Mohon tunggu...
Ade Supartini
Ade Supartini Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cianjur Gembongnya Ulama Jumhur

18 Maret 2017   08:50 Diperbarui: 19 Maret 2017   04:00 13029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bila kita tengok sekilas perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa perang kemerdekaan, bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh dan bergolak di pondok-pondok pesantren.


Pada masa sebelum kemerdekaan, para kyai memimpin rakyat dalam perjuangan fisik menentang penjajahan. Para kyai pun menempa moralitas masyarakat dengan pendidikan agama serta mendidik masyarakat untuk berakhlakul kharimah terhadap Allah SWT, sesama manusia dan alam semesta.


Konon, manusia pertama yang datang ke wilayah Cianjur 330 tahun yang lalu adalah Raden Jayassana yang membawa 313 KK pengikutnya. Ia menjadi bupati dan mendapat gelaran Raden Aria Wiratanudatar I. Orang Cianjur menyebutnya Dadle Cikundul karena tempat pertamanya di Cikundul.


Raden Jayassana merupakan keturunan dari Prabu Siliwangi dari Kerajaan Talaga Manggung, Majalengka. Silsilah Raden Jayassana sebagai keturunan Prabu Siliwangi berasal dari Prabu Pucuk Uum yang berputra namanya Sunan Parunggangsa. Keturunan Ciburang. Ketika orang tuanya masih taat kepada agamanya Prabu Siliwangi, Raden Aria Wangsa Goparna telah memeluk Islam. Sebelum berhijrah ke Cianjur, Raden Jayassana ditugaskan ayahnya menyebarkan agama Islam, lalu menimba ilmu di pondok pesantren di Gunung Jati. Ketika menapakkan kakinya di Cianjur, Raden Jayassana telah menjadi penyebar Islam.


Cikundul tempat bermukimnya Jayassana akhirnya menjadi Ibu Nagari. Sejak saat itu, suasana ke-Islaman sangat terasa di berbagai aspek kehidupan. Cianjur menjadi terkenal dengan sebutan Tatar Santri hingga sekarang ini.


Para kyai Cianjur memang menjadi sumber semangat, selain bagi para pejuang yang kala itu melawan penjajahan Belanda. Juga menjadi kebanggaan bagi masyarakat Cianjur.


Siapa sangka tempat olah raga yang ramai dipadati masyarakat setiap hari minggu itu mengandung sejarah? Beragam aktivitas dilakukan warga di lingkungan lapangan Prawatasari. Pada hari Minggu lapangan dipadati masyarakat Kota Cianjur, ada yang lari pagi, senam pagi bersama baraya Kota Cianjur, atau hanya berjalan-jalan bersama keluarga sambil menikmati hidangan jajanan khas kota Cianjur. Hingga kini masih berdiri kokoh lapangan Prawatasari yang bertempat di Kampung Joglo, kelurahan Sawah Gede, Kota Cianjur.

Pada tahun 2015, diresmikan dengan nama besar seorang kyai yang berjuang dengan pedang terhunus melawan penjajah Belanda Prawatasari. Raden H. Alith Prawatasari termasuk kalangan kyai yang berjihad fisabilillah melawan penjajah secara fisik.


KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, merupakan ikon Pondok Pesantren Suryalaya. Abah Anom mulai menuntut ilmu agama Islam tahun 1930, diawali dengan belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah di Pesantren Jambudipa Cianjur selama dua tahun. Kemudian, Abah Anom berguru pada Ajengan Syatibi di Pesantren Gentur, Cianjur.


Di wilayah Kecamatan Warungkondang, Cianjur bahkan memiliki dua pondok pesantren yang berkembang sejak 1918, Gentur dan Jambudipa yang dipimpin oleh KH Ahmad Syatibi dan KH Ahmad Kurtubi yang dikenal sebagai Ajengan Gentur.
Ajengan Syatibi selain mengajarkan ilmu agama juga melahirkan dan mengembangkan kerajinan lampu Gentur, sampai kini kerajinan itu menjadi kehidupan bagi warga di Desa Gentur. Awalnya, lampu itu hanya sebuah lentera, kemudian berkembang menjadi lampu hias dengan berbagai macam bentuk dan variasi yang menjadi cinderamata bagi wisatawan, dan terkenal ke mancanegara.


Setelah Ajengan Syatibi, ulama Jumhur dari gentur adalah Aang Nuh. Seorang ulama yang memiliki beragam cerita tentang keilmuannya yang maha dahsyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun