Mohon tunggu...
Alif Bengkok
Alif Bengkok Mohon Tunggu... -

Jika kau mendengan sesuatu yang baik tentang ku, maka itu layak diragukan... jika kau mendengar sesuatu yang buruk tentang ku, maka itu berkemungkinan benar...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Njunjung" Cahaya

26 Mei 2018   19:39 Diperbarui: 26 Mei 2018   21:39 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Silahkan Mbah di sruput kopi nya" saya mempersilahkan Mbah Nur meminum kopi

" Santai lah, aku juga baru sampe, kamu ngrusu sekali, urgent banget memangnya pertanyaan mu...? " respon Mbah Nur diakhiri tanya.

" Kalau urgent sih ndak Mbah, tapi penasarane mak puol....." jawab saya sambil sedikit tertawa.

"Ya sudah apa pertanyaan mu...?" tanya Mbah nur tanpa basa basi.

"Apa itu berkah Mbah..?" respon saya langsung bertanya.

"Berkah itu seperti kamu punya uang Seratus ribu, baru terpakai Lima belas ribu, sudah dapat lagi Dua puluh Juta! " jawab Mbah Nur.

Sejenak saya terdiam, kemudian terhenyak sendiri sambil menepok jidat.

" iya Mbah, saya ngerti. "

" ngerti apa kamu...? "

" ya itu, berkah,... Jadi posisi nya saya saat ini lagi proses menghayati sebuah hikmah ilmu, dan belum selesai saya hayati eh malah dapat untaian mutiara ilmu yang lainya, satu saja belum selesai saya amalkan eh malah dapat lagi seribu ilmu yang lain... Dan bodoh nya lagi tadi saya sempat berfikir si Mbah sangat materialis karena meng-amsal-kan berkah dengan uang... " jawab saya.

"Lho memangnya salah tho?!  Meng-amsal-kan berkah dengan uang? Lha wong Tuhan maha kuasa kok! Emang kamu fikir dia nggak bisa kasih kamu kekayaan apa?! "

" iya Mbah maaf.... " jawab saya sambil tertunduk.

" Tapi kalau tafsir mu baru sampai situ ya lumayan lah sudah jauh diatas rata-rata kamu, se ndak nya sekarang kamu sudah sadar dengan berkah ilmu, hidup mu ndak akan pernah mati gaya, jauh lebih indah dan nikmat hidup miskin tapi penuh amal, daripada kaya raya tapi mati gaya trus lampias nya bukan amal malah keserakahan, hampir rata lho sekarang yang begitu dan lowongan jadi Brandal Lokajaya ndak ada yang isi, kamu ndak minat tho?" timpal Mbah Nur.

"tadinya minat Mbah, tapi tak kalkulasi lagi, kalau dulu orang kaya sehabis kerampokan mereka pada mikir, kalau sekarang orang kaya sehabis kerampokan serakah nya malah makin menjadi - jadi, jadi ya lebih baik ndak ada yang isi tho Mbah lowongan itu, daripada tambah bikin susah wong cilik... " timpal saya sambil tersenyum.

"halah bisa ajah kamu,... dulu, sekarang, kan sama saja, Ya sudah yang kedua apa?"

"yang kedua, kenapa Sekuler Mbah... ?!" tanya saya.

"kalo itu amanat undang - undang Di, maksudnya gini lho, kan setiap orang bebas berdaulat menentukan kepercayaan nya, kalo ndak Sekuler ya berati ndak bebas tho! Kecuali posisi nya sudah meresahkan masyarakat, sudah memaksakan pendapat, sudah mengganggu ketertiban umum, atau berpotensi menimbulkan konflik, kalau sudah begitu baru boleh lah diambil tindakan " jawab Mbah Nur.

"bener juga sih Mbah, tapi kalau begitu kan potensi ketersesatan malah makin besar tho!?" timpal saya.

"Kamu ingat ndak pas kamu baru awal-awal ngojek dulu,...?" tanya Mbah Nur.

"yang mana ya Mbah...? "

" itu lho yang kamu dapat order dari stasiun pasar minggu ke bekasi, sampai sana batre mu habis dan kamu nggak tau jalan pulang " Mbah Nur mencoba mengingatkan.

" ohh iya iyaa inget Mbah, waktu itu saya nanya setiap 300 meter, tapi malah tambah bingung, akhirnya jalan ngikutin plang, malah tambah nyasar, akhirnya ya sudah, jalan sejalan jalannya, tau-tau saya nyampe pancoran, abis itu tinggal lurus ke Ragunan... Tapi ngomong - ngomong si Mbah meratiin saya juga ya " timpal saya sambil sumringah.

" nanti kalau ndak perhatian kamu ngrasani aku, Mbah Cap Opo!,..."

"ahh.. Si Mbah bisa ajah " timpal saya sambil tersipu malu.

" nah menurut mu, itu yang kamu alami peristiwa apa...? " tanya Mbah Nur.

" peristiwa Kesasar... " jawab saya.

" ya memang Kesasar, tapi spesifik dikit lah jawab nya...!! " timpal Mbah Nur agak mendesak.

" Kesasar karena nggak bawa Power Bank " jawab saya asal, menutupi kebingungan.

" hehehehe... Itu namanya Kesasar ke Jalan yang Benar,....balik ke sekuler tadi, lha wong kita semua ini Kesasar kok, tapi karena tak ada satupun yang bisa menghindar dari Illaihi Roji'un, maka semua yang Kesasar, kalau niatnya sungguh - sungguh ingin pulang, dan karena seperti kata Mbah mu, Tuhan itu Maha ndak Tegaan, maka sekalipun Kesasar, ya di sasar kan kejalan yang benar, gitu lho... " jelas Mbah Nur.

" oalah... " timpal saya sambil kembali menepok jidat.

" Wis... Wis... Jangan gumunan gitu yang selanjutnya apa...? " timpal Mbah Nur kembali diakhiri tanya.

"ini Mbah soal Dua Puluh tahun yang lalu... Kenapa sikap si Mbah mendadak berubah...? Dan menyisakan kebingungan berkepanjangan...?"  tanya saya selanjutnya.

".... oalah... kopi saya sudah dingin ini...lupa aku ada kopi" timpal Mbah Nur, sambil menyeruput kopinya, " enak ini kopi buatan mu, kamu racik sendiri atau gimana...?"  tanya Mbah Nur.

" oh ndak Mbah, itu kopi sachetan biasa cuma saya tambah kopi lagi satu sendok teh, biar lebih legit" jawab saya.

" oh dapat ide dari mana itu, atau memang nggak sengaja coba-coba aja...? " tanya Mbah Nur, lagi.

" ya coba - coba ajah Mbah, persis seperti si Mbah yang sekarang sedang coba - coba mengalihkan topik pembicaraan... Hehehe... " jawab saya sambil mencoba keluar dari keterjebakan.

" hahahahaaaaaa... Kamu ini, senang aku kalo banyak anak muda begini, bangga betul aku sama kamu Di" timpal Mbah Nur mengiringi gelak tawa nya.

" ah simbah bisa saja, tapi ya tetep ajah aku ndak kejebak dua kali Mbah, tadi nanya sekarang muji, mbok langsung dijawab aja tho Mbah " saya kembali memburu.

" oke, kalo gitu kita mulai, kamu pernah denger peribahasa 'Mati satu tumbuh seribu'...? "

" ya, Mbah pernah "

" simpan dulu yang itu, sekarang kamu pegang tangan ku " pintu Mbah Nur.

Kemudian saya pegang telapak tangan yang beliau julurkan.

" apa rasanya...? " tanya Mbah Nur.

" dingin Mbah "

" ya, tangan ku dingin, persis seperti dua puluh tahun yang lalu, menurut mu kenapa tangan ku dingin....? "

" mungkin karena mungkin si Mbah belum makan lalu banyak beraktifitas diruang ber AC " jawab saya, menerka berdasar logika.

" bukan Di, bukan karena itu, tangan ku dingin karena takut...! " timpal Mbah nur.

" lalu apa yang Mbah Takut kan, sedangkan pada saat itu, Si Mbah berada pada posisi yang benar....?! " saya coba menyanggah.

" benar, memang benar, tapi kondisi nya waktu itu persis seperti peristiwa penyanderaan, itu kondisi perang Di, dimana pihak lawan akan melakukan segala cara untuk menang ... " jawab Mbah Nur.

" kalau memang harus ada korban, kenapa tidak Mbah...? Posisi si Mbah sudah diatas angin, tinggal selangkah lagi, sudah tahiyat akhir Mbah, tinggal salam, masa si Mbah menolak berkorban...!!!?" saya mencoba mendesak.

" memang Di, tapi masalahnya bukan aku sanderanya! kalau aku yang jadi korban, rawe-rawe rantas, malang-malang patung, daripada putih mata, lebih baik putih tulang "

" lalu siapa sanderanya Mbah?!"

" yang disandra dan diancam disakiti itu Kekasih Tuhan, dan kalau dia sampai disakiti rasanya sejarah umat terdahulu sudah cukup jadi peringatan!!!, dan aku juga baru Tersadar saat itu peperangan jauh dari kata imbang, ini bukan lagi satu berbanding seribu, tapi lebih dari itu!!!" jelas Mbah nur.

" baik Mbah meskipun saya belum sepenuhnya menerima, saya akan coba mengerti, lalu apa kaitannya dengan 'mati satu tumbuh seribu' Mbah....? " tanya saya lagi.

" mati satu tumbuh seribu, itu hanya mungkin kalau tanah nya baik dan subur, curah hujan nya juga cukup, tapi melihat kondisi saat itu, tanah kering kerontang Di, dan juga kemarau akan sangat panjang!Jadi tak mungkin ada harapan!!, itu kondisi ladang kita Di, sedangkan ladang lawan kebalikanya, belukar dan semak berduri juga bunga - bunga bangkai bibit nya sudah rata tersebar, dan ternyata peristiwa dua puluh tahun yang lalu itu adalah hujan deras yang sudah sejak lama mereka persiapkan " jelas Mbah nur.

" jadi maksudnya si Mbah waktu itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengulur waktu, agar orang-orang tak bersalah tak ikut jadi korban semata karena mereka tidak tahu apa-apa, memberi ruang agar Sang Kekasih Tuhan itu bisa kembali membenahi ladang, menebar bibit, dan menumbuhkan tanaman, begitu Mbah...!!!? " timpal saya.

" selain sesendok teh kopi murni, kopi mu ini kamu campur obat apa Di, bisa cerdas begitu kamu " timpal Mbah Nur coba kendur kan syaraf.

" saya campur lawak sedikit Mbah, biar ndak tegang... Hahahahaaa" saya mencoba tek-tok.

" lawak bahan jamu...? "

" kalau itu pakai 'Temu'  Mbah jadi 'Temu Lawak'.... Hahahahahaaa" saya mulai terbawa suasana.

" nah ya memang begitu, begitu keTEMU, jadi LAWAKan...... Hahahahaaaaaa, nah sekarang kita tinggal tunggu hujan deras nya Di, jadi semua yang sudah ditanam bisa berbuah " Mbah Nur pun ikut tertawa.

" si Mbah bisa saja,.... " timpal saya.

" gantian ya,....! "

" gantian bagaimana Mbah...? " tanya saya agak bingung.

" gantian si Mbah yang nanya kamu,... "

" ini pertanyaan, atau ujian Mbah....? "

" ya, kamu anggap ujian juga boleh "

" kalau begitu silahkan Mbah...... "

" nanti begitu akhir ajal datang, bagaimana cara kamu membunuh nya....? " tanya Mbah Nur.

" ya belum tau juga Mbah, soalnya setelah sekian lama menderita menjalani peranya, pasti nya dia sangat kelelahan, ya, mungkin ndak ada perlawanan yang berarti darinya, bagaimana kalau begini Mbah, saya akan tatap lalu menghampiri nya, kemudian saya raih kedua tangannya, saya cium kedua punggung dan telapak tangannya, kemudian saya peluk mesra, kemudian saya bisikan salam 'Assalamualaika yaa Maula Furqon Nur Hasan'.....  Kalau begitu gimana Mbah " jawab saya sekenanya.

" yaa, begitu juga boleh... Ya sudah aku pamit, kamu lanjut narik sana... " timpal Mbah Nur.

" Lho mau kemana tho Mbah... Saya juga masih kangen " saya mencoba menahan Mbah Nur.

" sudah, sudah, jangan banyak tanya! Kamu ingat saja setoran motor mu belum kebayar kan, jangan lupa juga biaya resepsi itu makin mahal, apalagi kalau nanggap dangdut!.... "

Saya hanya menggaruk kepala, sambil bergegas meraih kunci motor di atas meja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun