Artikel ini diketik oleh : Dicy Fiesta, Desiana Salsabila, dan Raihan Dhiwan Two Bagja
Dosen pengampu : I. Tenny Sudjatnika, M.Ag.
Menurut Kamus Oxford, definisi Stoikisme adalah “menahan rasa sakit atau kesulitan tanpa mengeluh.” Stoikisme sendiri adalah filsafat Yunani kuno yang didirikan pada periode yang disebut Helenistik. Hellenisme sendiri merupakan suatu periode dalam sejarah Mediterania yang dimulai pada tahun 323 SM. SM (setelah kematian Alexander Agung) sampai 31 SM. 4000 SM, masa ketika Yunani mengalami kemunduran dari masa kejayaannya dan munculnya Kekaisaran Romawi.
Stoikisme adalah filsafat kuno yang mengajarkan tentang bagaimana mengendalikan emosi, menerima hal-hal yang tak bisa diubah, dan fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Konsep ini berkaitan dengan hadis dalam Islam yang juga mengajarkan kesabaran, penerimaan terhadap takdir, dan pengendalian diri dalam menghadapi berbagai situasi. Baik stoikisme maupun hadis menekankan pentingnya menjaga ketenangan batin, menerima ketetapan yang datang, dan bertindak dengan bijaksana dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Filsafat Stoikisme adalah aliran pemikiran filosofis kuno yang muncul di Yunani pada abad ke-3 SM. Aliran ini memiliki beberapa konsep inti yang membentuk dasar pandangannya terhadap kehidupan, etika, dan kebijaksanaan. Berikut adalah beberapa konsep kunci dalam filsafat Stoikisme:
1. Logos
Logos adalah konsep mengenai ketabaktian dunia dan menggambarkan pada keutuhan bahwa semua sesuatu di dunia terbuat oleh logos, atau pengendalian. Stoikisme menyatakan bahwa individu harus memahami dan mengembangkan logos pada diri mereka sendiri untuk mengenali dunia dan mengembangkan kebijakan kehidupan yang seimbang.
2. Ataraxia (Ketenangan jiwa)
Ataraxia adalah keadaan jiwa yang lindung dan tidak berpengaruh pada perubahan keadaan diri. Stoikisme menyatakan bahwa individu harus memiliki ketenangan jiwa untuk menghadapi tantangan kehidupan dan mengontrol emosi mereka.
3. Apatheia (Ketidakpedulian)
Apatheia adalah keadaan yang tidak memiliki kepedulian atau tertentu dalam perilaku dan perasaan. Stoikisme menyatakan bahwa individu harus mengembangkan apatheia untuk mengurangi ketidakpedulian dan fokus pada apa yang benar-benar penting.
4. Ekpyrosis (Pembakaran semua)
Ekpyrosis adalah kebijakan Stoikisme yang menyatakan bahwa individu harus mengembangkan kebijakan untuk mengakui dan mengadaptasi ke perubahan, baik itu dalam kehidupan matahari atau bahasa seseorang.
5. Virtue (Watak)
Virtue dalam Stoikisme adalah karakteristik yang memungkinkan individu untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan kebijakan yang seimbang dan tidak mempengaruhi pada perubahan keadaan diri. Beberapa virtues yang penting dalam Stoikisme meliputi kebijakan, kecantuman, kemudian, dan ketabahan.
6. Sympatheia (Simpati Alam Semesta)
Sympatheia adalah sentimen yang merasa bahagia untuk bahagia orang lain dan menciptakan kesamaan dan emosi positif. Stoikisme menyatakan bahwa individu harus mengembangkan simpati alam semesta untuk menghadapi tantangan kehidupan dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
Hadits-Hadits Mengenai Filsafat Stoikisme
Stoikisme dalam penerapannya sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Konsep mampu mencapai sesuatu juga umum dalam Islam. Ini bukanlah pertentangan antara Islam dan stoikisme; pada kenyataannya, logika Stoikisme tampaknya ditopang oleh ajaran Islam dan diarahkan di bawah naungan Allah. hal ini dibuktikan dengan adanya hadis-hadis yang memiliki relevansi dengan konsep filsafat stoikisme. Di antara nilai-nilainya yang memiliki interkoneksi dengan hadis nabi adalah sebagai berikut: kendali emosi, mencapai ketenangan pikiran dan kedamaian dalam menghadapi situasi apapun, terlepas dari perubahan yang terjadi di sekitar kita.
Pengendalikan pikiran agar lebih positif
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي..”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu beliau berkata, telah bersabda Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, “Telah berfirman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Aku adalah sebagaimana prasangka hambaku kepadaku, dan Aku bersamanya ketika dia mengingatku..” (HR. Bukhori dan Muslim).
Hadits ini merupakan hadis qudsi. Hadits qudsi sendiri adalah hadis yang berisi wahyu Allah SWT yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi dirawikan oleh Nabi dengan kata-kata sendiri. Hadits qudsi adalah hadis yang berisi firman Allah SWT yang redaksinya diungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Dengan melihat hadis qudsi ini bisa diambil kesimpulan bahwa treatment Tuhan kepada kita itu tergantung pikiran kita akan-Nya. Oleh karenanya sangat jelas terlihat pentingnya selalu berfikir positif, bedanya jika di dalam Islam selain berpikir positif dalam hal apapun juga selalu berfikir positif tentang Tuhan. Meskipun hadis qudsi ini kontennya berbicara tentang Tuhan namun bisa juga dimaksudkan secara umum.
Hal tersebut dapat kita hubungkan dengan konsep ataupun prinsip stoikisme terkait dengan pengendalian pikiran, membentuk prasangka positif, dan menciptakan ketenangan jiwa melalui ingatan terhadap Tuhan.
Stoikisme mengajarkan pentingnya mengendalikan pikiran dan membentuk prasangka positif terhadap kejadian atau situasi. Hadits ini mencerminkan konsep bahwa Allah hadir sesuai dengan prasangka atau keyakinan yang dimiliki oleh hamba-Nya. Dengan demikian, membentuk prasangka positif terhadap Allah dapat menciptakan pikiran yang lebih positif. Stoikisme menekankan pentingnya ketenangan jiwa melalui penerimaan takdir dan kebijaksanaan. Hadits ini menunjukkan bahwa Allah hadir ketika hamba-Nya mengingat-Nya, menciptakan suasana ketenangan jiwa melalui keterhubungan spiritual dengan Tuhan.
Kesabaran
Hadis pertama adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصّبْرُ عِنْدَ أَوَّلِ صَدْمَةٍ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Tsabit berkata, Aku mendengar Anas bin Malik ia berkata, Rasulullah pernah bersabda, ‘Sabar itu ada pada saat pertama kali terbentur musibah’.”
Hadis yang kedua adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ سَعْدٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَا أَجِدُ لَكُمْ رِزْقًا أَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Sa’d berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Aslam dari ‘Atho’ bin Yasar dari Abu Sa’id Al–Khudri, ia berkata, aku mendengar Rasululah saw. bersabda, ‘Barang siapa berusaha untuk sabar maka Allah akan menjadikannya sabar, barang siapa berusaha untuk kaya maka Allah akan mengkayakannya, barang siapa menjaga diri maka Allah akan memelihara dirinya, dan aku tidak mendapati untuk kalian rezeki yang lebih lapang daripada sabar’.”
Dari dua hadis di atas, terdapat satu kesamaan dengan prinsip-prinsip stoikisme. Kesamaan pertama adalah dalam hal kesabaran. Kesabaran juga dapat dianggap sebagai nilai atau sikap untuk menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam situasi sulit tanpa mengeluh. Kemampuan untuk bersabar juga dipandang sebagai kontrol diri yang tinggi, mencerminkan ketangguhan jiwa individu yang memilikinya.
Tidak hanya terkait dengan kontrol diri, kesabaran juga memiliki keterkaitan dengan konsep stoikisme yang kedua, yaitu penerimaan. Penerimaan diartikan sebagai kemampuan menerima apa yang tidak dapat diubah dan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan. Dalam konteks ini, apa yang tidak dapat diubah merujuk pada keputusan Tuhan atau takdir-Nya.
Hal ini menegaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki keterbatasan dan tidak memiliki kendali atas segala hal. Namun, Tuhan memberikan cobaan kepada hamba-Nya sebagai ujian kesabaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi cobaan tersebut.
Ikhtiar dan Tawakal (Usaha dan penerimaan takdir)
Ikhtiar berasal dari bahasa Arab, yakni ikhtara-yakhtaru, yang berarti melakukan pemilihan. Kata ini memiliki akar yang sama dengan kata "khair," sehingga dapat diartikan bahwa ikhtiar adalah proses memilih opsi yang dianggap lebih baik di antara pilihan yang ada. Ikhtiar merupakan tindakan pilihan dan inisiatif bebas dari individu. Ini adalah usaha yang bersifat pribadi, mencakup berbagai aspek integral, dan dilakukan dengan kebebasan, di mana manusia tidak terikat oleh yang lain, kecuali oleh keinginan dan cintanya terhadap kebaikan. Ikhtiar ini sejalan dengan prinsip stoikisme dalam hal kontrol diri dimana kontrol diri dan usaha untuk mengendalikan tindakan dan reaksi emosional adalah nilai penting dalam Stoikisme. Selain ikhtiar kita juga perlu bertawakal kepada Allah.
Tawakal berasal dari bahasa arab yaitu tawakul yang berarti berserah dan bersabar. Sedangkan secara istilah tawakal adalah berserah kepada kehendak Tuhan dengan sepenuh hati percaya kepada Tuhan terhadap penderitaan, percobaan, dan apapun yang terjadi di dunia ini. Sifat tawakal sejalan dengan prinsip stoikisme yaitu penerimaan takdir. Stoikisme mengajarkan penerimaan takdir dan pencapaian ketenangan jiwa. Penerimaan terhadap kenyataan dan kebijaksanaan menghadapi kehidupan adalah tujuan Stoikisme.
Contoh hadis tentang tawakal disertai ikhtiar kepada Allah:
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qudha’i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang“
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang memiliki sifat tawakal kepada Allah SWT akan dicukupkan rezekinya. Sebagaimana Allah SWT mencukupkan rezeki burung-burung. Karena itu, barang siapa yang bertawakal kepada-Nya niscaya Allah SWT akan cukupkan rezekinya. Tawakal disini bukan berarti menyerahkan segala urusan kita kepada Allah tanpa adanya usaha dari diri kita sendiri. Seperti yang dijelaskan pada hadis ini bahwa tawakal harus dibarengi dengan ikhtiar atau usaha yang sungguh-sungguh. Jika kita berusaha dengan kemampuan yang kita bisa dan tak lupa bertawakal kepada Allah maka kita akan diberikan rezeki yang sesuai dengan usaha yang kita keluarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip stoikisme yaitu tentang penerimaan takdir bahwa takdir yang diberikan kepada kita, kita tidak bisa mengubahnya melainkan menerimanya dan menjalankannya dengan ketenangan batin.
KESIMPULAN
Dalam melakukan analisis studi hadis mengenai filosofi stoikisme, dapat disimpulkan bahwa kajian tersebut membuka wawasan baru terkait pengaruh pemikiran stoik terhadap hadis dalam konteks Islam. Stoikisme, suatu aliran filosofis Yunani Kuno, menekankan pada etika, logika, dan fisika sebagai bagian integral dari kebijaksanaan hidup. Dalam konteks hadis Islam, terlihat adanya elemen-elemen stoik yang mencerminkan nilai-nilai kearifan serta kesabaran.
Dengan melibatkan metode analisis hadis, penelitian ini menyajikan uraian mendalam mengenai sejauh mana ajaran stoikisme mempengaruhi konteks kehidupan sehari-hari yang tercermin dalam hadis. Pemikiran stoik yang menekankan penerimaan terhadap takdir, kontrol diri, dan ketahanan dalam menghadapi cobaan, mungkin dapat diidentifikasi dalam sebagian narasi hadis yang menyoroti nilai-nilai serupa.
Namun demikian, diperlukan hati-hati dalam menafsirkan hubungan antara stoikisme dan Islam. Meskipun terdapat kesamaan dalam nilai-nilai kesabaran dan kontrol diri, penting untuk diingat bahwa hadis-hadis tersebut berakar pada konteks keislaman yang memiliki pandangan khas terkait takdir, tawakal, serta hubungan dengan Allah.
Dengan demikian, analisis studi hadis mengenai filosofi stoikisme membawa kontribusi penting terhadap pemahaman lintas budaya dan filosofis. Implikasinya dapat dirasakan dalam pemahaman lebih mendalam terhadap sumber-sumber kebijaksanaan yang melintasi peradaban, memperkaya pandangan keislaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan etika hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H