Pagi ini pesawat yang kutumpangi mendarat. Bandara terlihat lebih sibuk dari biasanya. Alat-alat pembaca suhu tubuh terdapat di mana-mana. Beberapa papan informasi digital berubah fungsi jadi peringatan bahaya pandemi. Coronavirus telah menyita perhatian masyarakat dunia. Seperti pandemi flu babi, pikirku.
Bertemu Mel, aku langsung dirangkulnya. Aku baru sadar, aku juga rindu pada perempuan ulet ini. Mel memakai setelan t-shirt berbalut cardigan merah kesukaannya.Â
Cardigan itu kubelikan setelah dia sembuh dari sakit saluran pernapasan enam bulan lalu. Setelan yang membalut tubuhnya itu memang terlihat mencolok jika dibandingkan dengan gaya berkerudungnya yang ceplas-ceplos.
"Ke mana kita?" tanyanya dalam perjalanan. "Ke rumahku." Dia menjawab sendiri pertanyaan itu
Mobil yang dikemudikan Mel membawa kami ke rumahnya di Kebon Jeruk. Sepanjang perjalanan aku menceritakan betapa enak tinggal di Milan. Dia terlihat setuju dan antusias saat kuungkapkan rencanaku akan membawanya ke Milan setelah menjadi istriku nanti. Milan bukan kota yang asing baginya. Dia beberapa kali pernah ke sana mengunjungi pamannya, orang yang kini menjadi temanku selama hidup dan studi di sana. Mel berkata bahwa dia sangat senang segera menikah denganku. Melihat itu, rupanya keraguan telah sepenuhnya hilang berkat pertemuan ini.
Di rumahnya aku seperti disambut keluargaku sendiri. Bersama keluarga Mel, kami membicarakan pernikahan sampai lewat maghrib. Aku pun diantarnya pulang.
***
Semenjak kepulanganku, hampir setiap hari kami bertemu. Kami menggunakan waktu bertemu untuk merencanakan dan mengurus semua keperluan pernikahan kami. Kedatanganku dan aktivias persiapan pernikahan kami selalu berhasil membuat Mel ceria kembali.
Namun tanpa ada sebab yang berarti, pada 21 Maret siang kondisi tubuh Mel sangat buruk. Dia mulai terserang demam dan flu. Panas tubuhnya pun lebih tinggi dari kemarin.Â
Kali ini buru-buru kubawa dia ke klinik. Dia sempat menolak. "Cuma flu aja, kok. Istirahat seharian juga sembuh," katanya, dan melanjutkan "Aku ini emang lagi pengin males-malesan aja... hahaha." Tapi aku memaksa. Dia menyerah dan duduk di samping kemudi dengan enggan menuju klinik.