Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Ritual Mapag Sri: Menjaga Kearifan Lokal, Meneruskan Semangat Bertani

22 April 2024   21:35 Diperbarui: 23 April 2024   07:45 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panen raya padi di Desa Bojen Kecamatan Sobang / Foto Dok. DPKP Pandeglang

Ritual Mapag Sri: Menjaga Kearifan lokal, Meneruskan Semangat Bertani di Pandeglang Selatan

Bertani adalah aktivitas sebagian besar masyarakat hingga kini. Tersebab itulah bangsa Indonesia dikenal sebagai negara agraris.

Sebagai masyarakat petani, iklim yang teratur, curah hujan, aliran sungai, dan kondisi tanah yang subur, merupakan faktor pendukung yang sangat penting.

Oleh karena keadaan geografis yang baik inilah, maka sejak zaman Nusantara mata pencaharian utama masyarakat Indonesia adalah bercocok tanam.

Di Pandeglang, salah satu kabupaten di Provinsi Banten, tradisi masyarakat agraris sangat lekat dengan seni dan budaya lokal yang masih kuat.

Beragam ritual atau upacara yang digelar menjadi spirit hidup masyarakat yang mewarisi tradisi bercocok tanam padi, berkebun, dan beternak itu.

Lekatnya tradisi juga mendasari sebagian petani, terutama di wilayah Pandeglang bagian Selatan, bertahan dengan padi-padi varietas lokal, seperti geulismandi, pare hideung, rogol, sarikuning, marahmay, ketan bodas, dan ketan hideung.

Mereka percaya padi-padi buhun (varietas lokal) warisan leluhur itu membawa berkah. Keberkahan itu tercermin dari hasil panen yang mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Bahkan, petani setempat tak perlu membeli benih atau beras di pasar.

Sayangnya, umur masa tanam padi buhun itu lebih lama yakni sekira 6-7 bulan atau lebih lama ketimbang varietas unggul Ciherang atau padi IR yang berumur kurang dari 4 bulan atau sekira 100-120 hari.

Akibatnya, tentu saja jumlah petani yang bertahan dengan padi-padi buhun, semakin tahun terus berkurang lantaran kalah produktivitas.

Diperkirakan saat ini sebagian besar para petani setempat sudah beralih menggunakan bibit padi varietas unggul menggantikan padi buhun atau sudah sekira 60-70 persen dari produktivitas varietas unggul baru.

Namun demikian, tradisi masyarakat agraris petani lokal telah membentuk budaya dari aktivitas lingkungan alamnya yang berdasarkan pada pertaniannya.

Begitu pula, dengan sistem kepercayaan dan religi yang dimiliki oleh petani di Kecamatan Sobang dan Panimbang Kabupaten Pandeglang yang masih mempertahankan tradisi Mapag Sri dalam masa pertanian, khususnya saat menjelang panen raya.

"Mapag Sri" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang mengandung arti "menjemput padi".

Dalam bahasa Jawa, "Mapag" berarti menjemput, sedangkan "Sri" dimaksudkan sebagai padi.

Nah, yang dimaksud dari menjemput padi itu adalah panen padi.

Dalam tradisi masyarakat agraris di Pandeglang Selatan, padi memang memiliki tempat istimewa.

Padi atau beras, dalam keyakinan masyarakat setempat, tidak hanya sebagai bahan pangan. Padi diyakini bermula dari aktivitas Dewa Dewi, sehingga bersifat sakral dan segala proses menghasilkannya dipandang suci.

Oleh karena itu, masyarakat biasanya melakukan rangkaian upacara ruwatan atau ritual sebelum memasuki fase tertentu, utamanya ketika mulai penanaman padi (hajat bumi) maupun penanganannya ketika akan memulai panen (Mapag Sri).

Awal Mula Ritual Mapag Sri di Pandeglang Selatan

Upacara atau ritual Mapag Sri pada awalnya dilakukan sebagai tradisi yang digunakan untuk menghormati Dewi Sri yakni Dewi Padi.

Awalnya, pada zaman dahulu kala ritual Mapag Sri dilakukan dengan upacara besar-besaran. Mapag Sri merupakan tradisi yang dilakukan apabila musim panen sudah atau telah tiba.

Tradisi ini merupakan simbol rasa syukur dan berharap panen yang dihasilkan dapat lebih banyak.

Harapan itu diwujudkan dengan berbagai sesaji atau ubo rampe yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan tinggalan yakni meletakkan sesajen, daun dadap serep, dan bunga di pojok-pojok sawah.

Mapag Sri disamping sebagai tradisi sarana untuk mengucap syukur dan harapan panen yang melimpah juga dapat dimaknai adanya saling berbagi.

Pemaknaan saling berbagi itu lantaran biasanya dalam pelaksanaan tradisi ini diikuti oleh banyak orang, bukan hanya dari yang punya hajat, melainkan juga tetangga, dan juga masyarakat setempat.

Dalam tradisi Mapag Sri biasanya digelar doa dan persaksian serta juga makan-makan bersama.

Upacara ini diakhiri dengan membawa helai padi yang diikat sejumlah 2 ikat atau sepasang.

Biasanya di rumah juga telah disediakan tempat khusus yang lengkap dengan sesaji dan lampu sentir atau lilin sebagai penerang.

Nah, di hampir mayoritas masyarakat Kecamatan Sobang dan Kecamatan Panimbang Kabupaten Pandeglang bagian Selatan hingga kini masih melestarikan tradisi kearifan lokal tersebut.

Mereka menjalankan Mapag Sri sebagai bagian dari nguriuri budaya karuhun atau bahasa lainnya melestarikan budaya karuhun. Karena budaya karuhun ialah budaya luhung, budaya peninggalan nenek moyang.

Mapag Sri dilaksanakan dengan maksud sebagai ungkapan rasa syukur para petani kepada Tuhan Yang Maha Kuasa lantaran panen yang diharapkan telah tiba dengan hasil yang memuaskan.

Ritual Budaya Mapag Sri sendiri, dibawa ke Pandeglang Selatan oleh para petani transmigran asal Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat (Jabar) pada sekitaran tahun 1960-an yang bermukim di sebagian besar wilayah Kecamatan Sobang dan Panimbang saat ini.

Pada waktu itu sebagai daerah trasmigrasi, Desa Sobang Kecamatan Panimbang perkembangan ekonominya sangatlah pesat, terutama dibidang pertanian, perkebunan, dan peternakan.

Menurut cerita yang berkembang di kalangan tokoh masyarakat setempat, sebelum era tahun 2000-an Mapag Sri ini berlangsung meriah lantaran menghadirkan pertunjukan ruwatan wayang kulit sehari semalam.

Adapun sekarang, dalam ritual ritual Mapag Sri, masyarakat setempat hanya diwajibkan membawa tumpeng, ketupat, dan leupet, kemudian dikumpulkan disebuah areal lapang untuk melakukan doa syukuran dan makan bersama.

Kampung-kampung yang rutin menggelar hajat tersebar di wilayah Kabupaten Pandeglang bagian Selatan, khususnya di Kecamatan Sobang, seperti Desa Sobang, Desa Pangkalan, Desa Kutamekar, Desa Bojen, Desa Kertaraharja, serta Desa Cimanis. Dan Desa Teluklada di wilayah Kecamatan Panimbang.

Menjaga kearifan lokal turun temurun

Tradisi Mapag Sri pada aktivitas pertanian di Kecamatan Sobang dan Panimbang merupakan salah satu kearifan lokal yang memiliki manfaat secara ekonomi, sosial serta pelestarian lingkungan.

Maka dengan demikian keberadaannya dapat berkelanjutan hingga saat ini.

Manfaat ekonomi dapat diperoleh secara langsung dan tidak langsung dari hasil pertanian yang mereka hasilkan semakin tahun yang semakin melimpah.

Begitupun dengan manfaat sosial yakni kepatuhan pada tradisi, bertanggungjawab, kebersamaan, saling berbagi dan kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat.

Sementara itu, keselarasan manusia dengan alamnya didasarkan pada pengalaman masa lalu, yang membuat para petani menyadari dan perlunya menjaga keselarasan dengan alam semesta dimana mereka tinggal.

Keberadaan tradisi lokal Mapag Sri yang berupa kearifan terhadap lingkungan tentunya tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan alam sekitarnya.

Kebiasaan tersebut berkembang menjadi tradisi yang dipegang sebagai pedoman untuk bertingkah laku positif terhadap alam sekitarnya.

Kearifan lokal tersebut dibangun dari pemahaman masyarakat akan kehidupan di masa lalu yang selaras dengan alam, yang kemudian dituangkan di dalam tingkah laku, pola hidup, dan kebiasaan sehari-hari, serta tentu saja mendatangkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan, sehingga membentuk ikatan yang kuat antara masyarakat dengan kearifan lokal yang dianut.

Di kalangan masyarakat agraris sendiri sejak dahulu memiliki suatu kepercayaan terhadap mitos yang diwujudkan dalam sebuah tradisi menghormati dan memuliakan Dewi Sri.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman tradisi turun-temurun tersebut disesuaikan dengan agama yang mereka anut sekarang yakni Islam.

Upacara ritual Mapag Sri untuk menghormati Dewi Padi  tersebut masih dilaksanakan oleh seluruh masyarakat di Kecamatan Sobang dan Panimbang yang prosesinya melibatkan seluruh petani dan masyarakat setempat.

Nah, saat menjelang panen padi seperti tahun ini yang di mulai Bulan April 2024 di berbagai desa di Kecamatan Sobang dan Panimbang, tradisi ini sedang berlangsung.

Tradisi "Mapag Sri" ini masih terawat dan terjaga sampai sekarang, meskipun acaranya lebih sederhana hanya membawa tumpeng, kupat, dan leupet serta doa bersama dipimpin tokoh agama dan dihadiri kepala desa setempat.

Mereka menyebut upacara adat "Mapag Sri" adalah upaya untuk tetap menjaga spirit bertani dan bagian dari mencintai alam semesta.

Meneruskan semangat bertani di Pandeglang Selatan

Dalam suatu kesempatan, DR. Nasir, SP., MBA., MP selaku Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kabupaten Pandeglang menghadiri undangan prosesi ritual Mapag Sri, di Desa Bojen Kecamatan Sobang Kabupaten Pandeglang, Rabu 17 April 2024.

"Tadi kita sudah melaksanakan kegiatan Mapag Sri di sini, artinya syukuran sebelum pelaksanaan panen raya," katanya melalui video singkat yang diunggah akun media sosial Instagram DPKP Pandeglang.

Menurutnya, tema Mapag Sri tahun ini yakni menjaga tradisi dan meneruskan semangat bertani.

"Panen hari ini di Desa Bojen Kecamatan Sobang akan panen raya seluas 5.000 hektar dan Insya Allah pada hari ini juga kita akan melaksanakan panen serempak di beberapa kecamatan untuk musim rendeng (musim hujan) atau musim tanam kesatu tahun 2024 yang diperkirakan hampir 40.000 hektar sawah terutama di wilayah tengah dan Pandeglang bagian Selatan," ungkapnya.

Didampingi Kepala Bidang (Kabid) Tanaman Pangan dan Hortikultura Nuridawati, SP., MM, ia mengingatkan setelah dilakukan panen, para petani untuk langsung menggarap kembali sawah mereka selagi masih musim hujan.

"Kami berharap setelah panen ini segera ditanam lagi karena petani kita mengandalkan tadah hujan mumpung hujannya masih ada," imbuhnya.

Saya jumpai usai mengikuti Mapag Sri dan Panen Raya di Desa Bojen, DR. Nasir SP., MBA., MP mengutarakan harapannya agar tahun depan acara Mapag Sri dapat dilaksanakan lebih meriah lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Semoga tahun berikutnya bisa lebih meriah seperti dulu, dengan menggelar pentas kesenian, dan bisa kita jadikan agenda wisata budaya bagi Pandeglang," harapnya.

Ia pun mengaku bangga dengan para petani di wilayahnya masih tetap semangat walau kerap dihadapkan dengan berbagai ujian atau musibah seperti kesulitan pupuk, mahalnya obat-obatan, dan diserang hama wereng, serta kadang kekeringan di musim kemarau atau kebanjiran di musim hujan.

"Meski seringkali disaat musim tanam kita dihadapkan kesulitan, termasuk harga padi yang belum berpihak pada petani, tapi tidak menjadikan masyarakat berhenti menjadi petani, dan terus berucap syukur atas karunia yang diberikan oleh Allah SWT," tuntasnya.

Salam Literasi

Ade Setiawan, 22.04.2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun