"Sebenarnya aku tak mau bilang ... tapi kamu acak-acakan banget hari ini," kataku menggodanya. Dia tertawa. Mel mengenakan cardigan merah kesukaannya.
"Setelah menikah, kamu akan lebih tahu betapa acak-acakannya aku ini." Mel berusaha tertawa, tapi terlihat kesulitan dan memaksakan.
Mel kemudian bercerita tantang suaranya yang perlahan menghilang. Tentang nafsu makannya yang raib karena semua makanan yang masuk ke mulutnya terasa hambar.
"Kadang-kadang flu memang begitu menyebalkan, Mel," kataku. Dan panggilan itu kami akhiri setelah Mel tertidur. Karena pening yang kurasakan semakin hebat, aku pun tidur siang itu. Badanku terasa menggigil.
***
22 Maret 2020...
Siang itu adalah percakapan terakhirku dengan Mel sebelum dia dibawa ke rumah sakit ini. Setelah percakapan itu, malamnya aku ditelepon Om Farid, ayahnya Mel, memintaku segera menyusul ke Rumah Sakit Kedoya.Â
Sekitar pukul 22.10 Mel mengalami sesak napas yang sangat mengkhawatirkan. Semua serba mendadak, kata Om Farid. Tanpa pikir panjang mereka melarikan Mel ke rumah sakit ini.
Pukul 23.50 Om Farid diminta menemui dokter yang menangani Mel. Dokter itu menanyakan riwayat penyakit yang pernah diderita Mel dan riwayat perjalanannya selama empat belas hari terakhir.Â
Setelah mendengar penjelasan Om Farid, pihak rumah sakit menyatakan bahwa Mel harus dirujuk ke rumah sakit khusus penanganan pasien terjangkit coronavirus. Kami langsung lemas mendengar itu. Kakiku jadi lesu. Aku merasakan tubuhku semakin menggigil.
Pukul 00.48 ambulans yang membawa Mel meraung-raung keluar menuju ke rumah sakit rujukan. Awalnya tak satu pun di antara kami diizinkan menemani. Tetapi setelah Om Farid mendesak, akhirnya dia diperbolehkan menemani putrinya menuju rumah sakit rujukan namun dengan ketentuan yang ketat.