Cianjur Gembongnya Ulama Jumhur
[caption caption="Kegiatan shalat Subuh berjamaah semua instansi di Pemkab Cianjur" sumber: infocianjur]Suasana di kota santri
Asyik senangkan hati
Suasana di kota santri
Asyik senangkan hati
Tiap pagi dan sore hari
Muda mudi berbusana rapi
Menyandang kitab suci
Hilir mudik silih berganti
Pulang pergi mengaji
Duhai ayah ibu berikanlah izin daku
Untuk menuntut ilmu pergi ke rumah guru
Mondok di kota santri banyak ulama kiyai
Tumpuan orang mengaji, mengkaji ilmu agama
Bermanfaat di dunia menuju hidup bahagia
Sampai di akhir masa
(lirik lagu Suasana di Kota Santri)
Ehm..syahdu sekali ya lirik lagu Suasana di Kota Santri itu. Cocok sekali dengan kota kelahiranku, Cianjur.
Citra sebagai Daerah Agamis konon sudah terintis sejak kotaku lahir sekitar tahun 1677 di mana wilayah Cianjur dibangun oleh para ulama dan santri yang tempo dulu gencar mengembangkan syiar islam. Itulah sebabnya Cianjur mendapat julukan gudang santri dan kyai sehingga mendapat julukan Kota Santri.
Cianjur lebih Maju dan Agamis, tergambar jelas dalam visi-misi Cianjur yang program keagamaannya tidak akan terlepas dari Gerbang Marhamah. Sebuah kerjasama alim ulama dan umaro Cianjur untuk memperjuangkan agar setiap orang berperilaku baik sesuai ajaran agama.
Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Kharimah telah ditandatangani oleh Bupati Cianjur terdahulu, Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM. Dan sudah menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 03 Tahun 2006 yang ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 20 Juli 2006.
Bupati Cianjur, Irvan Rivano Muchtar gencar mengembalikan kesan Cianjur sebagai Kota Santri. Aneka kegiatan diluncurkannya bertubi-tubi mulai dari kegiatan Program Insan Rabbani Mandiri (IRM) yang menganggarkan 100 milyar pertahun untuk bidang keagamaan. Mata programnya mencetak seribu penghafal Al Quran, memberikan bantuan fisik kepada seribu Madrasah Diniyah Takmiliyah dan Pendidikan Al Quran serta Pesantren dan memberikan bantuan senilai Rp. 10 juta untuk masjid jami tingkat desa.
Pada peringatan Isra Mi’raj di Masjid Agung, Jumat, 20 Mei 2016 lalu, Bupati mengatakan bahwa kegiatan subuh berjamaah dilakukan untuk memicu aparatnya beraktivitas sejak pagi sekali. Begitupun para siswa dari masing-masing sekolah yang ada di Cianjur dibiasakan untuk shalat berjamaah di Masjid Agung Cianjur.
Hari-hari besar Islam juga biasa diperingati di Masjid Agung Cianjur agar siswa terbiasa melaksanakan kegiatan di masjid seperti dakwah Islam, forum diskusi serta kajian Islam secara umum dan terbiasa memakmurkan masjid.
Bila kita tengok sekilas perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa perang kemerdekaan, bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh dan bergolak di pondok-pondok pesantren.
Pada masa sebelum kemerdekaan, para kyai memimpin rakyat dalam perjuangan fisik menentang penjajahan. Para kyai pun menempa moralitas masyarakat dengan pendidikan agama serta mendidik masyarakat untuk berakhlakul kharimah terhadap Allah SWT, sesama manusia dan alam semesta.
Konon, manusia pertama yang datang ke wilayah Cianjur 330 tahun yang lalu adalah Raden Jayassana yang membawa 313 KK pengikutnya. Ia menjadi bupati dan mendapat gelaran Raden Aria Wiratanudatar I. Orang Cianjur menyebutnya Dadle Cikundul karena tempat pertamanya di Cikundul.
