Misalnya, saya menulis tentang new normal pendidikan. Tema ini pasti tidak hanya bersangkut-paut dengan tahun ajaran baru, cara belajar daring, kualitas guru, kesiapan orangtua, infrastuktur yang belum merata dan seterusnya.
Tema pendidikan itu akan bersinggungan dan beririsan dengan soal-soal bertema ekonomi, politik, budaya, dan media.
Analogi sederhananya, kalau kita bicara buah mangga, jangan melupakan daun, ranting, batang, akar, Â tanah, udara, air tempat pohon mangga ditanam.
Saya tidak melancong ke tema di luar pendidikan, melainkan menemukan hubungan dan keterkaitan pendidikan dengan ekonomi, politik, agama dan sebagainya. Risikonya, tulisan kita bisa melebar ke mana-mana.Â
Irisan dan keterkaitan antar tema memang perlu diupayakan, namun komposisinya harus pas dan seimbang.
Di sinilah kita menggunakan "imajinasi" dan cara berpikir asosiatif untuk menemukan saling keterkaitan antar tema yang berbeda. Melalui imajinasi dan cara berpikir asosiatif kita mencoba mengaitkan dua atau beberapa hal yang berbeda menjadi kesatuan hubungan yang utuh dan padu.
Setelah dipecah oleh bidang-bidang, tembok-tembok, sekat-sekat, spesialisasi-spesialisasi yang mengurung pikiran, kita membebaskan diri melalui menulis.Â
Jadi, menulis adalah upaya untuk mengutuh kembali.
Kita boleh memiliki spesialisasi tema tentang olah raga, misalnya. Namun, hal itu bukan berarti kita terkurung dalam tembok tema yang sama.
Menulis adalah membebaskan diri dari tembok kesempitan, tembok kepicikan, tembok "ke-cingkrang-an", tembok kedangkalan. Atas kedangkalan dan kesempitan berpikir aku, Anda dan kita semua harus merdeka dan memerdekakan diri.
Hingga paragraf ini kita menemukan beberapa definisi menulis yang berbeda. Apa boleh? Kenapa tidak.
Tidak ada definisi tunggal tentang menulis. Tidak ada teknik tunggal untuk belajar menulis.
Katakanlah ada satu juta penulis di Kompasiana (kebanyakan ya, atau malah kurang?). Setiap penulis memiliki warnanya masing-masing.