Hasil kajian tersebut dan efektivitas inipun sudah dikirim ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan akhirnya pada tahun 2021 nyamuk ber-wolbachia direkomendasikan oleh WHO.
Mempertimbangkan hasil yang baik tersebut, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan selanjutnya memutuskan untuk memperluas area penyebaran nyamuk ber-wolbachia di lima kota di Indonesia. Kelima kota itu diantaranya Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang dan Kupang.
Lain dari itu, Kemenkes juga telah mengeluarkan Buku Pedoman Penanggulangan Dengue dengan metode nyamuk ber-wolbachia untuk memastikan implementasi inovasi nyamuk ber-wolbachia berjalan baik sesuai dengan penelitian di Yogyakarta.
Baca juga :Â Demi Masa Depan Anak, Guru dan Orangtua Dituntut Kompak
Lalu Dimana Pro dan Kontra-nya?
Kehadiran sebuah inovasi seperti biasa dan lazimnya akan - selalu - Â menghadirkan sebuah kontroversi. Penyebabnya bisa jadi lantaran adanya kesenjangan informasi dari sumber pengambil kebijakan kepada masyarakat. Kontraversi juga sangat dimungkinkan mengingat di "zaman now" berbagai informasi berseliweran di dunia maya, yang belum tentu kebenaran sepenuhnya.
Salah satu kontroversi nyamuk ber-wolbhacia adalah bahwa nyamuk wolbachia dianggap bagian dari rekayasa genetika untuk mencegah penyakit DBD. Terkait hal itu pakar nyamuk ber-wolbhacia Profesor Adi Utarini mengatakan: "Tidak ada proses rekayasa genetika dalam penelitian ini karena wolnya sama persis dengan wolbachia yang ada di inangnya. Bakterinya dari lalat buah juga punya karakter yang sama persis, lalu nyamuk yang sudah ada wolbachia-nya juga sama persis dengan nyamuk yang tidak ada wolbachianya." Â - tempo.co edisi Selasa, 5 Desember 2023.
Selanjutnya ia mengatakan: "Wolbachia itu tidak mengubah perilaku manusia. Wolbachia ini menekan virus demam berdarah. Tidak mengubah ekosistem, tetap ada di alam, cuma di tubuhnya ada wolbachia. ... Kalau tergigit bagaimana? Ya tergantung reaksi masing-masing orang, tapi yang pasti bukan dengue." tuturnya.
Kontroversi lain seputar nyamuk ber-wolbachia yakni salah kaprah yang sering terdengar adalah perkara 'nyamuk impor' yang dibawa masuk dan dilepaskan di Indonesia. Lagi-lagi Prof. Adi Utarini yang berjuluk "Komandan Nyamuk" ini menjelaskan: "Jadi begini, di 2011 memang peneliti Australia yang berhasil menginjeksikan wolbachia ke nyamuk. Kami bawa telur nyamuk ber-wolbachia, itu sesuai regulasi dan aturan Indonesia. Nyamuk ini kemudian dikawinsilangkan dengan nyamuk di Jogja, sampai sekian generasi. Kawin silang ini dilakukan sampai nyamuk ber-wolbachia ini sama persis karakternya dengan nyamuk Aedes lokal."
"Lalu kalau dibilang tambah jumlah nyamuk, ya emang nambah jumlah nyamuk tapi nambahnya enggak sampai 10 persen yang ada di alam. Selama tes ini juga tidak ada banyak orang yang protes karena tidak nyaman jadi banyak nyamuk. Tapi itu bukan jadi keluhan utama." Imbuhnya.
Tak cuma itu, baru-baru ini muncul kontroversi akibat video dari mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari terkait nyamuk ber-wolbachia. Menanggapi hal ini, Profesor Adi Utarini enggan berkomentar lebih jauh. Ia hanya mengungkapkan keprihatinannya.Â
"Kalau saya menyayangkan. Di satu sisi kami respect ke menkes dan mantan-mantan menkes, tapi kan apa susahnya tanya saja ke menkes sekarang, apa betul ini rekayasa, lalu menkes diminta menjelaskan. Antara mereka 'kan harusnya mudah. Mungkin ada ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan di luar sains, kalau saintis berdebat kan tidak begitu caranya. Saintis tidak harus sepakat, tapi caranya tidak begitu," katanya. (aSt)