Saat Ramadan datang, lazim ketika harga barang dan jasa terkerek. Yang semula hanya beberapa rupiah, saat Ramadan naik beberapa rupiah. Apalagi mendekati Lebaran. Harga barang dan jasa dipastikan naik sampai tiga puluh persen.Dalam ekonomi, inilah yang disebut dengan inflasi. Inflasi atau kenaikan harga barang secara umum galib saban Ramadan. Dalam ekonomi, kondisi ini memang lazim karena ada hubungan erat antara permintaan dan penawaran.
Saat Ramadan, kebutuhan rumah tangga atas makanan, pakaian, dan kebutuhan lain memang melonjak. Puasa yang semestinya bisa mengerem kehendak untuk laku konsumtif, malah tidak menemukan momentumnya. Wajar kalau kemudian kebutuhan rumah tangga menjadi meroket. Yang saat di bulan lain tidak membuat kolak pisang, kudapan berbuka atau takjil, saat Ramadan diada-adakan. Yang saat bulan lain konsumsi telur, daging, dan ayam relatif biasa, selama Ramadan naik tinggi. Harga daging sapi saja seperti dilansir Kompas media Juli lalu mencapai Rp120 ribu per kilogram. Kebutuhan masyarakat terhadap bahan pembuat kue seperti telur, terigu, dan mentega atau margarin, juga memicu kenaikan yang signifikan.
Menjelang Lebaran, sudah pasti kebutuhan makin besar. Anak-anak umumnya dibelikan pakaian baru. Orang tua juga acap menambah koleksi pakaian muslim, plus perlengkapan lain, seperti kopiah, sarung, dan sajadah. Ini jelas menambah pos pengeluaran rumah tangga.Herannya, meskipun naik, pasar-pasar tetap saja sesak. Ini pertanda inflasi yang terjadi tidak menjadi masalah untuk konsumen rumah tangga. Seberapa pun harga yang ditawarkan, konsumen sanggup membelinya. Benar ternyata, permintaan yang besar membuat harga makin tinggi.
Namun, sebetulnya ini anomali kalau ditilik dari sisi pasokan barang. Sejatinya, pasokan barang selama Ramadan itu mencukupi. Rempah yang dibutuhkan selama Ramadan pasti mencukupi. Beras dipasok Bulog dengan akurasi yang tinggi sehingga Kementerian Perdagangan mengklaim cukup untuk Ramadan. Demikian juga dengan alokasi telur, daging, dan bahan komplementer lain, dinyatakan mencukupi.
Logikanya, dengan pasokan yang mencukupi, harga yang terbentuk semestinya tidak terlalu melejit. Kalaupun naik, dalam kisaran wajar dan tidak seolah aji mumpung. Namun, yang terjadi sekarang ialah harga barang terkerek meskipun pasokan cukup.Kalau menggunakan diksi lumrah, ya memang lumrah jika inflasi terjadi selama Ramadan. Dan kecenderungannya pun meninggi. Sebab, minat warga untuk berbelanja sangat tinggi. Meskipun pasokan cukup, pengusaha tentu tidak mau melewatkan kesempatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Ini prinsip ekonomi paling klasik. Dengan modal minimal, bisa dapat untuk optimal. Apalagi, menjelang Labaran. Barang apa saja yang ada di pasar akan diserbu konsumen dengan habis-habisan.Jadi, fenomena inflasi selama Ramadan adalah sebuah kewajaran jika ditilik dari sudut pandang permintaan dan penawaran.
Nah, masalahnya ialah apakah inflasi yang terjadi selama puasa ini bisa menimbulkan gejolak moneter? Apakah kecenderungan harga naik ini kemudian menimbulkan kepanikan di pasar? Atau bahkan, membuat konsumen sulit mendapatkan barang dan jasa yang mereka butuhkan?
Dari fenomena inflasi selama Ramadan ini, ada beberapa senarai menarik yang ingin didedahkan.
Pertama, ketimpangan struktural
Cobalah kita perhatikan baik-baik. Selama Ramadan, Dinas Pekerjaan Umum galibnya melakukan perbaikan dan perawatan jalan. Di Lampung hal ini terjadi. Saya menduga, di daerah lain juga demikian.
Kita tahu, jalan mempunya peran urgen sebagai sarana mendistribusikan segala barang yang dibutuhkan masyarakat. Sayangnya, hampir semua jalan penghubung antarprovinsi kondisinya rusak. Dengan jalan yang rusak, distribusi barang menjadi terganggu. Bahan pokok yang semestinya bisa sehari sampai, karena jalan jelek, bisa dua sampai tiga hari. Hasil bumi yang semestinya bisa segera dikonsumsi masyarakat, akhirnya sampai dalam kondisi tidak segar. Imbasnya, harga menjadi terpengaruh. Pasokan hasil alam yang tersendat membuat ketersediaan di pasar sedikit. Lantaran yang hendak membeli banyak, harga akhirnya meninggi tidak keruan.
Mengapa pula saban jelang Lebaran, pemerintah baru memperbaiki jalan yang rusak. Mengapa perbaikan tidak dilakukan dua atau tiga bulan sebelum Ramadan. Ini belum menghitung cuaca. Jika hujan, perbaikan jalan menjadi percuma. Sebab, air dengan segera menggerus lapisan aspal. Inilah ketimpangan struktural yang efeknya kita rasakan selama bulan puasa dan menjelang Lebaran.
Kedua, BI on the track
BI seperti diamanatkan dalam regulasi, BI mempunyai tugas pokok dalam tiga kebijakan. Dalam kebijakan moneter, BI bertugas memengaruhi perkembangan moneter (uang beredar dan suku bunga) untuk mencapai sasaran inflasi. Kemudian, BI memerlukan dukungan kelancaran sistem pembayaran yang cepat, aman, dan efisien.
Tugas kedua BI ialah dalam ranah kebijakan sistem pembayaran. Dalam konteks ini, BI mengatur dan menyelenggarakan sistem pembayaran (tunai dan nontunai) untuk kelancaran ekonomi. Dalam menjalankan tugas ini, BI memerlukan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan stabil.Tugas ketiga BI ialah kebijakan sistem keuangan. Di sini BI melakukan pengawasan makroprudensial. Kemudian, BI memengaruhi efektivitas kebijakan moneter dan kelancaran sistem pembayaran.