"Langkah apa yang akan dilakukan Kementerian agar alokasi anggaran untuk rumah buat rakyat miskin bisa terealisasi?"
Ia menjawab lagi. Kali ini sudah benar-benar dekat dengan masjid. Wawancara pun usai. Saya lega.
Beberapa jurnalis bilang, "Makasih ya, Mas." Saya mengangguk.
Saya kemudian menulis laporan itu. Karena masih bekerja di Kantor Berita Radio 68H (KBR68H), saya menulis di notes dan menyiapkan sisipan suara di tape recorder yang akan saya laporkan. Angle saya susun dengan baik, yang kira-kira bisa naik di Kabar Terbaru KBR68H.
Saya menduga, untuk isu yang teknis semacam perumahan, memang bagusnya setiap jurnalis membaca terlebih dahulu isu besarnya. Dari situ kita bisa bertanya, sesuai dengan kebutuhan pembaca, pendengar, dan pemirsa. Jadi, tak sekadar menulis. Soal jurnalis lain mendapat manfaat dari angle yang kita susun, tidak masalah. Soal profesionalisme kan bergantung masing-masing orang. Apalagi untuk isu yang basisnya bukan sekadar peristiwa.
Pernah juga waktu ada acara Muhammadiyah di Lampung. Beberapa pakar politik Islam datang. Salah satunya Yudi Latif. Seorang pengamat politik Islam yang masih muda. Itu mendekati Pemilu 2009. Dari rumah saya sudah menyiapkan apa yang mau saya tanyakan. Draf saya susun yang rapi. Notes dan pena masuk tas. Juga dengan tape recorder.
Begitu Yudi Latif usai mengisi acara dan mau makan siang, kami mengerumuninya. Saya paling depan. Beberapa wartawan awalnya tidak hendak mewawancarai. Saya tak ambil pusing. Isu soal prediksi perolehan partai Islam yang ingin saya tanyakan.
Seorang teman datang dan tanya. "Yan, dia itu siapa?". Capek deh, hehehe.
Saya bilang, pengamat politik Islam.
Begitu Yudi duduk, saya duduk di sampingnya dan bertanya.
"Bagaimana prediksi Anda perolehan suara partai Islam di pemilu mendatang?'