Mohon tunggu...
Ade Indonesia
Ade Indonesia Mohon Tunggu... -

Pemuda Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Konsep Probono Publicio

9 Desember 2013   14:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:08 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesimpangsiuran penerapan istilah diurai oleh Erin Carll, dengan menulis  LEGAL AID ≠ legal aid. Istilah LEGAL AID dalam artian konsep/sistem layanan hukum oleh negara, tidaklah sama dengan  “legal aid” dari terjemahan “memberikan bantuan (aid) hukum (legal)”. Untuk mudahnya banyak lembaga di negara dunia menyebut dirinya “lembaga bantuan hukum” karena lebih mudah diingat dan dipahami yaitu lembaganya memberikan bantuan (help/aid) di bidang hukum. Namun secara konsep, layanan hukum yang diberikan advokat ataupun NGO tersebut ada pada konsep probono.

Lantas apakah advokat dapat terlibat dalam Legal Aid ? Advokat tentunya tetap dapat terlibat dengan “minimum payment” dalam arti, ia berhak mendapatkan pergantian biaya pelayanan hukumnya dari negara. Dan di Indonesia, khususnya pengadilan, memberikan subsidi sebesar Rp.500.000,-/kasus kepada Advokat yang memberikan layanan hukum kepada masyarakat tidak mampu. Dalam konteks ini, maka yang dilakukan negara adalah benar yaitu memberikan subsidi terhadap layanan jasa hukum.

Dan dalam konteks probono, Pasal 13 PP Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma menyatakan bahwa “Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari Pencari Keadilan”. Dari komponen konsep probono, maka ketentuan pasal 13 ini adalah on the track. Namun, jika kita melihat Peraturan Peradi terdapat “kesesatan” terkait pembiayaan ini, yaitu Pasal 3 sebagai berikut :


  1. Advokat dalam pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma dilarang untuk menerima dana untuk kepentingan apapun dari pencari keadilan yang tidak mampu;
  2. Dana-dana bantuan hukum yang berasal dari negara atau dari lembaga bantuan hukum, yang diberikan kepada Advokat dalam rangka memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu tidak dihitung sebagai pembayaran honorarium


Ketentuan dalam pasal 3 ayat (2), apakah tepat diletakkan dalam konsep probono ? bukankah subsidi berada dalam konteks “Legal Aid”?

Sementara RUU Bantuan Hukum yang akan segera disahkan, mengatur sistem pendanaan “Legal Aid”nya sebagai berikut :

Pasal 16

(1) Pendanaan bantuan hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan Undang-Undang ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(2) Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pendanaan Bantuan Hukum dapat berasal dari: hibah atau sumbangan; dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.

Pasal 16 ayat (1) berada dalam track pengertian “Legal Aid”, bagaimana dengan ayat 2 nya ? Bukankah ayat tersebut untuk membenarkan negara mencari peluang pembiayaan dari sumber bukan negara, seperti lembaga donor ataupun perusahaan ? Apakah tepat ayat 2 tersebut dalam layanan hukum dalam artian Legal Aid ?

Sebagai advokat saya lebih memilih memberikan probono, timbang terlibat dalam Legal Aid. Pasal 20 RUU Bantuan Hukum, memberikan larangan dan sanksi kepada pemberi bantuan hukum, yang menerima atau meminta pembayaran dari Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain. Sanksinya cukup berat, yaitu : dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Pertanyaannya, apakah negara akan membiayai seluruh komponen jasa layanan hukum pengacara secara langsung ? ataukah menghapuskan komponen biaya sidang dan biaya perkara secara otomatis di seluruh pengadilan dan memberikan minimum payment untuk pengacara ?

Walau tujuan dari pasal ini adalah agar Pemberi Bantuan Hukum/Advokat tidak “kiri-kanan OK”, yaitu menikmati uang negara, sekaligus meminta biaya jasanya dari pencari keadilan, tetapi  pasal inipun berpotensi untuk digunakan sebagai alat ‘mengkriminalkan’ Pemberi Bantuan Hukum/Advokat. Usulan ILRC untuk menerapkan sanksi berjenjang seperti teguran, pemutusan kontrak, sampai penurunan akreditasi lembaga nampaknya tidak menjadi pertimbangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun