"Abang harus pergi untuk memastikan agar hilal selalu tampak di matamu, agar ia tampak selamanya, Marsiti, tampak selama-lamanya."
Marsiti mendengus kesal. Ia benar-benar benci mendengar kata "hilal". Mengapa hilal kadang kelihatan kadang tidak sehingga Bang Toyib harus memastikannya tampak untuk selama-lamanya?
Seandainya hilal selalu tampak ia tidak akan merasakan detik-detik perpisahan yang memilukan ini.
"Bagaimana cara Abang memastikan hilal tampak selamanya?"
"Abang akan berjuang, berkorban, bahkan bertarung nyawa demi membawa hilal ke pangkuanmu. Abang akan memasukkan hilal dalam stoples kaca sehingga kamu dan anak-anak bisa memandanginya kapan saja, di mana saja, selamanya, selamanya..."
"Bang Toyib..."
"Marsiti..."
Di jalan kampung yang becek, Marsiti menatap langkah kaki Bang Toyib. Tikungan jalan yang rimbun menelan bayangan Bang Toyib bersama malam yang kian malam.
Bagai mengenakan jubah malam Bang Toyib pergi mengambil hilal untuk dimasukkan dalam stoples kaca.
Sampai kapan Bang Toyib pergi? Tiada seorang pun tahu, juga Marsiti, yang setia menantinya di teras rumah, setiap malam, setiap malam, hingga malam berganti pagi.
Kadang Marsiti tergetar gembira saat mendongak ke atas. Hilal tidak tampak. Bang Toyib pasti berhasil memasukkannya dalam stoples kaca. Namun, getar bahagia itu berlangsung sesaat saja. Perasaan Marsiti diiris sembilu. Suaminya belum pulang kembali.
Tiga kali puasa, tiga kali lebaran Bang Toyib belum pulang. Apakah memasukkan hilal dalam stoples kaca memerlukan waktu tiga kali puasa, tiga kali lebaran, atau mungkin lebih lama lagi?Â
Mengapa hilal tidak langsung dicomot begitu saja lalu dimasukkan stoples kaca, lalu bergegas pulang?