Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Musim Hujan Tiba, Pengendalian Dengue, dan Kontroversi Nyamuk Wolbhacia

5 Desember 2023   14:45 Diperbarui: 5 Desember 2023   16:57 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Nyamuk Wolbha (liputan6.com)

Musim hujan telah tiba. Namun, terkadang cuaca panas masih kerap terjadi di musim penghujan ini. Ada kala, terjadi hujan lebat disertai angin kencang. Lalu, di hari lainnya panas menyengat. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi hari ini?

Bisa jadi memang sekarang sedang terjadi perubahan iklim secara ekstrem. Perubahan cuaca ini akibat fenomena La Nina (yang meningkatkan curah hujan) dan El Nino (yang meningkatkan suhu udara) yang terjadi secara bersamaan .

Fenomena tersebut sudah diramalkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang sudah memprakirakan musim penghujan di Indonesia dimulai sejak Oktober 2023 dan puncaknya akan terjadi pada bulan Januari dan Februari 2024. Namun, rupanya musim penghujan tidak selalu merupakan tanda berakhirnya El Nino. Sebab, prakiraan fenomena El Nino baru akan berakhir pada awal tahun 2024. Begitu penjelasan BMKG di laman bmkg.go.id/iklim/prakiraan-musim.bmkg

Memasuki musim penghujan hal yang biasa ditemui adalah kejadian bencana alam seperti banjir, badai, dan longsoran tanah.

Lain itu, ada sejumlah penyakit yang berpotensi berkembang secara pesat akibat dampak perubahan iklim lingkungan seperti demam berdarah dengue (DBD) misalnya.

Memang, kasus DBD ada kecenderungan meningkat selama musim hujan, lantaran dimana-mana akan ada lebih banyak bermunculan genangan air - bersih - yang merupakan tempat yang paling nyaman untuk berkembang biak nyamuk Aedes aegypti, sang pembawa virus dengue.

Saat yang bersamaan masih terjadi fenomena El Nino yang menyebabkan suhu udara lebih hangat. Sehingga dikabarkan akan membuat nyamuk Aedes aegypti semakin ganas. Kemenkes menyebut jika suhu panas di atas 30 derajat celcius, frekuensi nyamuk menggigit akan meningkat hingga 3-5 kali lipat.

Begitupun perkembangbiakan nyamuk Aedes aegyfti akan lebih cepat dibanding biasanya yang secara normal, siklus perkembangbiakan nyamuk mulai bertelur hingga menjadi nyamuk dewasa membutuhkan waktu sekira sepekan hingga dua pekan.

Demam berdarah dengue atau disingkat DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Virus ini dibawa dan ditularkan - vector penular - nyamuk Aedes aegyfti yang menyukai hidup di tempat-tempat gelap, di tempat banyak baju kotor yang -- sehabis dipakai - di gantung, serta di genangan-genangan air bersih (bukan beralas tanah) yang selama musim hujan jauh lebih banyak dijumpai di lingkungan sekitar pemukiman seperti genangan air di talang air, pada barang-barang bekas, di kaleng, menggenangi ban bekas, lubang pohon yang terisi air, bahkan pada air di daun-daunan yang lebar, disitulah nyamuk Aedes aegyfti bisa berkembangbiak.

Semakin cepat perkembangbiakan nyamuk pembawa virus dengue di musim penghujan tentu perlu diwaspadai. Salah satu upaya pengendalian DBD yang paling efektif dan efesien adalah dengan memberantas nyamuk sebagai vektor penular. 

Pemberantasan nyamuk ini secara ideal dapat dilakukan pada semua tahap perkembangan nyamuk dari tahap pra-dewasa (telur, larva, pupa) sampai tahap nyamuk dewasa. Caranya gimana? Melalui gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M Plus (Menguras, Menutup, Mendaur ulang) plus-nya mencegah gigitan nyamuk agar tidak tertular DBD.

Baca juga : Tekan Risiko Anak Stunting Melalui 5 Pilar STBM

Gerakan 3M yang Murah plus Meriah

3M Plus merupakan salah satu upaya dalam pencegahan DBD  yang dilakukan dengan kombinasi tiga cara yakni secara fisik yaitu menguras dan menyikat tempat penampungan air secara rutin, menutup rapat semua tempat penyimpanan air, memanfaatkan limbah barang bekas yang bernilai ekonomis (daur ulang).

Secara biologi dilakukan dengan memelihara ikan pemakan jentik nyamuk pada penampungan air, menanam tanaman pengusir nyamuk. Dan secara kimiawi dilakukan dengan menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan, termasuk menggunakan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa.

Selain itu pencegahan kembangbiak nyamuk dapat dilakukan melalui cara sederhana dan murah meriah dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat seperti memeriksa tempat-tempat yang digunakan untuk penampungan air, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi yang ada di rumah, melakukan gotong royong untuk membersihkan lingkungan secara bersama, meletakkan pakaian yang telah digunakan dalam wadah yang tertutup, maupun memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar.

Beragam cara pengendalian DBD tersebut akan efektif dan jauh lebih efesien dalam mengurangi populasi nyamuk Aedes aegyfti. Namun ada persyaratannya, yakni jika hal itu dilakukan secara konsisten sepanjang tahun secara bersamaan - serentak di suatu wilayah -- lingkungan -- atau atau tempat tinggal.

Oleh karena itu, harus ada kewajiban seluruh lapisan masyarakat untuk turut peduli - berperan - dalam upaya mencegah penyebaran DBD dengan menjaga kebersihan lingkungannya masing-masing. Tanpa gerakan secara massal tersebut, upaya 3M plus kurang efektif mencegah penyebaran DBD.

Sayangnya, upaya ini sampai sekarang belum menghasilkan buah yang memuaskan. Terbukti nyamuk-nyamuk masih banyak sekali berseliweran disekitar kita, pun kasus kejadian DBD telah menelan para korban yang juga tidak sedikit jumlahnya.

Bagaimana dengan cara kabut fogging (pengasapan) yang seringkali dilakukan saat ditemukan kasus DBD di suatu tempat? Pemberantasan nyamuk melalui fogging tidak dianjurkan lantaran cara ini hanya berdampak sesaat, hanya membunuh nyamuk dewasa. Biayanyapun terbilang tidak efesien.

Pengasapan atau cara fogging terbentuk dengan mengubah campuran bahan kimia, umumnya obat pembasmi serangga sejenis insektisida yang ditambahkan air, sehingga menjadi asap atau kabut dengan mempergunakan mesin fogging. Walaupun takaran insektisida yang terkandung dalam asap sangat kecil dan efektif membunuh nyamuk dewasa - seperti produk spray pembunuh serangga yang dijual  bebas di pasaran - namun efek samping fogging terkadang malah merugikan kesehatan manusia, lantaran bahan kimia fogging terdiri dari beberapa campuran bahan kimia beracun.

Alih-alih ingin mencegah DBD, cara ini dalam jangka panjang terbukti sangat mencemari lingkungan dan pada akhirnya akan mencemari manusia. Fogging juga diduga akan membuat nyamuk malah menjadi semakin resisten atau kebal.

Cara pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah melalui penggunaan vaksin dengue. Hal ini menjadi salah satu intervensi yang efektif dalam penanggulangan dengue di Indonesia. Saat ini, konon kabarnya, sudah tersedia dua jenis vaksin DBD yang telah mempunyai izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan beredar di pasaran, diantaranya vaksin Dengvaxia dan vaksin Qdenga.

Meskipun sudah berizin, faktanya pemerintah hingga kini belum memasukkan vaksin ini ke dalam vaksin program Kementerian Kesehatan atau pelayanan imunisasi dasar lengkap bagi anak yang menjadi populasi paling rentan terhadap penyakit DBD.

Kita tunggu saja kapan pemanfaatan vaksin DBD ini akan diterapkan kepada masyarakat, mengingat kejadian DBD telah menjadi perhatian utama masyarakat, lantaran berpengaruh terhadap kondisi kesehatan masyarakat dan kualitas hidup serta dapat menyebabkan kematian pula jika terlambat dalam penanganan.

Di tahun ini, Kementerian Kesehatan mencatat ada 76.449 kasus DBD dengan 571 kasus kematian mulai dari Januari-November 2023. Sementara, kelompok umur dengan kematian tertinggi ada pada rentang usia anak dan remaja antara umur 5-14 tahun.

Baca juga : Pesan untuk Guru di Hari Guru Nasional

Kontroversi Nyamuk ber-Wolbachia

Penanganan kasus DBD yang terbilang masih cukup tinggi dan menjadi perhatian masyarakat, baru-baru ini telah menjadi pro-kontra dikalangan masyarakat. Penyebabnya, langkah pemerintah melalui Kementerian Kesehatan yang bakal segera menerapkan teknologi nyamuk ber-wolbhacia dalam pengendalian nyamuk penular DBD.

Pemerintah mengklaim, teknologi inovasi ini akan segera diterapkan untuk menekan penyebaran virus dengue. Target utamanya untuk menekan angka kematian, sekaligus mempercepat target eliminasi dengue tahun 2030.

Teknologi nyamuk ber-wolbhacia ini pada prinsipnya memanfaatkan bakteri alami wolbachia yang banyak ditemukan pada sebagian besar serangga. Bakteri itu selanjutnya dimasukkan dalam nyamuk Aedes aegypti, hingga menetas dan menghasilkan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia. Dengan demikian, perlahan populasi Aedes aegypti akan berkurang dan berganti menjadi nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia.

Dampak dari penerapan inovasi ini, bila menggigit, kelak nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia tidak akan menularkan virus dengue kepada manusia. Sebab, perkembangan virus demam berdarah tersebut berhasil dihambat oleh bakteri wolbachia.

Kementerian Kesehatan menegaskan, bahwa penyebaran nyamuk ber-wolbachia dipastikan aman lantaran sebelumnya telah melalui fase penelitian yang cukup panjang dengan turut melibatkan banyak ahli.

"Penerapan teknologi nyamuk ber-wolbachia sudah melalui kajian dan analisis risiko dengan melibatkan 25 peneliti top Indonesia, dan hasilnya bagus, sudah diujicobakan di Yogyakarta sekitar 5-6 tahun lalu dan hasilnya sangat menggembirakan" kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI Maxi Rain Rondonuwu saat menjadi pembicara dalam temu media bertajuk "Mengatasi DBD Dengan Wolbachia" yang dirilis kemkes.go.id Jumat (24/11).

Hasil kajian tersebut dan efektivitas inipun sudah dikirim ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan akhirnya pada tahun 2021 nyamuk ber-wolbachia direkomendasikan oleh WHO.

Mempertimbangkan hasil yang baik tersebut, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan selanjutnya memutuskan untuk memperluas area penyebaran nyamuk ber-wolbachia di lima kota di Indonesia. Kelima kota itu diantaranya Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang dan Kupang.

Lain dari itu, Kemenkes juga telah mengeluarkan Buku Pedoman Penanggulangan Dengue dengan metode nyamuk ber-wolbachia untuk memastikan implementasi inovasi nyamuk ber-wolbachia berjalan baik sesuai dengan penelitian di Yogyakarta.

Baca juga : Demi Masa Depan Anak, Guru dan Orangtua Dituntut Kompak

Lalu Dimana Pro dan Kontra-nya?

Kehadiran sebuah inovasi seperti biasa dan lazimnya akan - selalu -  menghadirkan sebuah kontroversi. Penyebabnya bisa jadi lantaran adanya kesenjangan informasi dari sumber pengambil kebijakan kepada masyarakat. Kontraversi juga sangat dimungkinkan mengingat di "zaman now" berbagai informasi berseliweran di dunia maya, yang belum tentu kebenaran sepenuhnya.

Salah satu kontroversi nyamuk ber-wolbhacia adalah bahwa nyamuk wolbachia dianggap bagian dari rekayasa genetika untuk mencegah penyakit DBD. Terkait hal itu pakar nyamuk ber-wolbhacia Profesor Adi Utarini mengatakan: "Tidak ada proses rekayasa genetika dalam penelitian ini karena wolnya sama persis dengan wolbachia yang ada di inangnya. Bakterinya dari lalat buah juga punya karakter yang sama persis, lalu nyamuk yang sudah ada wolbachia-nya juga sama persis dengan nyamuk yang tidak ada wolbachianya."  - tempo.co edisi Selasa, 5 Desember 2023.

Selanjutnya ia mengatakan: "Wolbachia itu tidak mengubah perilaku manusia. Wolbachia ini menekan virus demam berdarah. Tidak mengubah ekosistem, tetap ada di alam, cuma di tubuhnya ada wolbachia. ... Kalau tergigit bagaimana? Ya tergantung reaksi masing-masing orang, tapi yang pasti bukan dengue." tuturnya.

Kontroversi lain seputar nyamuk ber-wolbachia yakni salah kaprah yang sering terdengar adalah perkara 'nyamuk impor' yang dibawa masuk dan dilepaskan di Indonesia. Lagi-lagi Prof. Adi Utarini yang berjuluk "Komandan Nyamuk" ini menjelaskan: "Jadi begini, di 2011 memang peneliti Australia yang berhasil menginjeksikan wolbachia ke nyamuk. Kami bawa telur nyamuk ber-wolbachia, itu sesuai regulasi dan aturan Indonesia. Nyamuk ini kemudian dikawinsilangkan dengan nyamuk di Jogja, sampai sekian generasi. Kawin silang ini dilakukan sampai nyamuk ber-wolbachia ini sama persis karakternya dengan nyamuk Aedes lokal."

"Lalu kalau dibilang tambah jumlah nyamuk, ya emang nambah jumlah nyamuk tapi nambahnya enggak sampai 10 persen yang ada di alam. Selama tes ini juga tidak ada banyak orang yang protes karena tidak nyaman jadi banyak nyamuk. Tapi itu bukan jadi keluhan utama." Imbuhnya.

Tak cuma itu, baru-baru ini muncul kontroversi akibat video dari mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari terkait nyamuk ber-wolbachia. Menanggapi hal ini, Profesor Adi Utarini enggan berkomentar lebih jauh. Ia hanya mengungkapkan keprihatinannya. 

"Kalau saya menyayangkan. Di satu sisi kami respect ke menkes dan mantan-mantan menkes, tapi kan apa susahnya tanya saja ke menkes sekarang, apa betul ini rekayasa, lalu menkes diminta menjelaskan. Antara mereka 'kan harusnya mudah. Mungkin ada ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan di luar sains, kalau saintis berdebat kan tidak begitu caranya. Saintis tidak harus sepakat, tapi caranya tidak begitu," katanya. (aSt)

Ade Setiawan, 05.12.2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun