Gamblangnya, sebelum pandemi datang yang kita selenggarakan adalah membangun dunia fantasi, alam hiperealitas, khayalan simulasi.
Hiperealitas merasuki setiap sektor: hiperealitas pendidikan, hiperealitas pesantren, hiperealitas politik, hiperealitas kesehatan, hiperealitas pertumbuhan ekonomi, hiperealitas pilkada, hiperealitas pemilihan presiden langsung...
Di tengah praktik hiper-hiperealitas Covid-19 melakukan hard reset.Â
Kita mau tidak mau dilempar kembali ke garis start. Seperti orang bangun tidur yang seketika sadar bahwa yang primer adalah kesehatan dan keselamatan, kebersamaan dan kepedulian, keaslian dan kejujuran.
Bahkan setelah orangtua bernikmat-nikmat dalam hiperealitas pendidikan, mereka kedodoran juga mendidik anaknya sendiri.Â
Hard reset pendidikan menitipkan pesan: anak bisa belajar di mana saja, kapan saja, melalui apa saja---tanpa harus duduk tertib dalam kelas.
Dalam imaji yang dibentuk oleh hiperealitas pendidikan, sekolah atau pendidikan formal memang penting, akan dianggap penting, dan selalu dipenting-pentingkan sehingga tiada yang lebih penting, dianggap penting dan selalu dipenting-pentingkan melebihi belajar di sekolah.
Yang kita kejar, menurut Baudrillad adalah simulacra: kenyataan semu yang sesungguhnya tidak pernah ada.
Celakanya, kita kerap berhadapan dengan kenyataan di mana sekolah, wa ala alihi wa shohbihi, adalah simulacra pendidikan.Â
Manusia yang khas, unik dan autentik dikaburkan personalitasnya demi memburu simbol-simbol hiperealitas di luar dirinya.
Sampai di sini saya harus meralat pernyataan saya sendiri: Corona tidak melulu bikin ribet!
Pandemi ini toh juga memiliki sisi baik. Ia mengembalikan abnormalitas hiperealitas menjadi kenormalan baru. Â