Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Money

BI Bersinergi, Inflasi Terkendali

26 Juli 2014   04:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:12 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Ramadan datang, lazim ketika harga barang dan jasa terkerek. Yang semula hanya beberapa rupiah, saat Ramadan naik beberapa rupiah. Apalagi mendekati Lebaran. Harga barang dan jasa dipastikan naik sampai tiga puluh persen.Dalam ekonomi, inilah yang disebut dengan inflasi. Inflasi atau kenaikan harga barang secara umum galib saban Ramadan. Dalam ekonomi, kondisi ini memang lazim karena ada hubungan erat antara permintaan dan penawaran.

Saat Ramadan, kebutuhan rumah tangga atas makanan, pakaian, dan kebutuhan lain memang melonjak. Puasa yang semestinya bisa mengerem kehendak untuk laku konsumtif, malah tidak menemukan momentumnya. Wajar kalau kemudian kebutuhan rumah tangga menjadi meroket. Yang saat di bulan lain tidak membuat kolak pisang, kudapan berbuka atau takjil, saat Ramadan diada-adakan. Yang saat bulan lain konsumsi telur, daging, dan ayam relatif biasa, selama Ramadan naik tinggi. Harga daging sapi saja seperti dilansir Kompas media Juli lalu mencapai Rp120 ribu per kilogram. Kebutuhan masyarakat terhadap bahan pembuat kue seperti telur, terigu, dan mentega atau margarin, juga memicu kenaikan yang signifikan.


Menjelang Lebaran, sudah pasti kebutuhan makin besar. Anak-anak umumnya dibelikan pakaian baru. Orang tua juga acap menambah koleksi pakaian muslim, plus perlengkapan lain, seperti kopiah, sarung, dan sajadah. Ini jelas menambah pos pengeluaran rumah tangga.
Herannya, meskipun naik, pasar-pasar tetap saja sesak. Ini pertanda inflasi yang terjadi tidak menjadi masalah untuk konsumen rumah tangga. Seberapa pun harga yang ditawarkan, konsumen sanggup membelinya. Benar ternyata, permintaan yang besar membuat harga makin tinggi.


Namun, sebetulnya ini anomali kalau ditilik dari sisi pasokan barang. Sejatinya, pasokan barang selama Ramadan itu mencukupi. Rempah yang dibutuhkan selama Ramadan pasti mencukupi. Beras dipasok Bulog dengan akurasi yang tinggi sehingga Kementerian Perdagangan mengklaim cukup untuk Ramadan. Demikian juga dengan alokasi telur, daging, dan bahan komplementer lain, dinyatakan mencukupi.

Logikanya, dengan pasokan yang mencukupi, harga yang terbentuk semestinya tidak terlalu melejit. Kalaupun naik, dalam kisaran wajar dan tidak seolah aji mumpung. Namun, yang terjadi sekarang ialah harga barang terkerek meskipun pasokan cukup.Kalau menggunakan diksi lumrah, ya memang lumrah jika inflasi terjadi selama Ramadan. Dan kecenderungannya pun meninggi. Sebab, minat warga untuk berbelanja sangat tinggi. Meskipun pasokan cukup, pengusaha tentu tidak mau melewatkan kesempatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Ini prinsip ekonomi paling klasik. Dengan modal minimal, bisa dapat untuk optimal. Apalagi, menjelang Labaran. Barang apa saja yang ada di pasar akan diserbu konsumen dengan habis-habisan.Jadi, fenomena inflasi selama Ramadan adalah sebuah kewajaran jika ditilik dari sudut pandang permintaan dan penawaran.

Nah, masalahnya ialah apakah inflasi yang terjadi selama puasa ini bisa menimbulkan gejolak moneter? Apakah kecenderungan harga naik ini kemudian menimbulkan kepanikan di pasar? Atau bahkan, membuat konsumen sulit mendapatkan barang dan jasa yang mereka butuhkan?
Dari fenomena inflasi selama Ramadan ini, ada beberapa senarai menarik yang ingin didedahkan.

Pertama, ketimpangan struktural
Cobalah kita perhatikan baik-baik. Selama Ramadan, Dinas Pekerjaan Umum galibnya melakukan perbaikan dan perawatan jalan. Di Lampung hal ini terjadi. Saya menduga, di daerah lain juga demikian.
Kita tahu, jalan mempunya peran urgen sebagai sarana mendistribusikan segala barang yang dibutuhkan masyarakat. Sayangnya, hampir semua jalan penghubung antarprovinsi kondisinya rusak. Dengan jalan yang rusak, distribusi barang menjadi terganggu. Bahan pokok yang semestinya bisa sehari sampai, karena jalan jelek, bisa dua sampai tiga hari. Hasil bumi yang semestinya bisa segera dikonsumsi masyarakat, akhirnya sampai dalam kondisi tidak segar. Imbasnya, harga menjadi terpengaruh. Pasokan hasil alam yang tersendat membuat ketersediaan di pasar sedikit. Lantaran yang hendak membeli banyak, harga akhirnya meninggi tidak keruan.


Mengapa pula saban jelang Lebaran, pemerintah baru memperbaiki jalan yang rusak. Mengapa perbaikan tidak dilakukan dua atau tiga bulan sebelum Ramadan. Ini belum menghitung cuaca. Jika hujan, perbaikan jalan menjadi percuma. Sebab, air dengan segera menggerus lapisan aspal. Inilah ketimpangan struktural yang efeknya kita rasakan selama bulan puasa dan menjelang Lebaran.

Kedua, BI on the track
BI seperti diamanatkan dalam regulasi, BI mempunyai tugas pokok dalam tiga kebijakan. Dalam kebijakan moneter, BI bertugas memengaruhi perkembangan moneter (uang beredar dan suku bunga) untuk mencapai sasaran inflasi. Kemudian, BI memerlukan dukungan kelancaran sistem pembayaran yang cepat, aman, dan efisien.


Tugas kedua BI ialah dalam ranah kebijakan sistem pembayaran. Dalam konteks ini, BI mengatur dan menyelenggarakan sistem pembayaran (tunai dan nontunai) untuk kelancaran ekonomi. Dalam menjalankan tugas ini, BI memerlukan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan stabil.Tugas ketiga BI ialah kebijakan sistem keuangan. Di sini BI melakukan pengawasan makroprudensial. Kemudian, BI memengaruhi efektivitas kebijakan moneter dan kelancaran sistem pembayaran.


Nah, dalam konteks inflasi selama bulan puasa, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung, Nairobi, menilai BI sudah pada posisi yang benar. BI diklaim sudah menjalankan semua fungsinya dengan baik. Dengan demikian, semua fungsi berjalan dengan baik. Perihal adanya inflasi selama Ramadan, hal itu hal yang wajar. Dan, hanya terjadi dalam konteks permintaan dan penawaran. Melulu berhubungan dengan barang dan jasa. Soal alat pembayaran, kondisi moneter, dan sebagainya, kondisinya sejauh ini bagus. Inflasi yang terjadi selama puasa adalah fenomena tahunan. Ini ada kaitannya dengan poin berikutnya soal kebijakan pemerintah daerah. Poin ini akan didedahkan dalam pembahasan tersendiri.

Ketiga, peran pemda lemah
Seperti ditulis di atas, dimana ada ketimpangan struktural dan itu berefek pada inflasi bulan Ramadan, kritik perlu ditujukan kepada pemerintah daerah. Setiap provinsi memiliki Tim Pengendali Inflasi Daerah atau TPID. Tim ini, bekerja sama dengan banyak lembaga, termasuk BI, semestinya piawai dalam mengantisipasi kecenderungan inflasi. Sebab, pemerintah daerah yang paling mengetahui kondisi ekonominya. Nairobi menjelaskan, berdasar pengalamannya, orang yang ditunjuk pemda untuk berkiprah di tim ini tidak berkompeten. Kecakapan seseorang padahal diperlukan untuk masuk ke dalam tim ini. Namun, jika yang dikirim pemda adalah orang tak berkompeten, sulit untuk mengantisipasi inflasi sehingga terkendali, khususnya untuk bulan puasa.


Inflasi itu lebih kepada kecenderungan kenaikan harga barang. Karena dia cenderung atau tendensi, tim harus mampu mengantisipasi inflasi dengan angkah yang tepat. Jika ada harga barang yang terus naik, perlu dicari penyebabnya. Apakah pasokan terganggu ataukah memang jumlah barangnya terbatas. Dengan mengetahui intisari masalah, tim ini bisa melakukan evaluasi dan kajian, kemudian merumuskan langkah. Setidaknya, inflasi yang terjadi masih dalam kategori yang wajar. Dan, masyarakat pun masih punya kans untuk memperoleh barang dan jasa yang mereka butuhkan.

Keempat, kontradiksi Lebaran dengan Natal dan Tahun Baru
Cobalah kita perhatikan. Menjelang Lebaran, semua harga kebutuhan pokok masyarakat menjadi naik. Terutama yang dibutuhkan saat Lebaran. Misalnya telur, daging, cabai, pakaian, dan sebagainya. Memang benar, sejumlah swalayan besar memberikan korting atas harga yang ditentukan. Namun, secara umum, harga barang dan jasa ini naik berkali lipat. Namun, berapa pun harga yang ditawarkan, konsumen tetap menyerbu. Maka, kita menyimak betapa pasar dipadati oleh warga yang ingin berlebaran dengan pakaian baru dan makanan enak. Pedagang mendapat keuntungan yang lumayan.


Namun, fenomena itu tidak kita lihat selama Natal dan Tahun Baru. Meskipun pasar ramai, harga yang dipajang di gerai tidak segila saat bulan puasa. Seolah-olah menandakan, kalau momentum akhir tahun adalah masa produsen mengucapkan terima kasih kepada konsumen. Terima kasih bahwa selama sebelas bulan sebelumnya, konsumen sudah memberikan banyak keuntungan. Dan "ironisnya", momentum puasa dan Lebaran menjadi saat terbaik mengeruk keuntungan.

Semestinya, kita juga mendorong perusahan untuk memberikan insentif kepada konsumen selama puasa dan Lebaran. Jangan sampai terkesan, umat muslim hanya dijadikan sapi perahan saat mereka membutuhkan. Korporasi semestinya juga tak melihat poin keuntungan melulu. Bahwa mereka mendapat keuntungan yang besar, itu sudah pasti. Tapi memberikan insentif kepada konsumen muslim selama puasa, juga harus dilakukan. Ini juga untuk mengendalikan inflasi sehingga harga yang terbentuk tidak memberatkan konsumen.

Kelima, BI bersinergi
Untuk mengendalikan inflasi sehingga tak berada pada kisaran yang wajar, BI memang perlu bersinergi dengan banyak pihak. Jika merujuk pada tiga tugas pokoknya, BI memang berhubungan dengan banyak lembaga, seperti Kementerian Keuangan, Bapepam, Bappenas, dan sebagainya. Sebab, sinergi ini menjadi penting untuk mendorong pettumbuhan Indonesia pada angka yang positif.


Kita ambil contoh kebijakan suku bunga. BI mesti pandai meletakkan suku bunga ini dalam momentum tertentu. Menaikkan suku bunga memang berimplikasi pada peningkatan tabungan masyarakat di bank. Dengan begitu, bank bisa mendistribusikan simpanan nasabah untuk mendorong sektor riil berupa pinjaman kepada masyarakat. Masyarakat yang terdorong menabung, sedikt banyak menolong pergerakan sektor riil. Sektor riil, dalam banyak analisis, sering berada di persimpangan jalan. Rupiah yang dikucurkan kepada mereka acap menjadi blundef ketika iklim ekonomi tidak kunjung membaik.

