Tulisan ini semata-mata berangkat dari niat berbagi "rumus" berpikir selama belajar dan mempelajari sikap menulis.
Sedih dan gembira, jenuh dan bergairah, suntuk dan semangat, semuanya melebur dalam ruang pengalaman.
Selalu kembali kepada niat. Ya, niat merupakan fondasi awal mengapa kita menulis.Â
Apakah kita menulis untuk menumpahkan isi hati dan pikiran? Hendak bertukar pengalaman melalui tulisan? Ingin menyapa dunia dengan huruf dan kata-kata?
Atau memenuhi desakan kata hati, "Aku bisa menulis dan harus bisa menghasilkan tulisan yang berkualitas."
Boleh juga menggelorakan semangat warisan inspirasi Mbah Descartes: "Aku menulis maka aku ada."
Saya sendiri tidak mau pusing mencari-cari alasan dan motivasi. Pokoknya, niat menulis ya untuk menulis. Minimal, saya meyakini bahwa aktivitas menulis bermanfaat untuk diri saya. Selesai.
Orang yang paling bertanggung jawab terhadap kemalasan menulis adalah saya sendiri. Sikap ini saya paksakan kepada diri sendiri supaya saya tidak bergantung pada "siapa-siapa" dan "apa-apa".
Maksud "tidak bergantung pada siapa-siapa" adalah saya tidak menyandarkan motivasi menulis pada orang lain. Kendati saya tetap belajar dari siapa pun.
Adapun "tidak bergantung pada apa-apa" maksudnya saya tidak njagakno perolehan materi sebagai motivasi utama. Kendati saya sangat bersyukur apabila tulisan saya menghasilkan sesuatu.
Bagaimana dengan Anda? Monggo digali dan ditemukan DNA atau fondasinya. Setiap manusia itu unik, khas dan autentik.
Dalam kandungan DNA menulis, selain terdapat niat, motivasi dan tujuan, kita juga bisa menemukan  "sel-sel" minat dan bakat yang menjadi kecenderungan kita.
Misalnya, ada penulis yang memiliki "sel" kecenderungan yang kuat pada ekonomi atau fiksi atau humaniora atau politik atau olah raga.
Bukankah itu kategori tulisan di Kompasiana? Benar. Di antara deretan kategori itu, apa kecenderungan yang paling kuat dalam diri kita?
Ini proses membaca kelemahan dan kelebihan diri. Sampai di sini, kita menyimpulkan menulis adalah proses membaca diri sendiri.
Silakan Anda menulis tema atau kategori apa pun. Bebas. Namun, dalam rentang perjalanan tertentu Anda perlu memutuskan satu atau beberapa saja dari kategori yang menjadi "Ka'bah" sembahyang menulis Anda.
Hingga kita menemukan titik pusat tema yang menjadi kekuatan kita---kuat karena tema kategori tersebut berangkat dari DNA yang khas, unik dan autentik. Pada arah kiblat itulah tulisan Anda menghadap.
Jika demikian apakah kita akan selalu dan terus menulis tema pendidikan? Bisa ya bisa tidak. Ya, karena pendidikan adalah kiblat atau titik pusat kelebihan kita. Di sanalah tulisan kita melakukan "thawaf", berputar mengelilingi titik pusat, sehingga kita "ahli" di bidang itu.
Terkait dengan "ahli" mudah-mudahan saya bisa menuliskannya di lain kesempatan.
Kita tidak harus terus menerus menulis tema pendidikan. Sesekali bolehlah melancong ke beberapa tema atau kategori yang lain.
Namanya melancong, ya jangan kelamaan atau kebablasan. Segera pulang kembali ke titik pusat tema kita sendiri.
Namun, saya punya cara pandang yang berbeda. Meskipun sering menulis tema pendidikan (edukasi), kadang saya juga menulis tema sosial budaya (sosbud), media, pemerintahan (walaupun tidak saya pasang dalam kategori politik), puisi (fiksiana).
Tapi saya tidak sedang melancong. Lalu apa?
Titik pusat tema menulis saya adalah humaniora. Sub tema-nya meliputi edukasi dan sosial budaya.Â
Misalnya, saya menulis tentang new normal pendidikan. Tema ini pasti tidak hanya bersangkut-paut dengan tahun ajaran baru, cara belajar daring, kualitas guru, kesiapan orangtua, infrastuktur yang belum merata dan seterusnya.
Tema pendidikan itu akan bersinggungan dan beririsan dengan soal-soal bertema ekonomi, politik, budaya, dan media.
Analogi sederhananya, kalau kita bicara buah mangga, jangan melupakan daun, ranting, batang, akar, Â tanah, udara, air tempat pohon mangga ditanam.
Saya tidak melancong ke tema di luar pendidikan, melainkan menemukan hubungan dan keterkaitan pendidikan dengan ekonomi, politik, agama dan sebagainya. Risikonya, tulisan kita bisa melebar ke mana-mana.Â
Irisan dan keterkaitan antar tema memang perlu diupayakan, namun komposisinya harus pas dan seimbang.
Di sinilah kita menggunakan "imajinasi" dan cara berpikir asosiatif untuk menemukan saling keterkaitan antar tema yang berbeda. Melalui imajinasi dan cara berpikir asosiatif kita mencoba mengaitkan dua atau beberapa hal yang berbeda menjadi kesatuan hubungan yang utuh dan padu.
Setelah dipecah oleh bidang-bidang, tembok-tembok, sekat-sekat, spesialisasi-spesialisasi yang mengurung pikiran, kita membebaskan diri melalui menulis.Â
Jadi, menulis adalah upaya untuk mengutuh kembali.
Kita boleh memiliki spesialisasi tema tentang olah raga, misalnya. Namun, hal itu bukan berarti kita terkurung dalam tembok tema yang sama.
Menulis adalah membebaskan diri dari tembok kesempitan, tembok kepicikan, tembok "ke-cingkrang-an", tembok kedangkalan. Atas kedangkalan dan kesempitan berpikir aku, Anda dan kita semua harus merdeka dan memerdekakan diri.
Hingga paragraf ini kita menemukan beberapa definisi menulis yang berbeda. Apa boleh? Kenapa tidak.
Tidak ada definisi tunggal tentang menulis. Tidak ada teknik tunggal untuk belajar menulis.
Katakanlah ada satu juta penulis di Kompasiana (kebanyakan ya, atau malah kurang?). Setiap penulis memiliki warnanya masing-masing.
Bisa dikatakan ada satu juta teknik menulis di Kompasiana sesuai pengalaman masing-masing. Serta ada satu juta definisi tentang menulis sesuai perenungan masing-masing.
Kurang bebas apa kita!
Kurang merdeka apa kita!
Yang penting, dan semoga ini jadi penutup tulisan yang menyemangati, setiap penulis berdaulat terhadap dirinya.
Bukankah menulis adalah menyuarakan kedaulatan diri demi merajut kebaikan dan keindahan? Satu definisi lagi kita temukan.
Mari menulis dengan merdeka dan berdaulat! []
Jagalan, 060520
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI