Saya dan teman-teman kaget. Cara bertuturnya luar biasa bagus. Berkelas banget.Â
Kami yang tidak tahu kalau beliau ini memang guru teladan di provinsi kami. Duh, duh, duh.
Ada sepenggal cerita Pak Kardi kala itu yang masih saya ingat sampai dengan sekarang. Saat ia bicara soal gaya hidup, ia bilang begini. Contohlah saudara-saudara kalian yang etnik Tionghoa.
Ia bilang, anak-anak etnik Tionghoa sejak kecil dididik disiplin. Saat makan, tidak boleh bersisa.Â
Nasi harus dihabiskan. Itu tanda syukur kepada Tuhan.
Meski orangtuanya kaya, anak-anak, ujar dia, dididik dengan keras.Â
Pagi-pagi, anak-anak etnik Tionghoa diajarkan juga bagaimana membereskan tempat usaha orangtuanya. Mereka sudah dilatih terbiasa dengan dunia dagang.
Untung sedikit, kata dia, tidak jadi masalah, asal barang cepat laku dan tidak menumpuk di dalam gudang.Â
Soal gaya hidup, Pak Kardi paparkan cerita menarik.
"Orang Tionghoa itu hemat. Mereka tidak bakal ganti pakaian, tas, ikat pinggang, atau barang lainnya jika tidak benar-benar penting dan sudah butuh diganti."
Perihal ini baru saya ketahui belakangan saat usai membaca biografi pendiri Kompas, PK Ojong. Ikat pinggang OK Ojong bertahun-tahun tak ganti karena masih kuat meski warna mulai luntur.