Raden Jayassana merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi dari Kerajaan Talaga Manggung, Majalengka. Silsilah Raden Jayassana sebagai keturunan Prabu Siliwangi berasal dari Prabu Pucuk Uum yang berputra namanya Sunan Parunggangsa. Keturunan Ciburang. Ketika orang tuanya masih taat kepada agamanya Prabu Siliwangi, Raden Aria Wangsa Goparna telah memeluk Islam. Sebelum berhijrah ke Cianjur, Raden Jayassana ditugaskan ayahnya menyebarkan agama Islam, lalu menimba ilmu di pondok pesantren di Gunung Jati. Ketika menapakkan kakinya di Cianjur, Raden Jayassana telah menjadi penyebar Islam.
Cikundul tempat bermukimnya Jayassana akhirnya menjadi Ibu Nagari. Sejak saat itu, suasana ke-Islaman sangat terasa di berbagai aspek kehidupan. Cianjur menjadi terkenal dengan sebutan Tatar Santri hingga sekarang ini.
Para kyai Cianjur memang menjadi sumber semangat, selain bagi para pejuang yang kala itu melawan penjajahan Belanda. Juga menjadi kebanggaan bagi masyarakat Cianjur.
Siapa sangka tempat olah raga yang ramai dipadati masyarakat setiap hari minggu itu mengandung sejarah? Beragam aktivitas dilakukan warga di lingkungan lapangan Prawatasari. Pada hari Minggu lapangan dipadati masyarakat Kota Cianjur, ada yang lari pagi, senam pagi bersama baraya Kota Cianjur, atau hanya berjalan-jalan bersama keluarga sambil menikmati hidangan jajanan khas kota Cianjur. Hingga kini masih berdiri kokoh lapangan Prawatasari yang bertempat di Kampung Joglo, kelurahan Sawah Gede, Kota Cianjur.
Pada tahun 2015, diresmikan dengan nama besar seorang kyai yang berjuang dengan pedang terhunus melawan penjajah Belanda Prawatasari. Raden H. Alith Prawatasari termasuk kalangan kyai yang berjihad fisabilillah melawan penjajah secara fisik.
KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, merupakan ikon Pondok Pesantren Suryalaya. Abah Anom mulai menuntut ilmu agama Islam tahun 1930, diawali dengan belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah di Pesantren Jambudipa Cianjur selama dua tahun. Kemudian, Abah Anom berguru pada Ajengan Syatibi di Pesantren Gentur, Cianjur.
Di wilayah Kecamatan Warungkondang, Cianjur bahkan memiliki dua pondok pesantren yang berkembang sejak 1918, Gentur dan Jambudipa yang dipimpin oleh KH Ahmad Syatibi dan KH Ahmad Kurtubi yang dikenal sebagai Ajengan Gentur.
Ajengan Syatibi selain mengajarkan ilmu agama juga melahirkan dan mengembangkan kerajinan lampu Gentur, sampai kini kerajinan itu menjadi kehidupan bagi warga di Desa Gentur. Awalnya, lampu itu hanya sebuah lentera, kemudian berkembang menjadi lampu hias dengan berbagai macam bentuk dan variasi yang menjadi cinderamata bagi wisatawan, dan terkenal ke mancanegara.
Setelah Ajengan Syatibi, ulama Jumhur dari gentur adalah Aang Nuh. Seorang ulama yang memiliki beragam cerita tentang keilmuannya yang maha dahsyat.
Mama Gentur
Pondok Pesantren Darul Falah di Desa Jambudipa Kecamatan Warungkondang, kabupaten Cianjur yang tidak ada secuil dokumen pun yang tertulis. Semua sejarahnya hanya mengalir dari cerita almarhumah Bah Iming yang telah meninggal tahun 1984 pada usianya lebih 100 tahun. (begitu cerita yang dipaparkan oleh Ruddy As dalam cerita Abah Anom Sang Santri Gentur).
Pondok Pesantren Darul Falah diawali dengan pembelajaran mengaji Al-Quran. Baing Sambong memang seorang hafidz, dia hafal Al-Quran setelah mempelajarinya di Makkah Al Mukarromah selama 9 tahun. Masyarakat berdatangan untuk belajar mengaji.
Baing Sambong membangun pondok sederhana dari bilik bambu. Semakin hari, santri yang menempati pondok itu makin berdesakan dan Baing Sambong merenovasinya sampai bisa menampung 100 orang santri. Asrama santri itu kemudian diberi nama Pondok Santosa.
Pada tahun 1917, KH. Mohammad Cholil atau Baing Sambong meninggal dunia. Pimpinan Pondok pesantren dilanjutkan oleh menantunya, KH. AA, Fachruddin bin H. Zakaria, seorang santri yang menjadi suami putrinya yang berasal dari Songgom, Warungkondang.
Pada tahun 1965 KH. AA. Fachrudin wafat, pimpinan pondok pesantren dilanjutkan oleh putra tertuanya, KH. Aang Muhyiddin yang terkenal dengan sebuatan Aang Endang Jambudipa. Ia dibantu oleh para putra dan menantu almarhum, K.H. Daud Jalaluddin, K.H.Tb.Ahmad Zaha, K.H.Masykur,K.H Ghufron, K.H. Fala Huddin, K.H. Badrul Mukarrom, K.H. Deden Saefuddin dan K.H. Sarhindi dengan kepemimpinan kolektif dan tidak terfokus pada figur sentral.
Pada tahun 1978 terjadi musibah kebakaran yang menghanguskan bangunan asrama pusaka yang kini dijadikan makam almarhum K.H. Aang Muhyidin dan keluarga di samping untuk tempat belajar para santri.
Pada tahun 1983, Pondok Pesantren Darul falah memperoleh bantuan berupa sebuah bangunan gedung workshop (ruang keterampilan) berikut 10 mesin jahit, 1 buah mesin obras dan 1 buah mesin rajut dari Menteri Agama RI.
Mama KH. Ahmad Syubani bin Husnen, orang Kadupandak Cianjur Selatan merupakan Mama Gelar Pertama yang mendirikan pondok pesantren Gelar pada tahun 1932 M. Selain di pendidikan formal, Mama Syubani menimba ilmu di beberapa pesantren antara lain pesantren Gentur, Pesantren Cibitung.
Mama Syubani kemudian menikah dengan Hj. Aisyah, putri pertama Mama KH. Ibrahim, pengasuh pondok pesantren Peuteuy Cndong, Cibeber, Cianjur. Dari pernikahannya, Mama dikaruniai 6 orang anak, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Mama Gelar juga sebagai pendiri majelis-majelis Ta’lim yang tersebar di Jabar. Jumlah majelis Ta’lim yang masih ada sampai sekarang antara 137 sampai 147 majelis Ta’lim, baik yang ada di Jawa Barat maupun di luar Jawa seperti Sumatera, Lampung, Kalimantan, Irian Jaya. Mama Gelar dipanggil ke Rahmatullah pada hari Ahad tanggal 8 Ramadhan 1395 H atau 14 September 1975 M.
Takkan habis cerita jika kita terus mengupas perjalanan para ulama jumhur dari Cianjur. Adalah Mama Ahmad Syatibhi, yang dari rangkaian nasabnya, dia masih keturunan Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya. Beliau asli kelahiran Kampung Gentur Warungkondang, Cianjur. Kemudian dikenal dengan nama Mama Ahmad Syatibhi atau Mama Gentur.
Mama Syatibi merupakan ulama yang terkenal akan kepintaran dan keluasan ilmunya. Selama hidupnya ia mengarang sekitar 80 kitab, berbahasa Arab dan Sunda. Di antaranya adalah:
Sirojul Munir (dalam ilmu fiqih), Tahdidul “Ainain (dalam ilmu fiqih)
Nadzom Sulamut Taufiq (dalam ilmu fiqih)
Nadzom Muqadimah Samarqandiyah (dalam ilmu bayan)
Fathiyah (dalam ilmu bayan)
Nadzom Dahlaniyah (dalam ilmu bayan)
Nadzom ‘Addudiyah (dalam ilmu munadzoroh)
Nadzom Ajurumiyah (dalam ilmu nahwu)
Muntijatu lathif (dalam ilmu shorof)
Penyebar Islam dan Ulama plus Umaro di Cianjur, Rd. Aria Wiratanudatar, menurunkan generasinya baik sebagai ulama maupun sebagai umaro. Di antara generasi yang terkenal di Nusantara bahkan sampai ke mancanegara adalah ayah dan anak, KRH. Nuh bin Idris dan KRH. Abdullah bin Nuh.
Warga Kaum Kidul dan Pasarean, sekitar 20 orang, lelaki dan perempuan, hampir setiap sore mengaji di rumah KRH. Bin Nuh, Kampung kaum kidul, Kota Cianjur warga setempat menyebut pengajian itu “Pengajian Mama Enoh”. Pengajian itu hingga sekarang masih ada, namun sekarang ini hanya ibu-ibu saja yang mengaji di sana karena kaum prianya menyibukkan diri di Perguruan Islam Al Ianah Cianjur yang berkembang dari TK, MI, SMP, SMA, SMK samapai Sekolah Tinggi Agama Islam.
Perguruan itu asalnya hanyalah sebuah sekolah, tempat pendidikan anak-anak di samping pengajian orang tua. Peresmiannya dilakukan Almarhum R.H. Tolhah dengan mengundang para alim ulama, dermawan serta tokoh masyarakat setempat, yaitu R.H. Tolhah adalah seorang hartawan dan guru Thoriqat Naqsyabandiyah, kerabat dekat nenek KRH. Muhammad Nuh, Ny. R. Kalipah Raspati.
KRH. M. Nuh terjun pula dalam dunia Politik. Pada pemilu tahun 1995, dia terpilih sebagai salah seorang Anggota Konstituante dari Partai Masyumi. Beliau juga aktif dalam sebagai pengurus dan penasihat Syariat Islam (SI) Cabang Cianjur.
Perguruan Islam Al-Ianah sejak pendiriannya tahun 1912, telah berbadan hukum dengan nama “I’anatutholibin wal Miskin” yang kemudian diperbaharui oleh KRH. Nabdullah bin Nuh dan R.N. Abu Bakar menjadi Yayasan Perguruan Islam Al-Ianah.
Perguruan Islam tersebut kini telah berkembang pesat, kompleks sekolahnya dijadikan TK, SD, SMP Islam, SMA Islam dan SMK Broadcast, SMK yang mempunnyai program stdi perfilman, penyiaran Radio dan Televisi. Sekoalh Tinggi Islam Al-Ianah telah dipisahkan menjadi STAI Al-Azhari yang berkembang sampai sekarang. Majelis Ta’lim pun berkembang menjadi studio Radio Al Ianah serta studio Televisi Cianjur. Itulah hasil karya awal dari KRH. Muhammad Nuh bin Idris yang wafat pada tahun 1996 di Cianjur.
Diceritakan kemudian bahwa KHR. Muhammad Nuh mempunyai seorang putra laki-laki yang lahir di kampung Bojongmeron, Cianjur, dari istrinya Raden Aisyah puteri seorang wedana Tasikmalaya, Rd. Muhammad Sumintapura. Puteranya diberi nama Abdullah. Karena Abdullah seorang bangsawan berdarah biru, masih keturunan Dalem Cianjur, dia berhak menyandang gelar Raden Abdullah bin Nuh.
