Lazimnya perpustakaan pasti dimiliki lembaga tertentu. Misalnya, sekolah atau pemerintah provinsi atau kota serta kabupaten. Katakanlah itu semua dikerjakan aparatur sipil negara (ASN) atau dulu dikenal sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Jenjang dan kepangkatan pasti mengikuti prosedur baku di entitas negara dan pemerintahan.
Beberapa kenalan yang profesi ASN malah kurang nyaman jika diletakkan di lembaga perpustakaan dan arsip ini. Mereka lebih suka dipekerjakan di dinas atau satuan kerja lainnya. Mungkin, persepsi yang agak gimana gitu terhadap profesi pustakawan ini memang melekat betul.
Di kantor koran tempat saya kerja dahuku juga ada pustakawan. Tiga poin yang saya sebutkan tadi ya benar adanya. Walhasil, jika ada peluang untuk beralih kerja di bagian lain, pasti diiyakan.
Pencerahan dan Solusi
Saya tidak ingin sekadar menuliskan soal pandangan suram ini kepada profesi pustakawan. Saya hendak memberikan beberapa hal yang mungkin ke depan bisa dilakukan. Dengan begitu, ada peluang jenis kerjaan ini lebih dipandang.
Esensi kerjaan sebetulnya bukan soal pandangan orang. Namun, apakah kita sudah optimal bekerja di bidang itu atau belum.
Saya punya teman seorang pustakawan. Dia juga penulis blog dan aktif ngetweet. Kami beberapa kali satu forum di sebuah forum kepenulisan, juga forum narablog. Ia aktif sebagai pustakawan di sebuah sekolah negeri.
Kalau berkaca kepadanya, semua poin tadi musnah. Sebab, apa yang dilakukannya sejauh ini sangat positif. Jika itu juga ditiru pustakawan lainnya, pasti cara pandang negatif tadi berubah.Â
Profesi ini takkan lagi dipandang sebelah mata. Jadi pustakawan tak mesti statis. Ia mesti bisa melakukan banyak hal.
Kesatu, menulis resensi buku
Pustakawan yang kreatif bisa menulis. Salah satunya menulis resensi buku. Ia bisa memberikan timbangan atas buku yang sedang ramai diperbincangkan orang.Â