Suasana kelas III IPS 1, tempat saya belajar di SMAN 2 Tanjungkarang, kini namanya SMAN 2 Bandar Lampung, siang itu senyap. Tidak ada guru yang masuk di jam pelajaran itu.Â
Saya lupa mata pelajaran apa. Kami duduk di kelas saja.Â
Ada yang belajar sendiri, ada yang ngobrol berdua teman sebangku, ada juga yang merumpi.Â
Itu tahun 1997, akhir-akhir masa mukim kami di sekolah yang waktu itu paling favorit di Lampung.
Tiba-tiba kami terkejut. Pak S Kardi Idris masuk.Â
Pak Kardi adalah kepala sekolah. Dengan saya, ia paham betul. Maklum, pernah jadi ketua umum OSIS.Â
Anaknya beliau satu angkatan dengan saya di Smanda, sapaan akrab SMAN 2 Tanjungkarang.
Karena kepala sekolah, Pak Kardi tidak pernah mengajar kala itu. Kami juga tidak tahu beliau ini guru apa. Kami masuk, dia sudah kepala sekolah.
Dia kemudian mengucapkan salam. Kami menjawab kemudian kelas hening.
"Tidak ada gurunya.....Adian?". Saya spontan jawab, tidak ada, Pak.
Pak Kardi kemudian mengisi setengah jam sisa sebelum bel pulang sekolah dengan memberikan materi. Dia bicara banyak hal tapi yang esensial dalam kehidupan.Â
Saya dan teman-teman kaget. Cara bertuturnya luar biasa bagus. Berkelas banget.Â
Kami yang tidak tahu kalau beliau ini memang guru teladan di provinsi kami. Duh, duh, duh.
Ada sepenggal cerita Pak Kardi kala itu yang masih saya ingat sampai dengan sekarang. Saat ia bicara soal gaya hidup, ia bilang begini. Contohlah saudara-saudara kalian yang etnik Tionghoa.
Ia bilang, anak-anak etnik Tionghoa sejak kecil dididik disiplin. Saat makan, tidak boleh bersisa.Â
Nasi harus dihabiskan. Itu tanda syukur kepada Tuhan.
Meski orangtuanya kaya, anak-anak, ujar dia, dididik dengan keras.Â
Pagi-pagi, anak-anak etnik Tionghoa diajarkan juga bagaimana membereskan tempat usaha orangtuanya. Mereka sudah dilatih terbiasa dengan dunia dagang.
Untung sedikit, kata dia, tidak jadi masalah, asal barang cepat laku dan tidak menumpuk di dalam gudang.Â
Soal gaya hidup, Pak Kardi paparkan cerita menarik.
"Orang Tionghoa itu hemat. Mereka tidak bakal ganti pakaian, tas, ikat pinggang, atau barang lainnya jika tidak benar-benar penting dan sudah butuh diganti."
Perihal ini baru saya ketahui belakangan saat usai membaca biografi pendiri Kompas, PK Ojong. Ikat pinggang OK Ojong bertahun-tahun tak ganti karena masih kuat meski warna mulai luntur.
Selama masih bisa dipakai, ya dipakai saja dahulu, tak mesti ganti dengan yang baru.
Pak Kardi melanjutkan, orang Tionghoa juga bukan tipikal orang yang suka memaksakan diri. Dia tanya kepada kami.
"Adian dan teman-teman di kelas ini, pernah lihat enggak, ada orang Tionghoa punya hajatan terus tutup jalan."
Kami ternganga lama. Usai beberapa jeda, kami serempak menggeleng.
Pak Kardi kembali tanya.
"Kalau tetangga kita, saudara kita, bahkan mungkin orangtua kalian sendiri, kalau pesta, kira-kira nutup jalan, enggak?"
Tak lama kami butuh waktu untuk menjawab serempak. "Nutup jalan, Pak."
Pak Kardi tersenyum. Dia melanjutkan, kalau mau sukses, contohlah cara orang Tionghoa mendidik anak-anaknya.Â
Juga cara menyikapi hidup mereka. Tidak semua warga Tionghoa di sekitar kita itu kaya raya.Â
Ada juga yang sederhana, bahkan ada juga yang masih miskin.
Kalau mau Imlek, saudara kita yang Tionghoa juga relatif biasa saja. Beda sama kita kalau mempersiapkan misalnya Lebaran.Â
Makanan kalau pas Imlek paling juga kue tutun.
"Kalian tahu dan pernah makan kue tutun?"
Sebagian kami mengangguk, ada juga yang tidak. Sebagian sudah lemas karena sebentar lagi pulang sekolah.
Oh iya, di kelas kami lumayan banyak teman yang etnik Tionghoa. Ada Andre, Sucipto, Suwito, Mariana Halim, Rosita, Emil, Irsan Kurniawan, Helmie, Lukito Buntoro, Nunita, dan Santi. Rata-rata mereka mengangguk.
Saya jadi ingat kalau dekat Imlek, Papi, sapaan ayah saya, selalu membawa kami ke rumah teman kerjanya yang Tionghoa.Â
Kami diberikan angpao merah berisi uang. Juga diberikan kue-kue.Â
Ibu yang kadang terima kue tutun untuk dibawa ke rumah. Saya tak paham kalau yang lain.Â
Imlek buat saya identik dengan angpao, kue tutun atau kue keranjang. Baru sekarang-sekarang saja ada barongsai.Â
Dulu kan semasa Presiden Suharto, kesenian ini sempat tidak mendapat tempat untuk dipertunjukkan kepada khalayak ramai.
Penjelasan Pak Kardi siang itu sungguh mencerahkan. Kami tak pernah penjelasan berkelas semacam ini sebelumnya.Â
Dalam hati, wajar kalau beliau ini guru teladan provinsi.
Usai Pak Kardi selesai, ia pamit dan kami pun pulang tepat usai bel berbunyi memekikkan siang itu.Â
Kami pun tak sempat tanya kepada nama-nama yang saya tulis tadi, apakah benar penjelasan kepala sekolah kami itu.
Yang jelas, kasatmata kami memang melihat teman-teman yang etnik Tionghoa punya semangat berlipat dalam belajar.Â
Kami belum kenal laptop zaman itu, Irsan Kurniawan sudah bawa laptop. Uniknya kawan kami ini, dialah pengambil kapur tulis abadi untuk kelas kami.Â
Belum ada papan tulis putih kala itu, adanya papan tulis hitam yang mesti ditulisi dengan kapur tulis. Jadul banget ya.
Itulah sekelumit cerita guru saya tentang orang Tionghoa.Â
Kepada beliau, kita sama lamatkan surat Al Fatihah, semoga segala amal saleh almarhum Pak S Kardi Idris selama hidup diterima Allah Swt. Aamiin. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H