Mohon tunggu...
Adam Fajar Putra Yogi
Adam Fajar Putra Yogi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

independen.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Resensi Buku "Mengadvokasi Hak Sipil Politik"

5 Januari 2021   21:09 Diperbarui: 5 Januari 2021   21:28 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua yang dapat dikemukakan dalam buku ini. Pertama, soal metodologi. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang mewakili beragam pikiran pada berbagai seminar dimulai dengan menetapkan idealism tertentu yang kemudian digunakan untuk memeriksa realitas yang dibicarakan. Kedua, soal substansi. 

Membicarakan soal komunikasi politik harus dimulai dengan persoalan ada atau tidak ada ruang public yang bebas, dapat leluasa mengajukan pendapat, dan memperdebatkan pikirannya tanpa adanya konsekuensi dan ancaman. Ada dua mahasiswa didakwa melakukan kegiatan yang berbentuk menyatakan kebencian terhadap pemerintah. Para pemimpin gerakan mahasiswa ditangkap dan ditahan. Tuduhan terhadap mereka adalah menghina kepa negara dan melanggar pasal-pasal haatzaai-artikelen. 

Pada dasarnya, pengadilan terhadap mahasiswa adalah refleksi dari ketegangan hubungan mahasiswa dan pemerintah dalam berpolitik. Pada akhirnya pemerintah mengeluarkan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Perizinan untuk kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan warga masyarakat, termaksuk kegiatan dinas. 

Adanya juklak ini memunculkan masalah perizinan kegiatan yang menjadi perdebatan dan protes lebih setahun terakhir ini. Masalah perizinan dan pemberitahuan adalah masalah hak-hak sipil politik. Juklak menunjukan bahwa ia adalah perangkat yang mengatur kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan masyarakat. Muatan keamanan dan ketertiban telah ditinjau dalam UU No. 5/PNPS/1963. Dalam juklak, demontrasi ditiadakan. 

Hukum politik seperti ini semakin cenderung mengatur dan mengawasi kegiatan masyarakat. Kini yang ditekankan adalah ihwal pentingnya perizinan dan pemberitahuan. Jika hal ini tidak dipatuhi, tentu saja masyarakat dianggap melanggar. Ihwal ini dapat terjadi juga tidak lepas dari cara pandang yang dominan yang masih bertolak pada perspektif bahwa negara memiliki hak untuk membatasi kegiatan social politik warga masyarakat. Padahal, dalam perspektif HAM, negara tidak diperkenankan memiliki hak, tetapi masyarakatlah yang memiliki hak. 

Setelah itu muncullah Petunjuk Lapangan (Juklap) untuk memperjelas prosedur maupun persyaratan yang dituntut dari pihak penyelanggara. Politik perizinan memang bukan hal baru di Indonesia. Ciri politik ini adalah warisan yang dipetik dari politik colonial. Dalam UU No. 5/PNPS/1963 tentang Kegiatan Politik tercantum salah satu bentuk kegiatannya adalah demonstrasi, tetapi dalam juklak justru malah ditiadakan. Perlu dicamkan, masyarakat Indonesia Orde Baru memiliki keterbatasan yang pokok dalam berpolitik. 

Pers tak akan memberi sumbangan jangka panjang tanpa membentuk "masyarakat pembaca" yang semakin berkualitas. Para penerbit pers terpaksa harus mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat pemerintah dan Menteri Penerangan. Kendati dibatasi oleh hukum, pihak penerbit pers merasa dirugikan dan telah mencoba berjuang jalur hukum dan peradilan. Semua kegiatan harus ada izin atau pemberitahuannya tentu bukan kegiatan yang rahasia lagi, melainkan terbuka. Penyelanggara tidak boleh menyembunyikan kan memanipulasi kegiatan untuk menghindari tindakan represif. 

Mengapa masyarakat dituntut untuk selalu terbuka dan tidak memiliki privacy sedikit pun, sedangkan tidak ada keterbukaan aparat atas apa yang dikerjakan. Perkembangan media massa dalam dasawarsa 1990-an bertambah marak. Bertambahnya penerbitan pers memang semakin memperketat kompetisi di antara mereka untuk menjadi pers yang terbaik. Penerbitan pers dapat berperan sebagai jembatan komunikasi public, kesadaran subjektif masyarakat akan meningkat. Fenomena kesadaran politik lain adalah upaya sebagian kalangan masyarakat agar pemilu dapat dilaksanakan dengan jujur dan adil. Penegakan HAM bukanlah sesuatu yang mudah karena senyatanya bukan hadiah yang cuma-cuma, melainkan hasil perjuangan banyak pihak. 

Pengembangan intelaktual, upaya menuju demokratisasi tak akan ada gunanya tanpa bercokol dalam organisasi yang bertujuan ke arah perbaikan politik. Dalam perspektif penghormatan hak asasi manusia dan perkembangan demokrasi, menyelesaikan perbedaan pendapat politik melalui mekanisme peradilan dan penghukuman yang jelas. 

Adanya penyiksaan terhadap tahanan yang dilakukan oleh aparat ditujukan untuk membuka mulut para tersangka mungkin saja dilakukan. Karena lemahnya peraturan hukum bagi perlindungan hak-hak pada tersangka. Dalam politik kependudukan merupakan warisan dari Hindia Belanda dan fasisme Jepang, pada dasarnya tidak berwatak melayani kepentingan penduduk, melainkan penduduk itulah yang harus melayani kepentingan birokrasi. Kebebasan memang bisa dibayangkan namun itu tidak aka nada artinya jika tidak merealisasinya. Sesungguhnya negeri ini telah kehilangan pemikiran yang baik dari seorang penulis, apalagi yang memiliki pengalaman baik pribadi dan politik.

Bagian II (Perburuhan Serta Hak Berserikat dan Berkumpul)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun