Tidak hanya terkait dengan kontrol diri, kesabaran juga memiliki keterkaitan dengan konsep stoikisme yang kedua, yaitu penerimaan. Penerimaan diartikan sebagai kemampuan menerima apa yang tidak dapat diubah dan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan. Dalam konteks ini, apa yang tidak dapat diubah merujuk pada keputusan Tuhan atau takdir-Nya.
Hal ini menegaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki keterbatasan dan tidak memiliki kendali atas segala hal. Namun, Tuhan memberikan cobaan kepada hamba-Nya sebagai ujian kesabaran dan kebijaksanaan dalam menghadapi cobaan tersebut.
Ikhtiar dan Tawakal (Usaha dan penerimaan takdir)
Ikhtiar berasal dari bahasa Arab, yakni ikhtara-yakhtaru, yang berarti melakukan pemilihan. Kata ini memiliki akar yang sama dengan kata "khair," sehingga dapat diartikan bahwa ikhtiar adalah proses memilih opsi yang dianggap lebih baik di antara pilihan yang ada. Ikhtiar merupakan tindakan pilihan dan inisiatif bebas dari individu. Ini adalah usaha yang bersifat pribadi, mencakup berbagai aspek integral, dan dilakukan dengan kebebasan, di mana manusia tidak terikat oleh yang lain, kecuali oleh keinginan dan cintanya terhadap kebaikan. Ikhtiar ini sejalan dengan prinsip stoikisme dalam hal kontrol diri dimana kontrol diri dan usaha untuk mengendalikan tindakan dan reaksi emosional adalah nilai penting dalam Stoikisme. Selain ikhtiar kita juga perlu bertawakal kepada Allah.
Tawakal berasal dari bahasa arab yaitu tawakul yang berarti berserah dan bersabar. Sedangkan secara istilah tawakal adalah berserah kepada kehendak Tuhan dengan sepenuh hati percaya kepada Tuhan terhadap penderitaan, percobaan, dan apapun yang terjadi di dunia ini. Sifat tawakal sejalan dengan prinsip stoikisme yaitu penerimaan takdir. Stoikisme mengajarkan penerimaan takdir dan pencapaian ketenangan jiwa. Penerimaan terhadap kenyataan dan kebijaksanaan menghadapi kehidupan adalah tujuan Stoikisme.
Contoh hadis tentang tawakal disertai ikhtiar kepada Allah:
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qudha’i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang“
Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang memiliki sifat tawakal kepada Allah SWT akan dicukupkan rezekinya. Sebagaimana Allah SWT mencukupkan rezeki burung-burung. Karena itu, barang siapa yang bertawakal kepada-Nya niscaya Allah SWT akan cukupkan rezekinya. Tawakal disini bukan berarti menyerahkan segala urusan kita kepada Allah tanpa adanya usaha dari diri kita sendiri. Seperti yang dijelaskan pada hadis ini bahwa tawakal harus dibarengi dengan ikhtiar atau usaha yang sungguh-sungguh. Jika kita berusaha dengan kemampuan yang kita bisa dan tak lupa bertawakal kepada Allah maka kita akan diberikan rezeki yang sesuai dengan usaha yang kita keluarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip stoikisme yaitu tentang penerimaan takdir bahwa takdir yang diberikan kepada kita, kita tidak bisa mengubahnya melainkan menerimanya dan menjalankannya dengan ketenangan batin.
KESIMPULAN