Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

9 Tips Menulis Opini

3 Februari 2023   14:12 Diperbarui: 3 Februari 2023   14:26 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Opini pertama saya yang dimuat media massa itu akhir 1999. Saya masih aktif kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung kala itu.

Opini pertama berasal dari mata kuliah manajemen usaha kecil. Karena tidak punya komputer dan belum mahir mengetik, saya menyerahkan pengetikan kepada seorang teman.

Gagasan utama tentu saja dari mata kuliah manajemen usaha kecil. Kemudian saya kaitkan dengan keberadaan usaha kecil di Lampung. Datanya tentu saya cari setengah mati di koran-koran.

Internet dahulu tidak seperti sekarang. Bahan atau data yang mau kita cari masih konvensional. Koran dan majalah cetak masih menjadi sumber utama.

Usai dimuat surat kabar, saya makin keranjingan menulis. Jika dihitung dari awal menulis opini di koran yang dibayar itu kira-kira enam tahun. 

Waktu yang lumayan lama. Makin ke sini, opini yang dikirim lebih untuk mengisi web yang saya kelola dan blog Kompasiana.

Beberapa sempat saya taruh di blog pribadi yang sampai sekarang belum saya aktifkan lagi. Saya tak sanggup mengurus banyak kerjaan.

Dari pengalaman menulis opini selama ini, saya ingin menyarikan untuk pembaca. Tentu bukan bermaksud menggurui. Ini lebih pada keinginan berbagi cerita saja.

Yang jelas, menulis opini sekarang tidak sama lagi seperti dahulu. Menulis opini dahulu di koran mesti menunggu beberapa waktu. Kadang sampai seminggu tulisan belum dimuat.'

Kalau sekarang, karena banyak tempat untuk mengunggah tulisan, lebih mudah sekarang. Tapi, bedanya, dahulu koran masih menyediakan honor lumayan. 

Sekarang? Tidak ada lagi. Koran juga sudah megap-megap.

Oh iya, opini dalam konteks media massa adalah ide atau gagasan seseorang terhadap satu hal yang umumnya sedang menjadi tren perbincangan. Opini atau pendapat memuat pikiran kita terhadap satu hal.

Kadang, opini yang disampaikan itu pro atau kontra terhadap satu hal yang sedang menjadi berita utama media massa. Misalnya opini soal ide perpanjangan masa jabatan kepala desda, opini soal ongkos naik haji, opini tentang pilpres tahun depan, dan sebagainya.

Baiklah, saya coba berbagi beberapa poin atau tips untuk menulis opini.

Kesatu, punya ide dasar

Setelah mengamati dan mencermati satu hal, kita mesti punya ide utama untuk disampaikan. Ide ini supaya gampang ditulis saja dalam sebuah kalimat. Inilah sumber utama kita dalam mendedahkan gagasan ke dalam puluhan alinea sehingga utuh menjadi satu tulisan.

Ide ini mesti kuat dahulu. Artinya, kita memang punya kesanggupan untuk menarasikan gagasan itu sampai jadi. 

Lazimnya, persoalan yang mau kita tulis itu memang menjadi basis terkuat kita. Kita punya basis pengetahuan maupun pengalaman di situ. Dengan demikian, kita bisa menjamin tulisan opini itu bisa diselesaikan dengan baik.

Ide dasar tulisan saya ini adalah saya hendak menjelaskan kepada pembaca tentang kiat menulis opini. Apa yang saya jabarkan adalah hasil pengalaman selama ini. 

Juga ada pengalaman penulis lain. Ini juga pengalaman saya ketika pernah menentukan opini itu naik atau tidak di media massa. 

Dari sini, saya menjadi paham apa yang mau saya sampaikan. Napas utama tulisan menjadi jelas dan tidak ada kesimpangsiuran.

Kedua, ragangan

Ragangan adalah bahasa lain untuk kerangka karangan. Dahulu saat saya sekolah dasar, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia menyarankan untuk membuat ragangan. 

Caranya adalah dengan menulis beberapa kalimat pendek sebagai ide tiap alinea. Intinya sih, kita mau menulis apa saja sehingga bisa utuh menjadi opini.

Misalnya kita hendak menulis soal ide perpanjangan masa jabatan kepala desa. Buat saya ragangannya sebagai berikut.

  • Ide ini keblinger
  • Masa jabatan bukan ukuran kesuksesan mengurus desa
  • Enam tahun masa cukup membangun desa
  • Peluang korupsi jika ditambah 9 tahun
  • Ini simbiosis mutualisme dengan politikus Senayan
  • Mundurnya demokrasi
  • Kejumudan demokrasi
  • Publik harus melawan
  • Media massa harus masif memberitakan dan menetang ide aneh ini
  • Presiden harus turun tangan dan kasih public adress
  • Lanjutkan sendiri...

Kerangka semacam ini berguna supaya opini yang kita tulis tidak lari kemana-mana. Ia akan berada pada rel yang benar karena setiap kerangka itu ada koherensi dengan paragraf lain. 

Kalau kita dapat 30 poin seperti saya contohkan di atas, kita akan dapat satu opini utuh. Musababnya, setiap poin itu mewakili satu alinea atau paragraf atau pokok pikiran tiap alinea.

Ketiga, judul duluan

Jika ide dasar dan ragangan sudah, saya kasih masukan supaya cepat-cepat menulis judul. Saya menganjurkan menulis judul duluan. 

Ada beberapa teman yang menulis judul di akhir. Boleh saja. 

Tapi dalam kiat ini, saya menganjurkan menulis judul duluan. Tulislah judul yang paling kuat yang kira-kira enak kita baca dan dengar dan juga ada kesan menarik untuk pembaca.

Judul itu etalase. Kadang pilihan orang mau baca atau tidak juga didukung oleh judul. 

Judul yang menarik punya kans kuat dipilih orang sebagai bacaan. Ibarat jualan, judul adalah etalase. Etalase yang menarik, memancing minat.

Sama kayak buku. Benar jangan lihat buku dari kulit mukanya. 

Tapi, kalau sampul depannya bagus kan malah oke. Jadi, ada keserasian antara judul dan isi. 

Judul memikat, kontennya apik. Klop.

Kenapa saya menganjurkan menulis judul di awal? Kalau kita menulis belum ada judul dengan alasan nanti saja di akhir, khawatir napas opininya tidak ketemu. 

Namun, jika sedari awal sudah ditulis judulnya, itu akan membantu kita untuk menarasikan gagasan sampai khatimah. Musababnya, judul sebagai napas utama opininya sudah kita tulis. 

Mau tak mau, semua senarai yang kita bentuk akan berkesesuaian dengan judul.

Nanti, kalau opini sudah selesai dan kita merasa judul tidak begitu kuat, silakan diganti. Saya berkeyakinan, kala mengutak-atik judul saat tulisan sudah rampung, lebih kepada mencari magnet tulisan supaya dilirik orang. 

Tapi, roh utama opininya sudah ada. Ini tinggal ikhtiar memoles saja supaya judulnya makin membuat orang penasaran.

Supaya semangat, begitu judul sudah dapat, dan kita hendak menulis sampai selesai, bikinlah status di media sosial. Buka WhatsApp kemudian bikinlah status untuk menadi penyemangat.

"Bismillah, dua jam ke depan saya hendak menuliskan opini tentang 9 kiat menulis opini. Doakan ya teman-teman semoga tulisan ini selesai dan bermanfaat."

Itu cara menggunakan media sosial yang cerdas. Dipakai untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita dan mendukung aktivitas kita dalam berbuat baik.

Keempat, bikinlah mukadimah yang paling mudah

Ide sudah, kerangka sudah, judul sudah. Sekarang kita mulai menulis. 

Di sini banyak yang gagal. Kenapa gagal? 

Sebab, belum ketemu kata yang pas untuk dijadikan sebagai awalan. Maka itu kita bingung karena banyak ide untuk membuat kata atau menyusun mukadimah. 

Ini ibarat kawan-kawan seumuran saya dulu saat SMA suka sama cewek. Mau menyampaikan kita suka caranya dengan bersurat. 

Parahnya, kertas sudah dibeli, tapi tak satu lembar pun surat jadi. Habis ditulis, diremas kemudian dibuang. 

Kenapa itu terjadi? Musababnya, karena kita belum menemukan preambul yang pas .

Akan tetapi, kalau sudah ketemu awalan kalimat yang pas di awal, hakulyakin tulisan akan selesai. Sebab, kita sudah menemukan kalimat terenak untuk kemudian diteruskan sehingga opini kita rampung.

Saran saya, bikinlah awal atau teras atau lead yang mudah saja. Jangan yang sulit-sulit. 

Hidup ini mudah kok, kita saja kadang yang membuatnya rumit. Asyik.

Maka itu, saran saya, kalau bingung, kutip saja berita di koran atau media massa daring tentang ide yang mau ditulis. Baik, saya kasih contoh supaya jelas.

Kita misalnya mau menulis soal menakar peluang Ganjar Pranowo menjadi presiden. Ide dasar kita punya, ragangan sudah. Namun, kita masih pilih-pilih soal preambul tulisan. Bikin saja begini.

Langkah Ganjar Pranowo untuk menjadi presiden pada Pilpres 2024 masih terjaga. Meski diyakini banyak pihak PDI Perjuangan takkan mengusungnya, nama Gubernur Jawa Tengah ini masih diyakini akan berlaga. 

