Kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas menjadi rusak. Ini belum lagi ditambah kenakalan beberapa perusahaan yang tak mengantongi izin resmi menambang yang ikutan mengeruk tanah berisi bijih nikel.
Masih investigasi Tempo, banyak juga penambangan liar yang tidak melengkapi dengan izin usaha pertambangan (IUP) dan izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH. Ini bisa diartikan hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sana banyak yang beralih fungsi menjadi daerah penambangan.
Miris membacanya. Demi industri listrik yang digadang-gadang ramah lingkungan, bahan utamanya, nikel, ternyata mesti didapat dengan merusak lingkungan.
Padahal semestinya, ramah lingkungan itu sudah dimulai sejak sebelum produk diluncurkan. Yang kita harapkan, ramah lingkungan itu dari mulai awal produksi sampai mobil atau sepeda motor itu mengaspal di jalanan.
Kalau belum apa-apa sudah merusak lingkungan, apakah tepat frasa ramah lingkungan itu kita sematkan? Apakah layak niat menjaga alam dari polusi itu dirusak sejak awal memproduksi kendaraan yang diklaim ramah lingkungan dan nol emisi.
Ada satu falsafah penting yang mestinya dipakai pemerintah. Dahulukan sesuatu yang bisa mencegah mudarat ketimbang menerima sesuatu yang mengandung manfaat.
Industri kendaraan listrik memang ke depan bisa mengurangi polusi. Namun, itu masa depan. Yang sekarang kita pikirkan adalah masa kini sekaligus masa depan.
Ketimbang berharap manfaat masa depan yang belum pasti, yang utama adalah mencegah mafsadat atau kerusakan yang ada. Maknanya, ketimbang mengikuti hawa nafsu memenuhi kebutuhan industri kendaraan listrik terhadap nikel, lebih baik setop saja.Â
Musababnya, penambangan nikel ini merusak lingkungan dan hutan dengan angka yang fantastis.
Kita hanya menghitung keuntungan produksi penambangan ini tanpa pernah mau mengalkulasi kerugian yang kita derita. Karena penambangan dekat dengan laut, nelayan kini sulit mencari ikan.Â
Mereka mesti mencari ikan lebih ke tengah karena di pesisir limbah hasil penambangan nikel sudah dirasakan dampaknya.