Mohon tunggu...
Ade Hidayat
Ade Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Membaca - Mengajar - Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Wabah

15 Juni 2021   11:34 Diperbarui: 18 Juni 2021   21:04 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasien Covid-19.| Sumber: SHUTTERSTOCK/namtipStudio via Kompas.com

Jakarta, 22 Maret 2020...

Pukul 23.25. Aku duduk di bansal depan ruang IGD. Beberapa orang duduk di bangku-bangku tunggu, satu di antaranya terlihat kelelahan menahan kantuk. Malam ini agak sepi, bulan tidak terang seperti biasanya. 

Beberapa kali dari kejauhan kudengar suara ambulans meraung-raung. Suaranya semakin mendekat tatkala ambulans itu memasuki halaman rumah sakit. Kemudian suasana gaduh itu tetiba menjadi amat timpang setelah raungan sirine berhenti. 

Suasana menjadi amat sunyi. Sorot lampu berwarna merah dari ambulan masih berputar-putar menyapu seluruh halaman rumah sakit. Suasana itu membuatku gentar.

***

Milan, 12 Maret 2020...

Pukul 10 pagi waktu Milan. Pesawat yang kutumpangi lepas landas, meninggalkan Orio al Serio International Airport menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Studi magisterku di Milan terpaksa tertunda karena alasan mendesak. Dua pekan lagi aku harus menikah. Keluargaku tak mau lama menunggu. 

Menurut mereka, kalau sudah beristri aku tidak perlu lagi hidup sendiri di negeri orang. "Menikah saja dulu. Bawa istrimu ke sana. Biar kau tak sendiri di negeri orang," kata ayahku melalui telepon beberapa waktu lalu. "Ingat," katanya di akhir percakapan, "tidak ada orang yang sukses seorang diri!"

Aku tidak mungkin menolak. Ayahku pun telah mengenal Mel dan menyayanginya seperti putrinya sendiri. Mel cantik, katanya. Kalau aku menikahinya, keturunanku akan lebih tampan dari ayah. Ayah selalu berkelakar seperti itu. Lebih dari itu aku memang menyayangi Mel. 

Dia bukan hanya cantik di mataku, tetapi juga merupakan perempuan penyayang. Kalau aku pulang ke Indonesia, dia yang paling bersemangat membuatkan masakan untukku. Menurutnya, makan adalah hal pertama yang harus dilakukan orang perantauan saat pulang ke rumah.

Aku memang telah memutuskan akan menikahi Mel, cepat atau lambat. Desakan ini hanya berfungsi sebagai pemicu. Akulah yang memegang senapannya. Tak perlu pikir panjang aku putuskan untuk menerima desakan itu dengan rasa gembira. Aku memang menyayangi Mel.

***

Sehari sebelum keberangkatanku ke Jakarta, di belahan bumi Swiss, WHO menekan alarm peringatan dengan amat keras. Alarm itu memberi peringatan bahwa dunia telah terseret ke dalam badai wabah coronavirus. 

"Ini adalah pandemi pertama yang disebabkan oleh coronavirus," kata Tedros dalam suatu tayangan yang kutemukan di media sosial. Mereka telah membunyikan alarm dengan keras dan jelas, kata Dirjen WHO itu. Dengan begitu, kini, tak seorangpun di atas bumi ini yang luput dari ancaman coronavirus.

Besok aku yang jemput, pesan Mel masuk ke dalam ponselku. Saat kuketik pesan balasan, panggilan video darinya mendesak masuk ke ponselku.

"Hallo, bung! hahaha." Dia selalu tertawa begitu. "Besok aku yang jemput, lho."

"Hallo, nona. Oh ... kok, rasanya aku ini jadi penumpang spesial Milan-Jakarta, ya?" godaku.

"Spesial sekali. Tapi jangan bawa virus, ya. Awas!" Di layar terlihat Mel sambil mengepalkan tinju.

Obrolan kami berlanjut pada perkara yang lebih intim dan serius. Kami membicarakan perasaan masing-masing jelang pernikahan. Sambil sedikit bersedih, Mel berkata jujur kalau terbesit sedikit keraguan di hatinya akan menikah denganku. Dia mendesakku segera pulang. Rindu, katanya. Aku tidak mengerti mengapa sampai sejauh ini Mel masih ragu padaku.

"Cepat pulang. Kalau bertemu, ragu ini akan hilang. Jaga kesehatanmu baik-baik," katanya. Panggilan video itu berakhir.

***

Jakarta, 13 Maret 2020...

Pagi ini pesawat yang kutumpangi mendarat. Bandara terlihat lebih sibuk dari biasanya. Alat-alat pembaca suhu tubuh terdapat di mana-mana. Beberapa papan informasi digital berubah fungsi jadi peringatan bahaya pandemi. Coronavirus telah menyita perhatian masyarakat dunia. Seperti pandemi flu babi, pikirku.

Bertemu Mel, aku langsung dirangkulnya. Aku baru sadar, aku juga rindu pada perempuan ulet ini. Mel memakai setelan t-shirt berbalut cardigan merah kesukaannya. 

Cardigan itu kubelikan setelah dia sembuh dari sakit saluran pernapasan enam bulan lalu. Setelan yang membalut tubuhnya itu memang terlihat mencolok jika dibandingkan dengan gaya berkerudungnya yang ceplas-ceplos.

"Ke mana kita?" tanyanya dalam perjalanan. "Ke rumahku." Dia menjawab sendiri pertanyaan itu

Mobil yang dikemudikan Mel membawa kami ke rumahnya di Kebon Jeruk. Sepanjang perjalanan aku menceritakan betapa enak tinggal di Milan. Dia terlihat setuju dan antusias saat kuungkapkan rencanaku akan membawanya ke Milan setelah menjadi istriku nanti. Milan bukan kota yang asing baginya. Dia beberapa kali pernah ke sana mengunjungi pamannya, orang yang kini menjadi temanku selama hidup dan studi di sana. Mel berkata bahwa dia sangat senang segera menikah denganku. Melihat itu, rupanya keraguan telah sepenuhnya hilang berkat pertemuan ini.

Di rumahnya aku seperti disambut keluargaku sendiri. Bersama keluarga Mel, kami membicarakan pernikahan sampai lewat maghrib. Aku pun diantarnya pulang.

***

blogkaruhun.blogspot.com
blogkaruhun.blogspot.com
20 Maret. Mel terlihat lemah. Beberapa hari setelah momen penjemputanku itu, kesehatan tubuhnya kerap terganggu. Mel mengaku lemas dan kurang bergairah. Aku pun selalu datang menghiburnya. 

Semenjak kepulanganku, hampir setiap hari kami bertemu. Kami menggunakan waktu bertemu untuk merencanakan dan mengurus semua keperluan pernikahan kami. Kedatanganku dan aktivias persiapan pernikahan kami selalu berhasil membuat Mel ceria kembali.

Namun tanpa ada sebab yang berarti, pada 21 Maret siang kondisi tubuh Mel sangat buruk. Dia mulai terserang demam dan flu. Panas tubuhnya pun lebih tinggi dari kemarin. 

Kali ini buru-buru kubawa dia ke klinik. Dia sempat menolak. "Cuma flu aja, kok. Istirahat seharian juga sembuh," katanya, dan melanjutkan "Aku ini emang lagi pengin males-malesan aja... hahaha." Tapi aku memaksa. Dia menyerah dan duduk di samping kemudi dengan enggan menuju klinik.

Di klinik, setelah melakukan diagnosis, seorang dokter perempuan paruh baya memberikan resep obat. Yang aku kenal hanya paracetamol dan vitamin. Dokter berpesan agar Mel beristirahat total dan jangan keluar rumah untuk beberapa hari ke depan. "Jika kondisi memburuk, segeralah ke rumah sakit. Mudah-mudahan kamu lekas sembuh," ucap dokter itu bersimpati.

"Aku akan sembuh, Dok. Aku akan menikah Minggu besok," kata Mel yakin.

"Oh, ya? Kalian berdua calon pengantin? Undang saya kalau besok sudah membaik, ya." Dokter itu sambil mengusap paha Mel yang masih duduk di meja periksa.

Esoknya kami tidak bisa memenuhi janji kami kepada dokter itu. Meski panas tubuhnya menurun dan demamnya mereda, kata ibunya, Mel masih sangat lemah. 

Sengaja sejak ke klinik itu aku tidak menemuinya lagi. Kalau aku berada di sana bersamanya, Mel akan terganggu dengan kehadiranku dan sulit untuk fokus beristirahat. Di rumah aku hanya berdoa, dan mengontrol perkembangan Mel lewat keluarganya.

22 Maret 2020...

Kepalaku jadi pening karena cuaca siang ini berubah sangat drastis. Tadi pagi langit cerah dan lumayan terik. Tetapi langit mendadak mendung tak berapa lama setelah aku shalat zhuhur. 

Belakangan cuaca yang tidak nyaman seperti ini mulai sering terjadi. Padahal, siang ini mestinya aku ke Menteng untuk menemui EO yang mengurusi resepsi penikahanku dengan Mel. Aku ingin membahas rencana penundaan pernikahan kami. Itu skenario terburuk. Tidak mungkin kami nekat melangsungkan resepsi pernikahan sementara pengantin perempuannya sedang sakit.

Akhirnya hujan turun amat deras. Aku pun urung membahas penundaan itu.

Sepertinya hujan siang ini menyiram seluruh Jakarta. Aku termangu di beranda rumah. Tampias hujan meniup kakiku yang jari-jarinya mulai pucat. Suara hujan yang menggulung udara membuat aku semakin prihatin kepada calon pengantinku itu. Aku disergap perasaan rindu sekaligus iba. Di saat yang menentukan begini, mengapa perempuan seulet dan seceria Mel itu sakit dan berlarut.

Aku masuk kamar, lalu aku menelepon ke rumah Mel. Di ujung telepon, ibunya bilang Mel ingin melihat aku. Tidak mungkin sekarang, kataku. Sedang hujan lebat. Lagi pula Mel perlu istirahat. Mel bersiteguh. Aku pun luluh. Lewat panggilan video kami saling bicara.

"Sebenarnya aku tak mau bilang ... tapi kamu acak-acakan banget hari ini," kataku menggodanya. Dia tertawa. Mel mengenakan cardigan merah kesukaannya.

"Setelah menikah, kamu akan lebih tahu betapa acak-acakannya aku ini." Mel berusaha tertawa, tapi terlihat kesulitan dan memaksakan.

Mel kemudian bercerita tantang suaranya yang perlahan menghilang. Tentang nafsu makannya yang raib karena semua makanan yang masuk ke mulutnya terasa hambar.

"Kadang-kadang flu memang begitu menyebalkan, Mel," kataku. Dan panggilan itu kami akhiri setelah Mel tertidur. Karena pening yang kurasakan semakin hebat, aku pun tidur siang itu. Badanku terasa menggigil.

***

22 Maret 2020...

Siang itu adalah percakapan terakhirku dengan Mel sebelum dia dibawa ke rumah sakit ini. Setelah percakapan itu, malamnya aku ditelepon Om Farid, ayahnya Mel, memintaku segera menyusul ke Rumah Sakit Kedoya. 

Sekitar pukul 22.10 Mel mengalami sesak napas yang sangat mengkhawatirkan. Semua serba mendadak, kata Om Farid. Tanpa pikir panjang mereka melarikan Mel ke rumah sakit ini.

Pukul 23.50 Om Farid diminta menemui dokter yang menangani Mel. Dokter itu menanyakan riwayat penyakit yang pernah diderita Mel dan riwayat perjalanannya selama empat belas hari terakhir. 

Setelah mendengar penjelasan Om Farid, pihak rumah sakit menyatakan bahwa Mel harus dirujuk ke rumah sakit khusus penanganan pasien terjangkit coronavirus. Kami langsung lemas mendengar itu. Kakiku jadi lesu. Aku merasakan tubuhku semakin menggigil.

Pukul 00.48 ambulans yang membawa Mel meraung-raung keluar menuju ke rumah sakit rujukan. Awalnya tak satu pun di antara kami diizinkan menemani. Tetapi setelah Om Farid mendesak, akhirnya dia diperbolehkan menemani putrinya menuju rumah sakit rujukan namun dengan ketentuan yang ketat.

Sementara kami semua yang pernah melakukan kontak fisik dengan Mel diperintahkan untuk pulang, dan wajib melakukan isolasi mandiri di dalam rumah selama empat belas hari ke depan. Kami diantar petugas keamanan. Mereka bertugas untuk memastikan kami tetap berada di rumah selama isolasi mandiri. Aku merasa seperti seorang tahanan.

24 Maret 2020...

Di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahanku dengan Mel ini, kondisi tubuhku semakin memburuk. Aku mengalami beberapa gejala yang Mel alami dan ceritakan pada panggilan video terakhir kami siang itu. 

Tenggorokanku seperti tercekat, dan kalau bernapas terasa sesak. Sejak subuh tadi batuk yang kuderita sangat menyiksa. Lidahku pun mati rasa, persis apa yang dialami Mel.

Tepat pukul 11.15 ambulans datang menjemputku. Ambulans itu kemudian memboyong tubuh lemahku ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet. Sampai datang dua orang dokter dengan mengenakan pakaian serba rapat memeriksaku, aku belum tahu secara pasti, apakah aku terjangkit coronavirus atau penyakit lain. Entahlah. 

Semua menjadi begitu muram dan gelap. Merasakan sakit yang amat menyiksa ini, rasanya aku ingin berkata kepada orang-orang di luar sana agar jangan meremehkan coronavirus!

Dadaku semakin sesak. Aku teringat Mel, pengantinku hari ini.

Di ruang lain, di rumah sakit lain...

Setelah perjuangan yang melelahkan melawan coronavirus, Mel mengembuskan napas terakhirnya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun