Waktu masih bekerja di harian umum Lampung Post, dua tahun ditempatkan di kanal online alias daringnya. Waktu itu perubahan dari lampungpost.com menjadi lampost.co.Â
Pemimpin redaksi kami baru waktu itu dari Media Indonesia. Gaudensius Suhardi namanya.
Bang Gaudens, demikian ia biasa disapa, kemudian menempatkan saya di online bersama dua rekan yang lain. Nama situs kami berubah kala itu. Namanya lampost.co sampai dengan sekarang.
Itulah pertama kali mengurus berita di lini daring. Waktu itu belum seperti sekarang yang benar-benar mengejar algoritma, mengejar SEO, dan sebagainya. Namanya juga baru dan tim kebanyakan belum mengerti benar bagaimana mengelola media daring ini.
Yang penting masuk-masuk saja berita. Teks dan konteksnya masih sama seperti koran. Usai dua tahun saya ditarik ke Lampost Minggu. Ini khusus mengurus koran edisi hari Ahad. Usai itu saya kemudian mundur setelah 10 tahun berdarma bakti di koran milik Media Grup-nya Surya Paloh itu.
Saya kemudian bekerja di sebuah media online yang didirikan senior saya, Juwendra Asdiansyah. Nama webnya duajurai.com. beberapa tahun pakai nama ini kemudian menjadi duajurai.co. Saya hanya 10 bulan di sini.
Namun, waktu 10 bulan itu sungguh berharga buat saya. Bang Juwe banyak mengajarkan bagaimana mengelola media online dengan baik. Ia sebelumnya sudah pengalaman mengurus media daring juga.
Ringkasnya, waktu itu dia mengajarkan kepada kami kalau media online itu khas. Ia berbeda dengan media cetak.Â
Maka itu, perlu ada strategi sendiri. Kadang mungkin lebay. Tapi demi mendapatkan pengunjung, itu mesti dilakukan.
Akan tetapi, langgam jurnalisme mesti dijaga patuh. Soal tidak boleh narasumber sumir, sudah jelas.Â
Informasi juga mesti narasumber utama, itu juga dijaga. Tidak boleh percaya begitu saja dengan informasi di media sosial sebelum memverifikasinya, itu juga ketat kami kerjakan.
Soal konten berita, Bang Juwe punya konsep unik. Kata dia, media online itu mesti CBD. CBD itu singkatan dari cepat, banyak, deras. Namun, dalam tulisan ini, saya menambahkan dengan huruf A.Â
Huruf A saya tempatkan di bagian depan. CBD yang dikemukakan Bang Juwe saya ubah menjadi BCD. Dengan demikian, rumusannya ABCD. Apa saja arti ABCD ini? Mari kita ulas satu per satu.
Akurasi
Jika ingin menjadi massa daring yang punya muruah, jagalah akurasi ini. Ketepatan itu utama.Â
Jangan salah atau teledor. Akurasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring adalah kecermatan; ketelitian; ketepatan.
Ini jadi hal pokok yang mesti jadi pakem semua jurnalis. Menghasilkan karya jurnalistik mesti akurat. Mesti akurasi.Â
Jaga benar ketelitian. Pahami benar ketepatan. Maknai benar kecermatan.
Salah mungkin masih bisa dipahami dan dipermaklumkan. Namun, jika teledor, ini menyangkut sikap. Oleh sebab itu, media massa daring dan semua krunya mesti wanti-wanti soal ini.
Akurat bermakna tepat, teliti, cermat. Ini skopnya luas. Tidak sekadar menjadi konten, tetapi jadi laras dalam bekerja.
Buat apa buru-buru, tapi mengabaikan akurasi, mengabaikan ketepatan, menafikan kecermatan, memasabodokan ketelitian.
Kita memang penting untuk mendorong semua media massa daring untuk taat dengan akurasi ini. Semua mesti akurat. Nama orang, nama tempat, nama pasal, nama daerah, nama geografis, dan lainnya.Â
Memang benar, berita online bisa diedit dan diganti atau direvisi. Namun, apakah ada jaminan, mereka yang pertama kali baca akan mengulang bacaan itu sekadar ingin tahu ada revisi atau tidak.
Maka itu, yuk sama-sama kita jaga akurasi. Buat penulis di Kompasiana, juga demikian. Jaga akurasi. Perlahan-lahan belajar.Â
Mana nama yang mesti dimulai dengan huruf kapital, mana yang tidak. Mana yang mesti pakai huruf dimiringkan, mana yang tidak. Apakah mesti sering-sering kalimat ada yang ditebalkan atau tidak.
Termasuk dalam penulisan di dalamnya. Mungkin menyangkut nama orang, nama kejadian, nama lokasi, nama lembaga, dan lainnya.
Banyak
Media massa online mesti banyak produksi berita. Banyak ini relatif ya. Dulu waktu di duajurai.com bersama Bang Juwe dan tiga editor plus empat reporter, dalam sehari minimal bisa enam puluhan berita.Â
Sebab, dulu tiap editor dikasih tanggung jawab naikkan 16 berita. Itu terdiri dari 8 berita karya reporter, 8 lagi produksi sendiri si editor.
Usai di duajurai.com, saya bekerja lima tahun di jejamo.com. Saya ada saham di sini. Kecil sih, hanya setara zakat fitrah, 2,5 persen.Â
Posisi saya pemimpin redaksi waktu itu. Jabatan ini memang saya yang minta. Pas saya gabung, kepada pemilik utama, saya bilang, saya mau masuk ke sini tapi ada syarat.Â
Salah satunya saya jadi pemimpin redaksi. Kemudian minta gajian sekian, dan minta saham. Dikasih sama pemilik utama 2,5 persen.
Kala di jejamo.com, sempat punya tiga editor dan lima reporter. Saban hari bisa 80-an berita. Jadi, banyak ini relatif.Â
Akan tetapi, kalau performa mau bagus memang mesti banyak. Produksilah berita sendiri ketimbang banyak menyalin dari web lain untuk kanal nasional, internasional, olahraga, dan lainnya.Â
Memang sih sumber salinan ditulis dan tautan dihidupkan. Akan tetapi, lebih puas kalau karya sendiri.
Banyak akan membuat pembaca variatif dalam memilih berita. Kalau ketersediaan berita di webnya banyak, itu akan memudahkan pembaca. Ini juga menjadi tolok ukur klien ajak kerja sama.Â
Dengan berita yang banyak, ada kans menahan pembaca selama mungkin di web kita. Istilahnya sesi setahu saya.
Kalau berita di web sedikit, pembaca relatif sedikit pilihan untuk mau baca. Misalnya di Kompasiana. Karena berbasis blog, artikelnya banyak.Â
Orang yang punya kesukaan spesifik, bisa cari di sini. Pasti ada. Sebab, karena banyak kanal menyediakan.
Di situs berita juga demikian. Kita berupaya memperbanyak konten supaya orang ada pilihan mau baca yang mana.
Cepat
Namanya saja media daring. Kecepatan jadi tuntutan superutama.Â
Ini bahkan jadi pakem yang paling pas. Maka itu, editor bersicepat untuk buru-buru menaikkan berita reporter dari lapangan.Â
Apalagi berita yang punya nilai tinggi. Wabilkhusus soal breaking news atau yang dalam bahasa Indonesia disebut warta semerta.
Biasanya jika ada kabar di media sosial yang tengah ramai, warganet lekas-lekas buka Google. Mereka ketik kata kunci yang hendak dicari. Mereka kemudian menemukan ada berita terkait itu di media massa arus utama.
Jika itu sikap yang dikembangkan warganet, sungguh bagus. Artinya, mereka mencari komparasi dalam bentuk berita dari informasi di media sosial.
Oleh karena itu, sebagai pengelola media massa daring, cepat adalah kemestian. Pakemnya itu berita hari ini ya tayang hari ini.
Namun, cepat ini juga butuh strategi yang tepat. Pengelola media massa ingin semua berita mereka dibaca dan punya pembaca yang banyak.Â
Kalau berita naik terlalu cepat, apalagi di web kecil, cenderung merugikan. Soalnya tayangan di halaman utamanya lekas ganti dengan berita lain.