Demikian pula ketika BI melakukan penurunan suku bunga yang membuat korporasi tergerak untuk menaikkan produksi mereka. Dengan begitu, akumulasi modal korporasi meningkat dan dipergunakan untuk mengkreasikan produk yang akan dilempar ke pasaran. Mutu produk juga akan terjaga ketika perusahan punya uang yang cukup untuk menggelorakan produksinya. Akan tetapi, di sisi lain, penurunan suku bunga tidak menarik buat masyarakat yang ingin mendepositokan tabungannya di bank.

Dengan kondisi yang selalu punya implikasi positif dan negatif inilah, BI mesti bersinergi dengan yang lain. Saat akan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bungs, BI patut menerima masukan Badan Penanaman Modal, apakah tren investasi dalam tahun mendatang akan bagus atau tidak. Dengan informasi yang akurat, BI bisa menelurkan kebijakan suku bunga yang tepat.

Dalam konteks bulan puasa, di mana inflasi ingin dikendalikan pada nilai yang tepat, BI juga mesti membuka informasi dari Badan Pusat Statistik. Kecenderungan yang seperti apa yang bakal terjadi selama bulan puasa. Pada produk apakah harga akan meljit luar biasa, dan pada item apa harga masih cenderung normal. Pengetahuan terhadap hal ini akan membantu BI untuk mengendalikan likuiditas perekonomian.

Galibnya, jumlah uang yang beredar selama puasa, melebihi bulan biasanya. Sebaran uang yang kelewat banyak di pasar akan menurunkan nilai uang itu sendiri. Maka itu, BI perlu mengendalikan jumlah uang yang beredar. Setiap bank pasti melebihkan cadangan uangnya untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat terhadap uang tunai. Praksisnya, bisa untuk membeli kebutuhan lebaran, memberikan "THR" kepada sanak saudara, dan sebagainya. Satu bank saja untuk mengantisipasi kebutuhan uang tunai masyarakat, bisa mencapai lebih dari Rp1 triliun. Laporan Kompas beberapa waktu lalu menjelaskan betapa hampir semua bank menambah jumlah uang di ATM sehingga mudah diakses masyarakat.

Sudah tentu, kebutuhan uang tunai oleh masyarakat akan memengaruhi nilai uang itu sendiri. Di titik inilah, BI perlu juga merespons masukan lembaga keuangan lainnya untuk secara tepat menyikapinya. Sinergi BI dengan lembaga lain akan menguntungkan. Masyarakat sebagai pelaku utama ekonomi akan mudah dalam melakukan aktivitas ekonominya lantaran ada informasi akurat yang disampaikan BI dan lembaga lainnya.

THR Dipercepat
Satu item yang barangkali membantu ialah BI bisa merekomendasikan agar tunjangan hari raya atau THR tidak diberikan saat Ramadan. Memberikan THR secara serempak di bulan Ramadan memang membuat kecenderungan kenaikan harga barang secara umum terjadi signifikan. Dengan pemberian THR yang serempak, membuat semua harga terkerek. Memang ada argumentasi bahwa THR diberikan untuk memperoleh barang dan jasa yang nilainya sudah naik. Namun, jika ada pilihan lain, tentunya lebih baik dan bisa dicoba.


Dengan memberikan THR tidak pada bulan Ramadan, kenaikan harga barang tidak akan sedahsyat selama puasa. Dengan THR yang dipercepat, masyarakat bisa membeli kebutuhan Lebaran jauh-jauh hari. Setidaknya untuk golongan kelas buruh yang jumlahnya signifikan, pemberian THR sebelum bulan puasa akan lebih bermanfaat. Secara psikologis, ketika Lebaran sebentar lagi datang, konsumsi masyarakat tidak sebesar Ramadan-Ramadan sebelumnya. Dengan demikian, jika ide ini berhasil, sedikit banyak BI sukses dalam mengendalikan inflasi dan peredaran uang. Likuiditas perekonomian juga bisa dikendalikan.

Saban tahun pemerintah mempunyai sasaran inflasi. Ini memerlukan perencanaan yang perhitungan matematika yang akurat. Kalaupun meleset lantaran variabel ekonomi tak melulu berkelindan dengan angka, kisaran realisasi tak bakal jauh dari target. Dan karena setiap tahun ada bulan puasa yang sudah pasti ada inflasi, pemerintah perlu menentukan sasaran inflasi yang paling pas. Berapa angka yang dipatok sehingga memungkinkan untuk tercapai.

Setelah sasaran ditentukan, BI secara independen akan berusaha mewujudkannya. Sebab, tugas untuk mencapai kestabilan rupiah ada di pundak BI. Dari sinilah nantinya BI berupaya dengan kebijakan moneternya untuk mengendalikan inflasi sehingga mencapai target.

Karena ihwal inflasi tak melulu berkenaan dengan tugas BI an sich, institusi ini mesti melakukan sinergi dengan lembaga lain. Seperti diungkap di atas, sinergi ini menjadi penting karena ihwal inflasi tak melulu berkenaan dengan tugas pokok BI. Seperti dikatakan Nairobi tadi, BI boleh jadi sudah berada pada jalur yang benar dengan kebijakan moneternya, kebijakan sistem pembayaran, dan kebijakan sistem keuangan. Namun, pihak-pihak yang berkelindan dengan tugas pokok BI itu mesti juga memahami bahwa mereka punya saham atas kesuksesan menjaga stabilitas mata uang.

Kesimpulan
Nah, jika dikerucutkan dalam ranah mikro, semisal upaya mengendalikan inflasi selama Ramadan, tentu BI tidak bisa bekerja sendirian. Dan kesimpulan di bawah ini, barangkali menjadi khatimah yang baik untuk artikel sederhana ini.


Pertama,
BI memberikan masukan mengenai sasaran inflasi

Saban awal tahun, penetapan sasaran inflasi dilakukan pemerintah. Jika ingin bersinergi dengan baik, BI layak memberikan advis yang membantu pemerintah realistis dalam menetapkan sasaran inflasi. Sasaran yang ditetapkan dengan pertimbangan yang matang akan lebih baik ketimbang yang disusun dengan data yang kurang tepercaya

Kedua, BI mendorong pemerintah daerah atasi ketimpangan struktural
Disebabkan inflasi tak melulu berkenaan dengan variabel ekonomi, BI bisa mendorong setiap pemda untuk mengatasi ketimpangan struktural. Beri masukan kepada pemerintah agar tidak melulu memperbaiki jalan yang rusak saat bulan puasa. Jika diperbaiki sejak awal, distribusi barang menjadi lancar dan pasokan di pasar akan aman. Dengan begitu, inflasi bisa dikendalikan atau setara dengan sasaran yang ditentukan

Ketiga, BI mendorong TPID serius bekerja

Mendorong agar peran pemda lebih terlihat, BI bisa memberikan masukan agar person yang dikirim dan masuk ke dalam Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) adalah orang yang kapabel. Ketidakseriusan pemerintah dalam menempatkan orang di tim ini tidak memaksimalkan pekerjaan. Untuk itu, yang mesti ditugaskan di sini adalah mereka yang punya kemampuan memadai.

Keempat, BI mendorong pemerintah agar meminta korporasi memajukan THR

Demi mengendalikan inflasi selama Ramadan, ada baiknya THR diberikan satu atau dua bulan sebelum puasa. BI bisa memberikan advis dan alasan yang masuk akal kepada pemerintah. Dengan begitu, pemerintah saat meminta korporasi memberikan THR, punya pertimbangan yang logis. Ini bisa dicoba. Jika ada daerah yang sudah mencoba, pasti menjadi yurisprudensi untuk daerah lain. Dengan cara ini, inflasi lebih mudah dikendalikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun