Aku hanya menggeleng pelan, rasanya tidak mampu mengungkapkan sesak yang menjalari dada. Refleks kupeluk tubuh Papa, lalu menyandarkan kepala pada dada bidangnya. Lagi-lagi isak tangisku keluar, tidak mampu lagi menyembunyikan kekecewaan itu. Pemandangan itu menyisakan luka yang menggores hati. Jemari kasar Papa mengusap lembut air mata ini. Tanpa sadar, mata Papa berkaca-kaca ketika melihat putri kecilnya terisak.
"Aira, putri kecil Papa yang hebat. Jangan sedih, ya! Ada Papa di sini, Nak." Papa menciumku berulang kali, tidak lupa jemarinya aktif mengusap lelehan air mata yang mengalir semakin deras.
Papa, satu-satunya orang yang peduli dengan kehadiranku. Sifatnya yang bijaksana dan penuh kasih sayang membuatku enggan jauh darinya. Sayangnya, Papa tidak bisa menemaniku selama 24 jam sebab dirinya adalah karyawan kantor yang pergi pagi dan pulang ketika senja menjemput. Saat di rumah, waktuku bersamanya hanya malam hari setelah Papa pulang kerja. Selebihnya, aku hanya di rumah bersama Mama dan adikku, Aina.
***
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku berniat menyelinap ke kamar Aina dan mengajaknya bermain bersama. Kamarku ada di pojok belakang sedangkan kamar Aina bersebelahan dengan kamar Mama dan Papa. Jika ingin ke kamar Aina, artinya diriku harus melewati kamar Mama terlebih dahulu.
Saat di depan kamar Mama, pintunya sedikit terbuka. Aku menghentikan langkah dan mengurungkan niat untuk pergi ke kamar Aina sebab Mama pasti melarang dan memarahiku jika ketahuan. Samar-samar terdengar suara mereka mengobrol. Kucoba mendekat sambil mengintip di dekat pintu.
"Sebentar lagi tanggal tujuh belas, Pa. Kita rayakan ulang tahun Aina, ya?" tanya mamaku membuka pembicaraan.
"Wah, ide bagus, Ma. Sekalian bareng ulang tahun Aira, ya? Kan, dia putri kita juga. Kasihan kalau dibeda-bedain begitu." Jawaban Papa terdengar jelas.
Aku melihat Mama mengembuskan napas kasar, lalu sedikit menjauh dari lelaki di sampingnya. "Aira putriku sudah meninggal lima tahun lalu, Pa." Matanya terasa kosong, menatap lurus ke arah cermin yang terpaku di sudut kamar.
Kulihat jelas bahwa Papa mendekat ke arah Mama, lalu memeluknya dari belakang. Tangannya menyentuh pundak Mama, membalikkan badan dan memeluknya erat. "Bagaimanapun, Aira tetap putri kita, Ma. Dia juga butuh kasih sayangmu. Jangan diabaikan seperti itu. Please, kamu jangan egois!"Â
"Maaf, aku belum siap," lirih Mama.