Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kebangkitan Nasional dan Bias Optimisme Kepemimpinan Populis

20 Mei 2020   00:20 Diperbarui: 20 Mei 2020   00:50 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasionalisme Indonesia. Ilustrasi: KOMPAS.com/SHUTTERSTOCK

Kecuali kita sepakat, Kebangkitan Nasional adalah mitos, seperti pernah disampaikan sejarawan Taufik Abdullah.

Kebangkitan Nasional Dimulai dari Apa?

Atau pertanyaannya diperdalam: kebangkitan nasional dimulai oleh siapa? Bagaimana mentalitas kebangkitan dikelola? Siapa yang mengelola? Siapa yang memelopori? Pimpinan partai politik, agamawan dan ulama, cendekiawan, budayawan, konglomerat, generasi milenial?

Apakah saat ini belum cukup kejernihan bulan Ramadan dan kehadiran virus corona sebagai pemicu bagi kebangkitan bangsa Indonesia? Masih harus menunggu tertekan hingga berapa kali lipat sehingga saya, Anda, kita semua bangun, bangkit, njenggirat dari tidur panjang ini?

Bulan Ramadan menyediakan atmosfer yang mendidik rohani dan jasmani sehingga kita memiliki keseimbangan mental dan pikiran, hati dan akal, niat dan perbuatan. Itu pun masih ditambah ujian menghadapi virus corona yang melumpuhkan nyaris semua sektor. 

Kurang prihatin apa kita menjalani situasi pandemi ini ketika tekanan demi tekanan menghasilkan reaksi kebangkitan komunal yang dipandegani oleh paguyuban, komunitas, perkumpulan warga, organisasi sosial yang menjadi pilar bagi bangunan kebersamaan.

Pada konteks skala lokal, dusun dan desa, masyarakat bergotong royong, membangkitkan diri untuk saling menolong dan menguatkan. Solidaritas ini terbangun secara spontan di tengah bias optimisme kepemimpinan populis.

Saya tidak mengajukan opsi, misalnya kebangkitan nasional dimulai dari merevolusi pendidikan yang visioner dan berpijak pada tanah kebudayaan Indonesia. Di samping kita bisa bangkit dari bidang apa pun, tampaknya manajemen mental kita masih kedodoran.

Pada level kepemimpinan kita miskin teladan, fakir uswah hasanah, melarat Tut Wuri Handayani.

Kita mudah terjebak pada spektrum politik yang menghasilkan pemimpin populis. Saat menghadapi situasi krisis pandemi virus corona, pemimpin populis menampilkan sifat umum yang sama, yakni bias optimisme, rasa puas diri, ambigu dan anti sains.

Alih-alih menggelorakan Kebangkitan Nasional yang malah terbukti jadi mitos, alangkah baik dan beradab apabila para pemimpin, termasuk saya, Anda, dan kita semua terlebih dahulu memohon maaf atas kontribusi negatif yang sadar maupun tidak sadar kita tanam di negeri ini.

Momentum Idul Fitri adalah momentum kebangkitan: bangkit untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Idul Fitri dan Kebangkitan Nasional bukan kemenangan personal, bukan keberhasilan golongan apalagi kesuksesan partai politik tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun