Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mobil Listrik Ramah Lingkungan Tak Sepenuhnya Benar

30 Januari 2023   09:09 Diperbarui: 30 Januari 2023   09:19 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber dari moladin.com

Berita soal kendaraan listrik yang akan mendapat subsidi dari pemerintah banyak diunggah media massa akhir-akhir ini. Koran Tempo pada 28 Januari 2023 menulis, pada Februari ini pemerintah akan menerbitkan aturan mengenai insentif pembelian semua jenis kendaraan listrik. 

Tak hanya yang berbasis listrik murni (battery electric vehicle/BEV), tapi juga untuk kendaraan listri hibrida atau hybrid electric vehicle/HEV.

Tentu saja subsidi ini untuk meningkatkan animo rakyat membeli mobil listrik. Subsidi ini sama saja dengan memberikan ruang kepada mereka yang kaya untuk membeli mobil ini. 

Minggu lalu saya hadir pada sebuah peluncuran mobil listrik di Bandar Lampung. Mobil mewah ini dibanderol nyaris seperempat miliar rupiah.

Kalau ada kendaraan harganya demikian fantastis, pertanyaan kita adalah, kira-kira siapa yang sanggup membelinya? Ya sudah tentu orang-orang kaya.

Semangat pemerintah mungkin bagus yakni mengurangi emisi. Dengan listrik, buangan gas menjadi nol. 

Udara di perkotaan dimimpikan bersih. Artinya, polusi udara dari buangan kendaraan diharapkan bisa ditekan. Namun, apakah sedemikian mudahnya mewujudkan itu?

Majalah Tempo pekan lalu menurunkan laporan soal penambangan nikel ilegal di blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara. Bukit di sana rusak oleh penambangan liar untuk mencari nikel sebagai bahan baku baterai untuk kendaaran listrik.

Anda tahu tidak berapa nikel bersih yang bisa diperoleh dari jutaan ton tanah yang sudah dikeruk?

Dari satu ton tanah yang ditambang, bijih nikel yang didapat sekitar 18 kilogram. Perbandingan ini sering ditulis 1,8. 

Analisis citra satelit Greenpeace menunjukkan bahwa sejak 2019 sudah terjadi penambangan di Mandiodo ini. Penambangan nikel sejak 2019 sampai 2022 sudah mencapai 985 hektare. 

Kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas menjadi rusak. Ini belum lagi ditambah kenakalan beberapa perusahaan yang tak mengantongi izin resmi menambang yang ikutan mengeruk tanah berisi bijih nikel.

Masih investigasi Tempo, banyak juga penambangan liar yang tidak melengkapi dengan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH. Ini bisa diartikan hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sana banyak yang beralih fungsi menjadi daerah penambangan.

Miris membacanya. Demi industri listrik yang digadang-gadang ramah lingkungan, bahan utamanya, nikel, ternyata mesti didapat dengan merusak lingkungan.

Padahal semestinya, ramah lingkungan itu sudah dimulai sejak sebelum produk diluncurkan. Yang kita harapkan, ramah lingkungan itu dari mulai awal produksi sampai mobil atau sepeda motor itu mengaspal di jalanan.

Kalau belum apa-apa sudah merusak lingkungan, apakah tepat frasa ramah lingkungan itu kita sematkan? Apakah layak niat menjaga alam dari polusi itu dirusak sejak awal memproduksi kendaraan yang diklaim ramah lingkungan dan nol emisi.

Ada satu falsafah penting yang mestinya dipakai pemerintah. Dahulukan sesuatu yang bisa mencegah mudarat ketimbang menerima sesuatu yang mengandung manfaat.

Industri kendaraan listrik memang ke depan bisa mengurangi polusi. Namun, itu masa depan. Yang sekarang kita pikirkan adalah masa kini sekaligus masa depan.

Ketimbang berharap manfaat masa depan yang belum pasti, yang utama adalah mencegah mafsadat atau kerusakan yang ada. Maknanya, ketimbang mengikuti hawa nafsu memenuhi kebutuhan industri kendaraan listrik terhadap nikel, lebih baik setop saja. 

Musababnya, penambangan nikel ini merusak lingkungan dan hutan dengan angka yang fantastis.

Kita hanya menghitung keuntungan produksi penambangan ini tanpa pernah mau mengalkulasi kerugian yang kita derita. Karena penambangan dekat dengan laut, nelayan kini sulit mencari ikan. 

Mereka mesti mencari ikan lebih ke tengah karena di pesisir limbah hasil penambangan nikel sudah dirasakan dampaknya.

Yang lebih jelas lagi adalah luasan hijau hutan yang berkurang. Ini ke depan tentu mendatangkan masalah besar. 

Ada ancaman banjir dan erosi yang luar biasa dari praktik penambangan yang serampangan.

Kita tidak menghitung nantinya berapa besar bencana yang datang dan ekses yang ditimbulkannya. Kita tak pernah mau menghitung biaya eksternalitas yang timbul dari penambangan itu.

Nikel memang kita dapat. Puluhan trilun mungkin didapat hasil penjualan itu. 

Namun, kita menyisakan dampak kerusakan lingkungan. Mau jadi apa bekas penambangan itu ke depan. Mau dijadikan apa lubang-lubang besar itu ke depan?

Benar ada contoh kasus yang baik betapa masyarakat bisa mengubah bentang alam yang rusak itu kemudian menjadi tempat wisata. Namun, berapa persen yang bisa mengubah menjadi demikian itu ketimbang yang dibiarkan begitu saja dan menjadi lubang raksasa yang membahayakan?

Alam Indonesia ini sudah banyak yang rusak. Kita masih menyisakan pekerjaan rumah dari bentang alam yang juga rusak untuk membuat ibu kota baru di Kalimantan. 

Ini masih juga mau ditambah dengan pemenuhan produksi nikel dari penambangan di banyak tempat di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Yang juga jarang banyak orang tahu, pekerja di smelter yang memisahkan tanah dan bijih nikel itu juga berasal dari Tiongkok. Hasil pemilahan dari smelter itu pun dikerjakan banyak perusahaan hasil kongsi dengan korporasi asal Tiongkok. 

Sementara itu, sebagian warga sekitar juga ikut menjadi buruh di smelter itu. Mereka yang awalnya nelayan, kemudian ikut menjadi pekerja di sana.

Dikutip dari Koran Tempo, Jaringan Nasional Advokasi Tambang (Jatam) menilai, penambangan ilegal di Indonesia bukan semata-mata terjadi karena lemahnya regulasi, melainkan akibat penegakan hukum dari aparat yang lemah.

Koordinator Jatam Melky Nahar menilai, ada pula keterlibatan penegak hukum dalam aktivitas tambah ilegal, yaitu kasus Ismail Bolong, perwira kepolisian yang diduga membekingi tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur.

Jadi, kita mesti mendorong pemerintah agar meniadakan atau setidaknya menunda soal pemberian subsidi kepada mereka yang akan membeli kendaraan listrik baik sepeda motor maupun mobil. 

Musababnya, subsidi semestinya diberikan kepad orang miskin, bukan orang kaya.

Kemudian, kita juga penting mendorong pemerintah untuk menghentikan penambangan nikel untuk kebutuhan baterai di kendaraan listrik itu. Ini sama saja bunuh diri pada konteks lingkungan dan hutan Indonesia. 

Alih-alih hendak menciptakan nol persen emisi tahun 2060, kita meninggalkan alam yang rusak yang biaya perbaikannya sudah pasti melebihi angka pendapatan yang kita dapatkan.

Kalau kita sudah tahu lingkungan kita banyak yang rusak akibat penambangan, dicukupkan sampai di sini. Sisa yang ada ini kita jaga bareng-bareng. 

Kerusakan lingkungan itu dampaknya tidak bakal lama dirasakan. Kerusakan hutan dan lahan pasti cepat kita rasakan dampaknya.

Banjir misalnya. Bencana ini paling akrab dengan sebuah daerah yang lingkungannya sudah rusak dan tidak seimbang lagi. 

Alih-alih memenuhi kebutuhan nikel untuk mobil listrik orang kaya, masih lebih mending kita jaga sisa hutan dan lingkungan yang ada.

Alam pasti bisa memenuhi semua kebutuhan kita. Tapi alam tidak bisa memenuhi keserakahan kita. Terima kasih sudah membaca dengan saksama. [Adian Saputra]

Gambar pinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun