Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Refleksi Hari Gizi Nasional: Atasi Stunting dan Obesitas Dengan Gizi Seimbang

27 Januari 2024   05:00 Diperbarui: 6 Februari 2024   23:37 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Gizi Nasional (HGN) yang diperingati setiap 25 Januari, momen yang baik untuk merefleksikan dalam bentuk tulisan tentang persoalan kesenjangan perbaikan gizi yang berakibat timbulnya beragam penyakit di masyarakat.

Ditengah masalah kekurangan asupan gizi yang menyebabkan stunting belum tuntas, disisi lain mulai timbul kasus akibat kelebihan makan (obesitas) yang kian meningkat dan sangat mengkhawatirkan.

Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting sebesar 24,4 persen. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni 14 persen.

Sementara itu, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 prevalensi obesitas pada Balita sebanyak 3,8 persen dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8 persen. Adapun target angka obesitas di 2024 yakni mempertahankan angka obesitas agar tidak sampai naik atau sekurangnya tetap sama, yakni 21,8 persen.

Para ahli kesehatan masyarakat menyebut dampak masalah stunting dan obesitas sama-sama menimbulkan dampak jangka pendek dan jangka panjang. Karenanya, kedua masalah gizi ini menjadi salah satu indikator pembangunan kesehatan yang berpengaruh terhadap kualitas generasi penerus bangsa.

Pada anak yang menderita stunting, dalam jangka pendek akan terjadi gagal tumbuh yang ditunjukkan dengan tinggi badan pendek dan perkembangan intelektual terhambat. Dampak jangka panjang hal itu dapat terjadi gangguan metabolik yang meningkatkan risiko obesitas, diabetes, stroke, dan jantung.

Tersebab itu, perlu upaya kerja keras mengatasi kedua persoalan yang saling terkait tersebut, diantaranya melalui perbaikan gizi dengan pola asupan makanan bergizi yang seimbang.

Lain itu, perlu berbagai upaya dilakukan secara simultan dengan upaya pengendalian persoalan gizi masyarakat. Dengan demikian, masyarakat semakin sehat dan dapat melakukan pencegahan stunting dan obesitas secara mandiri.

Kementerian Kesehatan, dalam hal ini telah melakukan beragam intervensi spesifik untuk melaksanakan penerapan gizi seimbang (puskemas dan rumah sakit) melalui berbagai upaya seperti promosi dan konseling pemberian makan bayi dan anak (PMBA), promosi dan konseling menyusui, pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, pemberian suplemen tablet tambah darah (TTD) bagi ibu hamil dan remaja serta pemberian vitamin A, penanganan masalah gizi dan pemberian makanan tambahan, termasuk dalam hal tatalaksana gizi buruk.

Baca juga : Tekan Risiko Anak Stunting Melalui 5 Pilar STBM

Stunting, Kurang Gizi atau Gizi Buruk

Stunting adalah masalah kurang gizi yang disebabkan oleh kurangnya asupan makanan bergizi dalam waktu yang cukup lama (kronis), sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.

Akibat kekurangan gizi kronis itu, anak stunting tidak bisa tumbuh kembang maksimal. Tingkat kecerdasannya rendah dan berisiko mengalami penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi, dan gangguan jantung ketika usia dewasa nantinya.

Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan lantaran bakal membuat Indonesia gagal menikmati peluang bonus demografi di tahun 2020-2035. Saat dimana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar (70 persen) dibandingkan jumlah penduduk usia tidak produktif. Padahal, dengan komposisi penduduk itu diharapkan produktivitas dan kesejahteraan akan meningkat.

Nah, untuk mengatasi stunting, pemerintah telah diterbitkan Peraturan Presiden  (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Targetnya, menekan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada 2024. Berbagai hal dilakukan untuk menekan stunting, seperti ketersediaan pangan yang cukup dan bergizi, akses air bersih dan sanitasi, pengendalian infeksi, kemiskinan, yang kesemuanya akan ditangani bersama berbagai kementerian dan lembaga dengan dipimpin Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Stunting harus segera dicegah. Dalam hal ini peran ibu memiliki andil penting dalam menentukan makanan pada saat hamil dan pemberian gizi serta pola asuh pada anak setelah lahir.

Banyak referensi menyebut, pencegahan stunting harus dimulai sejak dari sebelum menjadi ibu. Calon ibu hendaknya melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum hamil dan rutin melakukan pemeriksaan saat hamil.

Jadi, langkah awal untuk mencegah stunting secara dini adalah dengan memastikan penambahan berat badan ibu hamil mencukupi sesuai umur kehamilan. Jadi penambahan berat badan ibu hamil itu adalah faktor utama. Demikian dikutip dari laman Balai Besar Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Vektor dan Reservoir Penyakit, Kementerian Kesehatan RI, Rabu (25/01/2023).

Baca juga : Menghalau Kemiskinan Ekstrem dengan Menjadi Petani Produktif

Obesitas, Gizi Lebih atau Kelebihan Berat Badan

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), obesitas didefinisikan sebagai suatu kondisi penumpukan lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa, yang dapat mengganggu kesehatan.

Pengukuran obesitas yang tepat secara sederhana dapat dilakukan melalui Indeks Massa Tubuh (BMI) yang merupakan rasio antara berat badan dan tinggi badan (kuadrat) (kg/m 2 ). Hasil dari perhitungan BMI adalah berat badan normal. Lebih dari itu masuk kategori obesitas dengan berbagai tingkatannya, seperti obesitas ringan, sedang, dan berat.

Sekarang ini kasus obesitas yang tinggi tidak lagi menjadi ciri negara-negara maju dan makmur, namun sudah merambah serius pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Melalui perhitungan BMI yang sederhana tersebut, kasus obesitas banyak ditemukan di lingkungan kita, termasuk (mungkin) salah satu dari anggota keluarga kita.

Penderita obesitas berat yang pernah viral adalah kasus dialami Arya (10 tahun) bocah 193 kg yang sempat viral pada 2016 yang ramai menjadi sorotan publik. Begitupun Fajri (26 tahun) seorang pria obesitas warga Kota Tangerang dengan berat 300 kg. Bahkan, sempat ada laporan seorang wanita di Kalimantan, Titi yang memiliki berat badan hingga 350 kilogram.

Fajri dan Titi kemudian dinyatakan meninggal dunia karena kegagalan multi organ beberapa tahun lalu. Sementara Arya (sekarang 17 tahun) saat ini sudah kembali hidup normal setelah sebelumnya dilakukan berbagai upaya penanganan obesitas yang serius dari berbagai pihak.

Kelebihan berat badan dianggap sebagai sebuah penyakit lantaran obesitas mengurangi kualitas hidup dan harapan hidup. Disamping itu obesitas juga merupakan faktor risiko umum untuk penyakit lain seperti kardiovaskuler, diabetes, arthritis dan berbagai jenis kanker. Lantaran itu pula obesitas bukan penyakit yang bisa dianggap sepele. Bahkan jika tidak ditangani dengan cepat, penderitanya bisa meninggal dunia.

Hal itu lantaran obesitas menyebabkan perubahan metabolisme yang merugikan seperti resistensi insulin, peningkatan tekanan darah dan kolesterol.

Selain faktor genetik, gender dan sosio-ekonomi, kecenderungan peningkatan obesitas yang mengkhawatirkan terutama terkait dengan berbagai bentuk transisi baik geografis maupun sosial ekonomi.

Secara khusus, transisi dari gaya hidup pedesaan ke perkotaan dan konsekuensinya adalah transisi nutrisi yang ditandai dengan pola makan dengan kepadatan energi yang lebih tinggi dengan peran lemak dan tambahan gula yang lebih besar dalam makanan, asupan lemak jenuh yang lebih besar yang sebagian besar berasal dari sumber hewani, dan pengurangan asupan serat, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Kendati begitu, penyebab obesitas (kegemukan) bukan hanya disebabkan karena makan berlebihan yang menyebabkan kelebihan berat badan, tapi banyak faktor penyebabnya.

Pada orang dewasa atau remaja obesitas bisa bisa karena stres yang menimbulkan inflamasi, inflamasi menimbulkan penumpukan lemak. Lain itu, kurang tidur atau kelebihan tidur yang meningkatkan hormon ghrelin sehingga menimbulkan pembawaan lapar.

Semua hal itu akan semakin parah jika diimbangi dengan hidup yang serba malas gerak (mager). Jarang beraktivitas fisik yang berat atau olahraga, hingga membuat lemak semakin menumpuk akibat asupan energi dengan pengeluaran yang tidak seimbang.

Tersebab itu untuk pencegahan obesitas bisa dilakukan dengan mengelola faktor penyebab utama seperti stres, terus jangan sampai stres. Harus perbanyak aktivitas fisik dan mengatur waktu tidur, memantau berat badan, termasuk mengukur lingkar pinggang.

Untuk menurunkan kasus obesitas, pemerintah secara khusus telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) sebagai bentuk dari edukasi kepada masyarakat.

Kegiatan yang dilakukan dalam Germas ini diantaranya, membudayakan makan buah dan sayur, tidak merokok, bahkan mengatur kandungan gula, garam, dan lemak pada makanan.

Selain itu, pemerintah juga mengatur peredaran makanan melalui Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 26 tahun 2021. Di dalamnya berisi aturan mengenai informasi nilai gizi pada label pangan olahan. Tujuannya ini bisa mengedukasi masyarakat tentang kandungan nutrisi dan besarannya.

Jadi, persoalan obesitas ini memang tak bisa diselesaikan hanya satu pihak saja. Ada peran diri sendiri, pedagang makanan dan minuman, hingga pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah.

Jadi, menurunkan kasus obesitas memang bukan perkara mudah tapi perlu lakukan serius. Perlu juga penguatan penanganan masalah gizi ini dengan kampanye perilaku hidup bersih dan sehat. Serta intervensi kesehatan anak, remaja, orang dewasa, serta ibu hamil.

Baca juga : Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem Melalui Industri Rumahan Gula Aren

Gizi Seimbang, Solusi Atasi Stunting dan Menekan Obesitas

Perbaikan gizi masyarakat dalam hal ini sebaiknya lebih diarahkan pada program gizi seimbang sebagai solusi menurunkan stunting dan mencegah kenaikan angka obesitas. Gizi seimbang disini diartikan secara luas ditujukan berlaku bagi semua kelompok umur sesuai siklus kehidupan manusia.

Penerapan gizi seimbang dilakukan dengan mengkonsumsi aneka ragam makanan, membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, mempertahankan berat badan normal, dan melakukan aktivitas fisik.

Pencegahan stunting utamanya ditujukan kepada calon ibu saat sedang hamil. Sederhananya, bagi awam adalah bertambahnya usia kehamilan harus diiringi dengan bertambahnya berat badan. Begitupun saat bayi lahir, ketika bertambah umur bayi harus bertambah berat badan.

Kalau mengalami berat badan yang stagnan tidak bertambah, maka pertambahan panjang atau tinggi badan bayi akan mengalami gangguan. Jadi sebelum mengalami gangguan, maka segera dilakukan pencegahan atau segera atasi gangguan tersebut.

Setelah melahirkan, seorang ibu juga wajib memberikan Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif yaitu diberikan sampai 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman apapun. Kalau tidak diberikan ASI Eksklusif dan anak pernah diare berkali-kali itu sudah pertanda akan terjadi gangguan stunting kalau tidak segera diatasi.

Jangan dilupakan juga soal asupan gizi yang cukup untuk mencegah stunting. Sejumlah pangan terbukti dapat mencegah stunting jika dikonsumsi cukup saat ibu hamil seperti susu, telur, ikan, pangan hewani, dan lauk-pauk.

Lain itu, lanjutkan pemberian ASI enam sampai 23 bulan, berikan makanan pendamping (MP) ASI yang cukup dan baik pada usia enam sampai 23 bulan. Jaga kesehatan bayi dan anak melalui imunisasi, kebersihan, stimulasi, kebiasaan baik makan sayur, buah, lauk pauk, dan protein tinggi.

Namun, semua hal itu masih dirasakan belum lah cukup dilakukan untuk mencegah stunting dan menurunkan obesitas. Masih banyak hal lain yang perlu juga diperjuangkan seperti peningkatan taman terbuka hijau dan lapangan olahraga, jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, memperluas kawasan tanpa rokok, peningkatan cukai rokok, pengaturan kandungan gizi serta pembatasan lemak, gula, dan garam pada makanan siap saji serta makanan kemasan.

Salam Literasi

Ade Setiawan, 27.01.2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun