Yang lebih jelas lagi adalah luasan hijau hutan yang berkurang. Ini ke depan tentu mendatangkan masalah besar.Â
Ada ancaman banjir dan erosi yang luar biasa dari praktik penambangan yang serampangan.
Kita tidak menghitung nantinya berapa besar bencana yang datang dan ekses yang ditimbulkannya. Kita tak pernah mau menghitung biaya eksternalitas yang timbul dari penambangan itu.
Nikel memang kita dapat. Puluhan trilun mungkin didapat hasil penjualan itu.Â
Namun, kita menyisakan dampak kerusakan lingkungan. Mau jadi apa bekas penambangan itu ke depan. Mau dijadikan apa lubang-lubang besar itu ke depan?
Benar ada contoh kasus yang baik betapa masyarakat bisa mengubah bentang alam yang rusak itu kemudian menjadi tempat wisata. Namun, berapa persen yang bisa mengubah menjadi demikian itu ketimbang yang dibiarkan begitu saja dan menjadi lubang raksasa yang membahayakan?
Alam Indonesia ini sudah banyak yang rusak. Kita masih menyisakan pekerjaan rumah dari bentang alam yang juga rusak untuk membuat ibu kota baru di Kalimantan.Â
Ini masih juga mau ditambah dengan pemenuhan produksi nikel dari penambangan di banyak tempat di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Yang juga jarang banyak orang tahu, pekerja di smelter yang memisahkan tanah dan bijih nikel itu juga berasal dari Tiongkok. Hasil pemilahan dari smelter itu pun dikerjakan banyak perusahaan hasil kongsi dengan korporasi asal Tiongkok.Â
Sementara itu, sebagian warga sekitar juga ikut menjadi buruh di smelter itu. Mereka yang awalnya nelayan, kemudian ikut menjadi pekerja di sana.
Dikutip dari Koran Tempo, Jaringan Nasional Advokasi Tambang (Jatam) menilai, penambangan ilegal di Indonesia bukan semata-mata terjadi karena lemahnya regulasi, melainkan akibat penegakan hukum dari aparat yang lemah.