Kini, situasi berubah. Sejak beberapa lama banyak koran tak sanggup memberikan honorarium. Jangankan lagi honor untuk orang luar, gaji karyawan saja sudah sulit.Â
Ini disebabkan porsi iklan dari pemerintah daerah dan swasta sudah kecil. Pengiklan lebih suka memasang konten di media sosial dan media online.Â
Sebarannya jauh lebih luas. Koran kan terbatas. Sudahlah terbatas, harga iklan di koran masih tinggi. Siapa mau pasang iklan zaman sekarang di koran dengan harga tinggi?
Misalnya pasang iklan separuh halaman di koran senilai Rp5 juta. Daripada ditaruh ke situ, mendingan dibagi ke beberapa media online dengan cakupan pembaca yang banyak.Â
Itu jauh lebih efektif dan efisien. Duit yang keluar setara dengan pendapatan yang akan ditangguk.
Salah satu imbas dari sepinya koran dari iklan, sudah tentu pendapatan berkurang. Maka itu, pos honor penulis opini dikurangi, bahkan ditiadakan sama sekali.Â
Jika sudah demikian, logikanya, mana ada penulis yang tekun bikin karya kemudian dikirim ke media massa koran itu.
Ketimbang demikian, masih mending dikirim ke media massa daring saja. Terbitnya lebih cepat, tautan bisa dibagi, dan pembacanya bisa kelihatan jumlahnya.
Koran kemudian ambil langkah lain. Karena mungkin animo penulis lepas masih tinggi dan ada keperluan juga buat mungkin naik pangkat, menaikkan angka kredit dan lainnya, koran masih dituju.Â
Si penulis juga mahfum sekarang koran tak lagi kasih honorarium. Okelah kalau demikian. Yang penting tulisan bisa dimuat.
Namun, ada juga pengalaman beberapa teman yang cerita, mesti kasih uang juga ke koran supaya opininya dimuat. Ini ibarat kata menjadikan opini itu halaman iklan juga. Bedanya iklan mempromosikan produk, halaman ini mempromosikan gagasan.