Maka itu, sekarang saya di wartalampung.id tidak terlalu cepat mengganti tampilan utama dengan berita lain. Apalagi kolomnya hanya muat tiga berita utama.Â
Kasihan kalau ada klien yang "bayar" berita dengan akad advertorial, beritanya lekas "turun" diganti berita lain.
Biasanya saya jeda satu jam untuk mengganti berita. Kecuali jika ada laporan dari lapangan yang butuh segera naik.
Akan tetapi, pakem cepat ini cocok untuk media daring. Repot juga kalau editornya lambat menaikkan berita. Apalagi berita yang berbasis peristiwa dan terjadi lokal di daerah di mana web itu berada.
Buat teman-teman narablog, ada baiknya juga memahami perihal kecepatan ini. Jika ada yang sedang tren, segeralah menulis. Sebab, ada kans tulisan atau artikel itu nyantol di Google.Â
Ya enggak mesti halaman satu amat sih. Banyak media massa kecil yang juga tahu diri. Mereka memantaskan diri juga.
Namun, dengan skema SEO yang pas, dan kebetulan saya tidak begitu piawai soal ini, bisa masuk halaman 1 Google.
Intinya memberikan ajakan kepada kita lebih gegas nan lekas dalam menuliskan sesuatu. Kompasiana misalnya memancing kita dengan topik-topik pilihan.Â
Administator pasti memilih itu karena melihat tren juga. Kalau sedang banyak dibicarakan, topik dilempar kepada narablog di sini.Â
Karena itu, lazim kita dapati artikel utama diambil dari artikel berkenaan dengan topik pilihan. Musababnya, pencarian di dunia mayanya sedang bagus.
Deras
Deras ini maksudnya ada kesinambungan antara satu artikel dan artikel lain. Waktu masih kerja di duajurai.com, ada peristiwa besar. Yakni diusirnya seorang pasien miskin dari sebuah rumah sakit milik pemerintah.
Begitu berita pertama naik siar, semua editor, semua reporter dikerahkan untuk memperbanyak konten dan menderaskan di media massa.
Maksudnya, kalau ada satu peristiwa yang sedang tren, silakan memperbanyak konten. Kemudian segera menaiksiarkan itu.Â
Topiknya mungkin satu, tapi ia diulas dari beragam segmen. Dari beragam angle. Dari beragam narasumber.
Kembali ke cerita tadi. Habis berita pertama "dimakan" warganet, semua reporter mencari sudut pandang lain tapi masih kaitan dengan itu.Â
Saya yang kebetulan punya nomor direktur rumah sakitnya, menelepon orang nomor satu di lembaga itu. Hasil wawancara segera saya tulis dan serahkan kepada editor yang bekerja. Berita tak lama naik dan "dimangsa" lagi dengan warganet.Â
Tampilan di Google Analytic juga bagus. Yang biasanya baca hanya belasan, sore sampai malam tembus seratusan.Â
Kami juga waswas, server jebol lantaran tak biasa menerima kedatangan pembaca seratusan dalam jenak waktu yang sama.
Begitu deras berita satu per satu naik ke angkasa. Satu per satu juga melengkapi berita-berita sebelumnya. Pembaca makin paham sebuah konteks peristiwa dari kederasan berita ini.
Pembaca senang mendapatkan berita multi-angle sehingga mereka bisa paham apa yang sedang terjadi. Yang gempor bagian redaksi. Reporter kerja keras dengan menghasilkan informasi yang sahih. Editor memolesnya supaya makin cantik dan resik.
Media sosial juga makin ramai karena mengambil berita itu. Praktis malam itu berita duajurai.com soal pasien miskin terusir dari rumah sakit viral. Sayang, web ini sekarang tidak aktif lagi.
Akurat, banyak, cepat, dan deras itulah ABCD yang dimaksud. Terima kasih sudah membaca dengan saksama dan dalam tempo yang tidak begitu lama. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H