Hari Kebangkitan Nasional, kerap disingkat Harkitnas, kali pertama diperingati pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Harkitnas ke-40 itu dihitung sejak perhimpunan kebangsaan yang pertama didirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908.
Pada 1947 situasi politik dan ekonomi Indonesia mengalami tekanan. Belanda gencar melancarkan kolonialisme dengan membentuk negara boneka untuk memecah persatuan nasional. Agresi Belanda menggila. Beberapa wilayah berhasil diduduki termasuk ibukota Jakarta. Pemerintah pun hijrah ke Yogyakarta.
Dari dalam negeri oposisi yang digalang Perdana Menteri Amir Sjarifuddin kian menambah runyam kehidupan politik. Partai oposisi Front Demokrasi Rakyat (FDR) bentukan Amir Sjarifuddin berhasil menggalang beberapa partai dan organisasi sayap kiri.
Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan Barisan Tani Indonesia turut bergabung bersama kubu oposisi.
Rakyat pun tak kalah menderita. Terjadi kelangkaan beras akibat blokade Belanda. Uang dicetak tanpa perhitungan. Inflasi hebat terjadi.
Ribuan pengungsi melakukan hijrah menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ini akibat Perjanjian Renville yang secara de facto mengakui Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai wilayah Indonesia.
Di luar dua daerah itu bermunculan negara federal yang secara politik mendapat dukungan penuh dari Belanda.
Dalam tulisan berjudul "May 2008 and One Hundred Years Ago: History, Myth, and Consciousness," jurnal Masyarakat Indonesia, No. 2, 2008, sejarawah Taufik Abdullah menulis, "Dalam keadaan Republik yang krusial itu, sebuah simbol baru persatuan sangat dibutuhkan."
Dikutip dari Historia.id, Ki Hadjar Dewantara dan Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Sukarno-Hatta dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo agar memperingati peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1948 sebagai hari Kebangkitan Nasional (saat itu istilahnya Kebangunan Nasional) yang ke-40.
Presiden Sukarno menyatakan, 20 Mei 1908 patut dianggap hari mulia oleh bangsa Indonesia, karena pada hari itu perhimpunan kebangsaan yang pertama, yaitu Boedi Oetomo, didirikan dengan maksud menyatukan rakyat, yang dulu masih terpecah-belah, agar dapat mewujudkan suatu bangsa yang besar dan kuat.
Yang menarik, penyelenggara acara Kebangunan Nasional ke-40 tidak dipegang oleh pihak pemerintah melainkan dimotori kekuatan sosial dan politik.Â
Mr. Asaat ketua KNPI ditugaskan Presiden Sukarno agar mengadakan pertemuan dengan berbagai perwakilan golongan dan dan partai.
Ki Hadjar Dewantara pimpinan Taman Siswa ditunjuk sebagai Ketua penyelenggara Kebangunan Nasional ke-40. Anggotanya Tjugito (tokoh PKI mewakili FDR), A.M. Sangadji (Masyumi), Sabilal Rasjad (Partai Nasional Indonesia), Ny. A. Hilal (Kongres Wanita Indonesia), Tatang Mahmud (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan H. Benyamin (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).
Kebangkitan Nasional: Mitos atau Kenyataan?
Mencermati penggerak Kebangunan Nasional yang dimotori oleh kekuatan golongan, sosial dan politik, kita bisa memetik beberapa pelajaran.
Kebangkitan nasional bukan pekerjaan yang diemban oleh satu atau dua golongan. Bukan tugas partai politik semata. Bukan pula kewajiban kaum cendekiawan saja.
Keragaman sosial dan budaya, adat dan tradisi, serta kekayaan alam yang melimpah merupakan modal potensial bagi bangsa Indonesia untuk bangkit kapan saja. Semua warga bangsa adalah motor penggerak kebangkitan itu.
Ini bukan soal kapan kita bangkit melainkan bagaimana kita bangkit. Kebangkitan nasional bergantung pada "mentalitas" proses pergerakan nasional yang disokong oleh bangsa Indonesia sendiri.
Pertanyaannya, apakah selama 112 tahun, terhitung sejak 1908, kita sudah, sedang, dan akan mengalami kebangkitan demi kebangkitan? Apa indikator sosial, budaya, politik, ekonomi dan pendidikan---mikro dan makro, nasional dan global---yang menunjukkan kita mengalami kebangkitan?
Atau kita mengalami kebangkitan pada skala personal individual namun masih terjajah secara sistemik struktural?
Dinamika proses kebangkitan tidak bisa dipotret melalui satu sudut pandang saja karena ini menyangkut jati diri dan harga diri bangsa Indonesia.
Kalau peringatan kebangkitan kali pertama pada 1948 dilatarbelakangi oleh situasi krusial sosial, ekonomi, politik, pertanyaannya: perlu menunggu proses pembusukan seperti apa lagi supaya kita benar-benar bangkit saat ini?
"Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan surga. Surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya.
Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tidak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini.
Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-negeri lain yang manapun," tulis Cak Nun dalam Renungan Lir-ilir.
Kecuali kita sepakat, Kebangkitan Nasional adalah mitos, seperti pernah disampaikan sejarawan Taufik Abdullah.
Kebangkitan Nasional Dimulai dari Apa?
Atau pertanyaannya diperdalam: kebangkitan nasional dimulai oleh siapa? Bagaimana mentalitas kebangkitan dikelola? Siapa yang mengelola? Siapa yang memelopori? Pimpinan partai politik, agamawan dan ulama, cendekiawan, budayawan, konglomerat, generasi milenial?
Apakah saat ini belum cukup kejernihan bulan Ramadan dan kehadiran virus corona sebagai pemicu bagi kebangkitan bangsa Indonesia? Masih harus menunggu tertekan hingga berapa kali lipat sehingga saya, Anda, kita semua bangun, bangkit, njenggirat dari tidur panjang ini?
Bulan Ramadan menyediakan atmosfer yang mendidik rohani dan jasmani sehingga kita memiliki keseimbangan mental dan pikiran, hati dan akal, niat dan perbuatan. Itu pun masih ditambah ujian menghadapi virus corona yang melumpuhkan nyaris semua sektor.Â
Kurang prihatin apa kita menjalani situasi pandemi ini ketika tekanan demi tekanan menghasilkan reaksi kebangkitan komunal yang dipandegani oleh paguyuban, komunitas, perkumpulan warga, organisasi sosial yang menjadi pilar bagi bangunan kebersamaan.
Pada konteks skala lokal, dusun dan desa, masyarakat bergotong royong, membangkitkan diri untuk saling menolong dan menguatkan. Solidaritas ini terbangun secara spontan di tengah bias optimisme kepemimpinan populis.
Saya tidak mengajukan opsi, misalnya kebangkitan nasional dimulai dari merevolusi pendidikan yang visioner dan berpijak pada tanah kebudayaan Indonesia. Di samping kita bisa bangkit dari bidang apa pun, tampaknya manajemen mental kita masih kedodoran.
Pada level kepemimpinan kita miskin teladan, fakir uswah hasanah, melarat Tut Wuri Handayani.
Kita mudah terjebak pada spektrum politik yang menghasilkan pemimpin populis. Saat menghadapi situasi krisis pandemi virus corona, pemimpin populis menampilkan sifat umum yang sama, yakni bias optimisme, rasa puas diri, ambigu dan anti sains.
Alih-alih menggelorakan Kebangkitan Nasional yang malah terbukti jadi mitos, alangkah baik dan beradab apabila para pemimpin, termasuk saya, Anda, dan kita semua terlebih dahulu memohon maaf atas kontribusi negatif yang sadar maupun tidak sadar kita tanam di negeri ini.
Momentum Idul Fitri adalah momentum kebangkitan: bangkit untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Idul Fitri dan Kebangkitan Nasional bukan kemenangan personal, bukan keberhasilan golongan apalagi kesuksesan partai politik tertentu.
Sekarang saatnya kita merdeka bukan dari kekalahan satu pihak atas pihak lain, bukan kekalahan kepentingan atas kepentingan lain, melainkan bangkit meraih kemenangan atas sistem sejarah yang pola kerja destruktifnya kita ciptakan sendiri.
Bagaimana menyikapi Kebangkitan Nasional di tengah spektrum kepemimpinan populis, silakan direnungkan kembali sambil bersih-bersih diri karena lebaran sebentar lagi.[]
Jagalan, 200520
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H