Reza berjalan cepat menuju ruang isolasi pasien positif corona. Sudah lima hari ia tak bertemu dengan keluarga. Sebenarnya ia sangat ingin pulang, namun apa daya jika tugas kemanusiaan ia tinggalkan.Â
Meski hati resah tak menentu, pikiran terkuras habis-habisan, dan lelah fisik, ia harus menyelamatkan pasien-pasien yang terkapar di rumah sakit tempatnya bekerja.
Beberapa kali ia sempat mengeluh beratnya tugas yang diemban, namun ia teringat akan sumpah dokter. Ia berjanji akan mengorbankan segalanya demi keselamatan pasien. Menjadi dokter tak semata-mata mengincar gaji tinggi sebagai tambal sulam karena telah menyelesaikan studi di fakultas mentereng dan mahal.Â
Bukan juga mengincar prestise di mata kaum duafa sebagai pahlawan penyelamat nyawa manusia. Baginya, menjadi dokter adalah sebuah panggilan hati, suatu bentuk pengorbankan jiwa demi menyelamatkan semua manusia di bumi.
Kamar 05 berisi seorang remaja berusia 15 tahunan. Sudah satu minggu lamanya ia dinyatakan sebagai pasien positif virus corona. Beberapa kali ia mengalami sesak nafas, beberapa tenaga medis melayani dengan cekatan. Reza kembali mengukur suhu pasien yang suhunya semakin lama semakin tinggi.
"39, 8 derajat celcius."
Reza menyuruh seorang perawat untuk mencatat data-data perkembangan pasien, dengan sigap si perawat mencatat data-data pasien, sesuai dengan instruksinya. Reza melanjutkan pemeriksaan ke pasien selanjutnya. Rasa lelah mulai menghampirinya. Mata yang  tadinya putih, perlahan memerah. Berkali-kali ia ingin menguap, tapi ia tahan karena merasa tak enak dengan rekan-rekan lain.
Saat ia sedang memeriksa, tiba-tiba terdengar suara:
"Uhuk, uhuk!"
Seketika ruangan menjadi hening. Semua mata menatap Reza. Yang ditatap sebenarnya begitu takut, namun ia mencoba tenang.
"Suster Ira, tolong segera telpon dokter Luqman. Katakan kepada beliau tentang kondisi saya, dan katakan juga bahwa rumah sakit ini butuh dokter tambahan untuk menggantikan saya. Suster Mei, segera siapkan satu ruangan isolasi."