opini ke surat kabar atau media daring mesti bayar? Ia mengeluhkan beberapa media massa yang malah meminta uang kepada pihak kampus supaya tulisan dosen mereka bisa dimuat.
Seorang wakil rektor sebuah kampus telepon saya. Ia bilang, apakah benar sekarang kalau memberikan materiSaya tak bisa menjawab karena bukan kewenangan saya. Memang dulu pernah bekerja lama di koran. Tapi setakat ini saya tak tahu kalau mesti kasih uang ke redaksinya untuk opininya kita bisa dimuat.
Sepanjang saya mengelola web wartalampung.id dan ada kanal opininya, saya tak pernah meminta uang. Justru saya senang jika ada penulis yang mau kirim opininya ke media kami ini.Â
Sejak awal saya sudah bilang kalau kami tak memberikan honor. Maklum media kecil dan zaman sudah berubah. Tapi saya menegaskan, tidak pernah meminta uang agar sebuah opini bisa dimuat.
Surat kabar memang sudah senjakala sekarang. Ekstrem bicara, ia sudah di tubir jurang.Â
Sekarang mana ada orang baca koran. Ini kalimat hiperbolik ya. Â Tapi ini mendekati kebenaran ketika sekarang teramat jarang orang baca koran fisik.
Kalau koran atau majalah daring, sampai sekarang saya juga masih baca Koran Tempo dan Majalah Tempo serta Kompas.id. Tapi untuk fisik korannya, sudah nyaris tak pernah.
Namun, masih ada koran yang beredar meski oplahnya turun jauh banget ketimbang masa-masa jaya dulu. Dulu koran lazim kasih honorarium untuk penulis opini. Saya terhitung sejak tahun 2000 sampai 2006 terima honor dari koran dan majalah.
Koran lokal dulu kasih honorarium kisaran Rp100 ribu sampai Rp150 ribu. Untuk resensi buku juga sekian honorariumnya.Â
Cerpen juga sama, bahkan ada redaksi yang kasih duit Rp200 ribu untuk penulisnya. Masa itu, enak jadi penulis lepas. Apalagi yang punya kerjaan tetap dan bergaji pokok.Â
Honor menulis sebagai tambahan saja. Ini juga pernah saya alami beberapa tahun. kerja sebagai editor di sebuah LSM antikorupsi tapi terus menulis di koran.
Kini, situasi berubah. Sejak beberapa lama banyak koran tak sanggup memberikan honorarium. Jangankan lagi honor untuk orang luar, gaji karyawan saja sudah sulit.Â
Ini disebabkan porsi iklan dari pemerintah daerah dan swasta sudah kecil. Pengiklan lebih suka memasang konten di media sosial dan media online.Â
Sebarannya jauh lebih luas. Koran kan terbatas. Sudahlah terbatas, harga iklan di koran masih tinggi. Siapa mau pasang iklan zaman sekarang di koran dengan harga tinggi?
Misalnya pasang iklan separuh halaman di koran senilai Rp5 juta. Daripada ditaruh ke situ, mendingan dibagi ke beberapa media online dengan cakupan pembaca yang banyak.Â
Itu jauh lebih efektif dan efisien. Duit yang keluar setara dengan pendapatan yang akan ditangguk.
Salah satu imbas dari sepinya koran dari iklan, sudah tentu pendapatan berkurang. Maka itu, pos honor penulis opini dikurangi, bahkan ditiadakan sama sekali.Â
Jika sudah demikian, logikanya, mana ada penulis yang tekun bikin karya kemudian dikirim ke media massa koran itu.
Ketimbang demikian, masih mending dikirim ke media massa daring saja. Terbitnya lebih cepat, tautan bisa dibagi, dan pembacanya bisa kelihatan jumlahnya.
Koran kemudian ambil langkah lain. Karena mungkin animo penulis lepas masih tinggi dan ada keperluan juga buat mungkin naik pangkat, menaikkan angka kredit dan lainnya, koran masih dituju.Â
Si penulis juga mahfum sekarang koran tak lagi kasih honorarium. Okelah kalau demikian. Yang penting tulisan bisa dimuat.
Namun, ada juga pengalaman beberapa teman yang cerita, mesti kasih uang juga ke koran supaya opininya dimuat. Ini ibarat kata menjadikan opini itu halaman iklan juga. Bedanya iklan mempromosikan produk, halaman ini mempromosikan gagasan.
Jika membayar, sebetulnya esensi halaman opini sebagai ruang publik untuk memberikan komentar dan kritik, sudah hilang. Koran atau media massa mestinya senang ada warga yang menulis opini tanpa dibayar.
Namun, karena koran juga butuh pemasukan, langkah mesti ditempuh. Halaman yang dulunya malah menjadi cuan bagi penulis, kini dibalik menjadi cuan untuk redaksi atau divisi usaha koran. Demikian juga ada media massa daring yang tak mau memuat opini kalau tak disertakan uang.
Dengan begitu, ada perubahan paradigma pada pengelola media massa. Mereka kini menjadikan semua halamannya tambang uang. Mau bagaimana lagi.Â
Slot iklan menipis dan persaingan media makin ketat. Belum lagi ada akun media sosial yang banyak followers dan bagus-bagus kontennya.
Sebagai pengelola media kecil selevel UMKM bahkan lebih di bawahnya lagi, saya memahami konteks ini. Apalagi media massa yang dikenal besar dahulunya tapi kini centang perenang dalam berkompetisi dengan media lain.Â
Untuk menjaga arus kasnya, akhirnya halaman pun "dikorbankan". Berita dan artikel yang dahulu murni karya jurnalistik, sekarang beda tipis dengan iklan.
Ada sih jenis rubrik yang isinya iklan tapi berbentuk teks dan foto. Namanya advertorial.Â
Ini murni bisnis dan cari uang. Kalaupun halaman opini mau dijadikan demikian, silakan saja.Â
Namun, ubah di bagian kolom rubrik sebagai advertorial. Sehingga, orang pun paham bahwa untuk tulisan masuk ke sini mesti membayar. Sebab, babnya ini sudah iklan, tidak murni lagi opini.
Untuk penulis, menghadapi hal ini sebetulnya ya mudah saja. Ikhlaskan kalau sekarang zaman berubah dan menulis opini di koran tak lagi dikasih honorarium.Â
Ketimbang kita kesal malah dimintai uang saat mengirim opini, poskan saja tulisan itu ke media lain. Saya menduga masih banyak media massa daring yang mau memuat opini. Syaratnya kalau bisa sih jangan dikirim ke media massa lain.
Atau kalau mau poskan saja ke blog pribadi. Kalau mau diunggah ke Kompasiana juga tak masalah.Â
Tulisan yang kita buat itu pada dasarnya ingin berbagi ide kepada orang lain. Siapa tahu gagasan itu bermanfaat.Â
Siapa tahu juga tulisan itu mampu menggugah kepedulian sesama. Atau menggugah pemegang kebijakan atas kritik dalam tulisan itu.
Jika kita memang sudah mewakafkan tulisan itu untuk kemaslahatan orang banyak, silakan unggah ke media massa lain. Yang penting, tulisan itu naik siar dan dibaca banyak orang.Â
Bagaimana dengan honorarium? Lupakan saja.Â
Nanti Allah swt ganti dari jalan yang lain. Asal kita meniatkan tulisan itu sebagai bentuk ibadah, apalagi ini Ramadan, pahala insya Allah ada.Â
Jangan khawatir, itu semua akan tercatat sebagai kebaikan. Selamat berpuasa. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H