Setelah menjadi haji dan kyai namanya pun bertambah panjang, Kyai Raden Haji Abdullah Bin Nuh. Beliau memang seorang yang cerdas, selain ulama diapun seorang sastrawan, penulis, pendidik juga seorang pejuang.
Keahlian utama KH Abdullah bin Nuh adalah menguasai bahasa Arab, baik yang berbentuk prosa, puisi maupun dalam berbicara, mengajar, menulis dan berceramah. Beliau juga dikenal sebagai penyair bahsa Arab. Syair-syairnya telah dihimpun dalam buku Diwan Ibnu Nuh, berupa 118 qasidah yang terdiri atas 2.731 bait. Semuanya digubah dalam bahasa Arab Fusha (fasih) yang bernilai tinggi.
Karya tulisnya yang terkenal adalah kamus Indonesia-Arab-Inggris yang disusun bersama Oemar Bakry. Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab antara lain Al-Alam Al-Islami (Dunia Islam), Fi Zilal Al-Ka’bah Al-Bait Al-Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah), La Taifiyata Fi Al-Islam (Tidak Ada Kesukuan dalam Islam), Ana Muslim Suniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafi’i), Mu’allimu Al-Arabi (Guru Bahasa Arab), dan Al-Lu’lu Al-Mansur (Permata yang Bertebaran). Adapun karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Cinta dan Bahagia, Zakat Modern, Keutamaan Keuarga Rasulullah Saw., Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten serta sebuah buku berbahasa Sunda Lenyepaneun (Bahan Telaah Mendalam).
Karya terjemahan dari kitab Imam Al-Ghazali adalah Minhaj Al-Abidin (Jalan Bagi Ahli Ibadah), Al Munziq Min al-Dalal (Pembebas dari Kesesatan), Al-Mustashfa li Manlahu Ilm Al-Ushul (penjernihan bagi orang yang Memiliki Pengetahuan Ushul).
Ulama Jumhur seakan merata hadir di berbagai pelosok Cianjur. Di daerah Gedong Asem, Cianjur ada KH. R. Muhammad Isa Al-Cholidi yang akrab disapa Juragan Guru Isa yang selain mengajarkan ilmu agama, beliau juga menjadi guru madrasah Gedong Asem untuk madrasah diniyah, setingkat dengan ibtidaiyah yang berkurikulum agama dan umum.
Adalah sebuah fenomena yang terjadi sejak puluhan tahun lalu, setiap hari Kamis pagi kawasan Madrasah Al-Mutmainah Bojongherang Cianjur dipenuhi ribuan perempuan dari seluruh pelosok Cianjur. Mereka berdesakan di halaman pesantren, gang maupun jalan seputar pesantren untuk mendengarkan ceramah tunggal dari KHR. Abdul Halim, cucu yang meneruskan pengelolaan Madrasah dan segala bentuk kegiatan pengajian yang dilaksanakan selama masa pimpinan pesantren yang dipegang kakeknya KHR Ahmad Marzuki.
Tujuh tahun setelah menyerahkan pimpinan pondok pesantren itu, KHR Marzuki dipanggil pulang ke Rahmatullah. Sejak saat itu, beliau yang akrab disapa ajengan Elim ini merasa dirinya benar-benar menjadi orangtua dan menjadi “Mu’alim” bagi ratusan ribu rakyat Cianjur.
Pada setiap ceramah keagamaannya, para ulama Jumhur Cianjur senantiasa menyajikan isu hangat dalam pembinaan umatnya, selalu membahas persoalan yang dihadapi masyarakat secara aktual berdasarkan ajaran Agama Islam sejak dari urusan akidah syari’ah, fiqih, mu’amallah, khilafiyah bahkan siyasiyyah yang semuanya mengarah kepada pembentukan karakter muslim yang berakhlakul kharimah dengan tetap menjaga stabilitas kehidupan antar umat beragama dalam kerukunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H