Misalnya, ada penulis yang memiliki "sel" kecenderungan yang kuat pada ekonomi atau fiksi atau humaniora atau politik atau olah raga.
Bukankah itu kategori tulisan di Kompasiana? Benar. Di antara deretan kategori itu, apa kecenderungan yang paling kuat dalam diri kita?
Ini proses membaca kelemahan dan kelebihan diri. Sampai di sini, kita menyimpulkan menulis adalah proses membaca diri sendiri.
Silakan Anda menulis tema atau kategori apa pun. Bebas. Namun, dalam rentang perjalanan tertentu Anda perlu memutuskan satu atau beberapa saja dari kategori yang menjadi "Ka'bah" sembahyang menulis Anda.
Hingga kita menemukan titik pusat tema yang menjadi kekuatan kita---kuat karena tema kategori tersebut berangkat dari DNA yang khas, unik dan autentik. Pada arah kiblat itulah tulisan Anda menghadap.
Jika demikian apakah kita akan selalu dan terus menulis tema pendidikan? Bisa ya bisa tidak. Ya, karena pendidikan adalah kiblat atau titik pusat kelebihan kita. Di sanalah tulisan kita melakukan "thawaf", berputar mengelilingi titik pusat, sehingga kita "ahli" di bidang itu.
Terkait dengan "ahli" mudah-mudahan saya bisa menuliskannya di lain kesempatan.
Kita tidak harus terus menerus menulis tema pendidikan. Sesekali bolehlah melancong ke beberapa tema atau kategori yang lain.
Namanya melancong, ya jangan kelamaan atau kebablasan. Segera pulang kembali ke titik pusat tema kita sendiri.
Namun, saya punya cara pandang yang berbeda. Meskipun sering menulis tema pendidikan (edukasi), kadang saya juga menulis tema sosial budaya (sosbud), media, pemerintahan (walaupun tidak saya pasang dalam kategori politik), puisi (fiksiana).
Tapi saya tidak sedang melancong. Lalu apa?
Titik pusat tema menulis saya adalah humaniora. Sub tema-nya meliputi edukasi dan sosial budaya.Â