Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalis Bukan Juru Tulis

28 April 2016   19:32 Diperbarui: 29 April 2016   11:32 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yudi menjelaskan dengan gamblang.

Saya buru lagi.

"Apa yang mesti dilakukan partai Islam agar suara merekas signifikan, setidaknya bertahan untuk pemilu berikutnya?"

Yudi memaparkan dengan lugas, terang, dan jelas.

Saya belum puas. Saya tanya lagi.

"Dalam kemajemukan Indonesia dan kondisi sekarang, apakah masih relevan ada partai Islam?"

Yudi menjabarkan dengan baik. Penuturannya enak disimak. Kecerdasannya tampak betul dari artikulasi yang ia paparkan.

Wawancara pun usai. Saya seperti biasa, langsung menulis di notes dan mempersiapkan sisipan suara yang akan dilaporkan ke KBR68H. Perut sudah lapar. Wartawan Kompas, Helena Nababan, mengajak makan. Saya mengangguk. Namun, kami sekelebatan melihat sosok cendekiawan Ahmad Syafii Maarif. Kami berdua mengejarnya. Kami menyapa, memberikan salam, dan meminta izin mewawancari Buya Syafii. Ia bertanya kami berdua dari media apa. Usai kami jawab, ia senyum. "Temani saya makan ya. Wawancara sambil makan tidak apa-apa kan?"

Kami malah senang. Kami duduk bertiga. Usai nasi dan lauk pauk di hadapan, tape recorder mulai saya aktifkan. Selera makan saya hilang. Keburu senang bisa mewawancari Buya Syafii. Kami kemudian bertanya. Bergantian dengan Helena. Soal Islam dan demokrasi, partai Islam, media massa, masyarakat sipil, dan soal Lampung. Setengah jam kami habiskan mewawancarai Buya Syafii. Cukup mewah juga, lantaran hanya saya dan kawan dari Kompas yang bersua dengan cendekiawan muslim itu.

Tentu saya tak hendak ujub soal bagaimana seorang jurnalis mempersiapkan bahan awal untuk mewawancarai narasumber sehingga tak menjadi juru tulis. Ini sebuah pengalaman, agar setiap wartawan hendaknya memang membekali diri terlebih dahulu ketika ingin mewawancarai seseorang. Apalagi berkait dengan isu yang tak berbasis peristiwa.

Nilai-nilai itu yang coba kami tanamkan di tempat bekerja kami sekarang. Makanya, saban hari, ide liputan sendiri dibikin. Siapa yang mesti didatangi. Angle seperti apa yang mau ditulis. Pihak mana yang bisa dikonfirmasi. Kemudian ujung dari pemberitaan ini ke mana. Adakah dampak publiknya jika ini menjadi konsumsi bacaan masyarakat dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun