Saya mengabaikan saran orang-orang untuk fokus mengajarinya bicara dan membaca bahasa Indonesia saja.
Dengan dukungan dari suami saya, saya tetap membacakan nyaring untuk Ayesha, baik buku-buku berbahasa Inggris maupun berbahasa Indonesia yang menyenangkan dan membangkitkan minatnya.
Saya tidak secara khusus mengajarinya membaca bahasa Indonesia. Saya tidak ingin kehilangan usia emas anak saya dalam hal membuat dia SENANG terhadap bacaan.
Saya memperhatikan, banyak sekali orangtua yang semangat membuat anak-anaknya bisa membaca. Mereka akan gelisah ketika anaknya belum bisa membaca, padahal sudah mau masuk SD.
Para orangtua ini berlomba mengajari, memberikan les, dan menyediakan buku-buku agar anak segera bisa membaca, agar tidak ketinggalan dari teman-temannya.
Semangat orang tua ini luar biasa ini bagus, karena ketrampilan membaca memang penting. Tapi sayangnya, kerja keras ini langsung berhenti begitu anak sudah bisa membaca.
Padahal keterampilan yang lebih penting daripada sekadar membunyikan huruf-huruf adalah memahami apa yang dibaca. Di tingkat lebih tinggi lagi, pembaca bisa kritis terhadap apa yang dibacanya, dan mampu menganalisis bacaan.
Saya membayangkan, anda saja energi orang tua yang sangat peduli dengan kemampuan anak membaca ini bisa dilanjutkan dengan mendampingi anak-anak sampai dia senang membaca dan paham apa yang dibacanya.
Dilanjutkan lagi dengan memilihkan dan menyediakan bacaan yang bagus sesuai usia dan level kemahiran membaca.
***
Anak-anak kami, Anindya (17) dan Ayesha (11) beruntung mempunyai orangtua yang gemar membaca.