mau memuat opini kalau tak disertakan uang.
Dengan begitu, ada perubahan paradigma pada pengelola media massa. Mereka kini menjadikan semua halamannya tambang uang. Mau bagaimana lagi.Â
Slot iklan menipis dan persaingan media makin ketat. Belum lagi ada akun media sosial yang banyak followers dan bagus-bagus kontennya.
Sebagai pengelola media kecil selevel UMKM bahkan lebih di bawahnya lagi, saya memahami konteks ini. Apalagi media massa yang dikenal besar dahulunya tapi kini centang perenang dalam berkompetisi dengan media lain.Â
Untuk menjaga arus kasnya, akhirnya halaman pun "dikorbankan". Berita dan artikel yang dahulu murni karya jurnalistik, sekarang beda tipis dengan iklan.
Ada sih jenis rubrik yang isinya iklan tapi berbentuk teks dan foto. Namanya advertorial.Â
Ini murni bisnis dan cari uang. Kalaupun halaman opini mau dijadikan demikian, silakan saja.Â
Namun, ubah di bagian kolom rubrik sebagai advertorial. Sehingga, orang pun paham bahwa untuk tulisan masuk ke sini mesti membayar. Sebab, babnya ini sudah iklan, tidak murni lagi opini.
Untuk penulis, menghadapi hal ini sebetulnya ya mudah saja. Ikhlaskan kalau sekarang zaman berubah dan menulis opini di koran tak lagi dikasih honorarium.Â
Ketimbang kita kesal malah dimintai uang saat mengirim opini, poskan saja tulisan itu ke media lain. Saya menduga masih banyak media massa daring yang mau memuat opini. Syaratnya kalau bisa sih jangan dikirim ke media massa lain.