Dikutip dari kompas.com, kemarin Ganjar bertemu dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Menteri BUMN Erick Thohir. Publik membaca pertemuan ini sebagai penjajakan Ganjar untuk diusung Koalisi Indonesia Bersatu yang diisi PAN, Golkar, dan PPP.

Saya menganjurkan bikinlah awal tulisan yang simpel saja. Ini berguna supaya kita juga semangat menulis sampai opini itu selesai. 

Jangan menulis yang rumit. Asal kita dapat senyawanya, itu cukup. Kalau sudah begitu, silakan lanjutkan dengan alinea lain yang ragangannya tadi sudah kita tulis di awal.

Kelima, sesuaikan dengan ragangan

Ragangan dibuat untuk dijadikan petunjuk. Silakan melanjutkan tulisan alinea demi alinea sesuai dengan kerangka tadi. 

Upayakan fokus terhadap apa yang sudah kita jadikan kerangka tadi. Upayakan setia pada kerangka. 

Kalau ada penambahan lain, itu kreasi saja ketika menulis. Yang penting, fokus dengan kerangka tadi. 

Keenam, menata kalimat

Pola umum penulisan kita sejak dari sekolah dasar kita kenal adalah subjek predikat objek keterangan (SPOK). Silakan itu diikuti. Silakan juga kalau mau berkreasi dengan menata kalimat sehingga lebih enak dibaca.

Saya sarankan menuliskan pendek-pendek. Upayakan tidak menulis satu kalimat itu dengan kata yang berkelewahan. 

Para editor menganjurkan kita menulis satu kalimat itu 8-14 kata. Semakin ringkas kalimat, dinilai semakin baik. 

Sebab, idenya lekas bisa dimaknai pembaca. Kalau satu kalimat kelewat panjang, kita yang menulis saja malas membacanya. 

Kenapa demikian? Sebab, ide itu mestinya gampang diterima pembaca. 

Kalau kita menulisnya bertele-tele, makin sukar dipahami.

Bikinlah kalimat itu seperti orang berbaris. Langkahnya mantap. Derapnya gagah. 

Maknanya, menulislah ringkas saja. Jangan sayang untuk membuat titik. Semakin ringkas kalimat, semakin bagus.

Meski tulisan kita panjang, asalkan kalimat ringkas, bisa cepat dimengerti. Buku tebal oke-oke saja, tapi pengaturan kalimatnya simpel. 

Peter Henshall dan David Ingram dalam buku Menjadi Jurnalis, menyarankan KISS. Keep it short and simple. Bikin kalimat itu pendek dan sederhana. Mudah, bukan?

Ketujuh, menambahinya dengan referensi

Supaya makin berbobot, silakan kalau hendak ditambah dari referensi lain yang masih senepas. Misalnya dari berita atau artikel lain atau buku. Silakan saja. 

Namun, karena opini itu ide dasarnya dari si empunya karya, jangan kebanyakan juga ambil referensi lain. Kalau mau dipesentase ya kurang lebih 30 persen dari sumber lain. 

Opini tetap mempertahankan kekhasan pendapat dan teknik menulis yang berkarya. Referensi lain sebagai penguat. 

Sumber lain sebagai penambah. Bahan bakar utamanya tetap di kita.

Kedelapan, sunting

Saya anjurkan jangan malas menyunting. Editing dilakukan supaya meminimalkan kesalahan tulis alias typo. 

Kalau ada di beberapa tempat ya masih wajar, namanya juga manusia, hahaha.

Intinya, jangan lekas-lekas kirim opini ke media massa atau unggah ke blog yang kita kelola. 

Misalnya tulisan ini. Sebelum saya kompasiana-kan, tulisan ini saya sunting dulu.

Dibaca lagi dari awal sampai akhir. Cek ada huruf yang keliru atau tidak. 

Logikanya masuk atau tidak. Tata kalimatnya sudah enak dibaca atau belum. 

Sudah menarik minatkah opini yang kita bikin. Apakah judul sudah oke dan satu irama dengan narasi di dalamnya.

Kalau dirasa cukup, ya sudah. Kita lanjut ke tips berikutnya.

Kesembilan, minta bantu orang membaca duluan

Jika masih ada waktu dan kita punya karib yang bisa dipercaya, opini serahkan saja ke dia. 

Minta kawan itu baca. Mintalah dia kritis terhadap tulisan itu. Minta dia tunjukkan bagian yang menjadi kelemahan tulisan.

Hasil pembacaan kawan tadi dijadikan pijakan. Kalau ada yang memang pas untuk direvisi, silakan direvisi. 

Tapi kalau kata dia sudah oke, alhamdulillah. Silakan dikirim opini tadi ke media massa atau unggah ke blog atau Kompasiana ini. 

Selamat mempraktikkan. Terima kasih sudah membaca secara saksama. [Adian Saputra]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun