Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Solilokui: Manusia Itu Makhluk Rohani atau Makhluk Jasmani?

19 Mei 2020   01:43 Diperbarui: 19 Mei 2020   01:59 1786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana dengan zakat fitrah? Tiada beda dengan prinsip metode bersih-bersih puasa. Zakat yang kita tunaikan akan membersihkan kepemilikan harta kita. Zakat menyapu kotoran medit, cetil, kikir, bakhil justru setelah kita merasa bahwa ini duitku, hartaku, mobilku, kekayaanku adalah hasil kerja kerasku.

Semua yang serba "ku" itu menumpuk dan menjadi kotoran yang mengendap lalu mengeras dalam dasar jiwa. Yang mengenaskan adalah manakala diriku dan diri saya mati tertimbun oleh batu semen cor-coran "ku".

Sebelum semuanya berakhir sebagai tragedi kematian akibat ditimbun benda-benda yang disangka begitu berharga sehingga tiada yang lebih berharga dan bermakna selain menimbun benda-benda, atau membangun reputasi semu, atau menegakkan citra diri palsu---aku dan saya mengeluarkan zakat fitrah dan zakat maal sebagai upaya bersih-bersih diri sebelum Idul Fitri.

Kalau puasa mengajariku makan yang sejati, maka zakat membimbingku meraih kekayaan yang sejati.

"Apa yang sejati-sejati itu diakui oleh selera pasar? Cara pandangnya yang lumrah-lumrah saja. Bobot tulisannya yang ringan-ringan sehingga mudah dikunyah," protes saya.

"Mungkin pasar kurang berselera terhadap yang sejati," ucapku. "Namun, secara alami naluriah manusia akan kembali pada yang sejati, melalui berbagai cara dan momentum, sehingga ia akan tepergok sendiri oleh bayang-bayang kepalsuan yang selama ini dia agung-agungkan."

"Apa yang mendasari asumsi itu?"

"Ini bukan asumsi tapi kasunyatan hidup. Silakan manusia menggunduli hutan, menguras isi lautan, merobohkan gunung, mendaki puncak singgasana kekuasaan. Kelak, ketika ajal tiba ia akan merohani. Sedangkan jasadnya akan kembali menjadi tanah."

Dari kasunyatan hidup itu aku dan saya memerlukan momentum Idul Fitri. Kembali kepada yang fitri, kembali kepada yang suci. Kembali kepada yang fitri dan suci itu ya kembali kepada yang sejati. Bersih-bersih menyambut Idul Fitri itu menyucikan jiwa agar kembali meraih yang sejati.

"Jika demikian di manakah konteks saling memaafkan antar sesama manusia pada momen Idul Fitri?" Kali ini saya benar-benar penasaran.

"Yang pasti, kita memiliki bertumpuk-tumpuk kesalahan kepada orang lain. Kotoran itu ya harus dibersihkan. Caranya, kita meminta maaf kepada yang bersangkutan sambil berjanji tidak mengulangi kesalahan itu."

Aku sadar, jawaban itu terbilang normatif dan klise. Padahal aku juga memendam jawaban berikutnya.

Kesalahan yang kita perbuat pada satu orang saja, imbas serta akibatnya bisa menyusahkan ratusan, ribuan bahkan jutaan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun