UIN).
Sejak 2015 saya mengajar sebagai dosen luar biasa di Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung. Saya mengajar sampai tahun 2019. IAIN itu kini berubah menjadi universitas Islam negeri atau (Saya diminta mengajar mata kuliah Jurnalistik Islami untuk mahasiswa semester III Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Prodi ini ada di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK).
Sekarang saya sudah tidak mengajar lagi. Ke UIN hanya saban Sabtu.Â
Saya diminta mengasuh kelas ekstrakurikuler jurnalistik di Mahad Al Jamiah. Lokasinya berada di dalam kampus.
Namanya kampus Islam, sudah tentu mahasiswinya pakai jilbab semua. Sudah tentu juga jilbab dengan beragam variasi.Â
Karena anak muda semua, tentu dandanannya menyegarkan dan enak dipandang. Apalagi mahasiswi sedang tumbuh dewasa, sudah tentu menjaga penampilan.
Saya akrab dengan mereka. Berusaha menghafal nama semua mahasiswa. Berusaha dekat dengan mereka. Dan berkorespondensi di media sosial.Â
Ada yang jilbabnya lebar seperti gamis syari begitu. Ada juga yang bercadar.Â
Namanya pilihan sesuai dengan keyakinan, tak masalah. Saya menghargai pilihan itu. Toh di sini saya hanya menjadi teman belajar mereka saja di kelas.
Namun, memang ada keunikan tersendiri. Publik kebanyakan memahami kalau mahasiswa UIN atau IAIN atau STAIN itu ya mestinya bisa baca Alquran dengan baik. Berakhlakul karimah, termasuk tertib dalam berpakaian, khususnya untuk yang putri dengan jilbab atau hijabnya.
Saya dahulu juga punya pemahaman yang sama. Kalau masuk UIN pasti jilbab semua dan punya standar pemahaman agama yang lumayan. Setidaknya kebanyakan orang pikir begitu soal kampus Islam.Â