Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Solilokui: Manusia Itu Makhluk Rohani atau Makhluk Jasmani?

19 Mei 2020   01:43 Diperbarui: 19 Mei 2020   01:59 1786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pexels.com/ATHENA

Sebelum tulisan ini mendendangkan tema bersih-bersih sambut idul fitri, mari kita rileks, menyandarkan punggung, mengendapkan hati, meneb sejenak.

Pertanyaan yang akan aku ajukan ini aku tujukan untuk diriku. Syukur-syukur pembaca tulisan ini turut meresponsnya tidak sebagai bahan eyel-eyelan, debat akrobat akademik, atau sekadar pertunjukan pinter-pinteran.

"Manusia itu makhluk rohani atau jasmani?" demikian aku bertanya kepada diriku. Ini pertanyaan jadul, kuno dan kedaluwarsa namun tiba-tiba menjadi penting buat diriku.

Pertanyaan berkembang lagi. "Puasa Ramadan dan Idul Fitri diprogram Tuhan melalui pertimbangan utama bahwa manusia itu makhluk rohani atau makhluk jasmani?"

Dengan demikian, tema bersih-bersih menyambut Idul Fitri ini ditulis memakai cara pandang manusia sebagai makhluk rohani atau jasmani?

Aku memberondong diriku dengan pertanyaan yang tidak bermutu. Dialog sederhana pun terjalin antara aku dan saya.

"Rewel banget! Tinggal menulis sesuai tema apa susahnya," kata saya memprotes kerewelan diriku.

"Ini bukan soal rewel dan tidak rewel," ucapku.

"Lalu soal apa?"

"Untuk makan sesuap nasi kita harus memastikan bahwa yang ada di hadapan kita benar-benar nasi."

"Jangan berputar-putar!" ucap saya.

"Untuk menulis tema bersih-bersih menjelang Idul Fitri harus kita temukan terlebih dahulu cara pandang dan sikap pandang: kita ini makhluk rohani atau makhluk jasmani?"

"Ruwet!"

Aku tertawa. Aku mengerti diri saya maunya yang praktis-praktis. Tidak pakai rewel. Tidak usah ndakik-ndakik. Menulis ya menulis saja.

Namun, aku mencegahnya agar saya tidak terperangkap di gelombang permukaan. Aku memaklumi pemberontakan saya.

"Jadi manusia itu makhluk rohani atau jasmani?" tanya saya kembali.

"Manusia itu ya makhluk rohani, ya makhluk jasmani," jawabku.

"Lhadalah, jawaban apa itu!"

"Bukan jawaban apa itu, melainkan mengapa aku menjawab seperti itu."

"Iya, mengapa? Jelaskan pada saya!"

Aku pun mendedahkan pikiranku. Kalau aku menjawab manusia itu makhluk rohani, aku menafikan fakta bahwa manusia itu  makhluk jasmani yang memiliki darah dan daging. Ia tampak secara jasmani.

Namun, kalau aku mengatakan manusia itu makhluk jasmani, aku mengingkari kenyataan bahwa manusia memiliki eksistensi rohani.

Jadi, manusia itu ya makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani.

Sebelum saya melayangkan protes, aku kembali menurunkan hujan deras pemikiranku.

Persoalannya kini bergeser. Sebagai makhluk rohani dan jasmani, apakah manusia telah menjaga keseimbangan dirinya? Apakah yang terjadi bukan sebaliknya: manusia justru mementingkan eksistensi jasmani?

Akibat ketidakseimbangan itu manusia lantas berpikir bahwa yang dimaksud bersih-bersih menjelang Idul Fitri adalah mengecat tembok rumah, membeli baju baru, mengganti mobil lama dengan mobil baru.

"Jangan buruk sangka!" tiba-tiba saya menyela.

"Aku tidak menuduh orang lain. Kalau pun ada pemikiran dan tindakan yang salah, itu kesalahan diriku dan dirimu."

Materialisme, individualisme, egoisme hingga kapitalisme global merupakan produk manusia yang belum tepat mengenali dirinya. Ia menomorsatukan eksistensi jasmani seraya mengabaikan kasunyatan rohani.

"Maka, jangan menyepelekan tema bersih-bersih menjelang Idul Fitri!" ucapku tegas.

"Saya tidak menyepelekan. Tema tersebut justru menemukan momentumnya," ungkap saya. "Momentum ketika manusia terperangkap oleh penampilan wadag dan pencitraan diri."

"Aku sepakat tapi dengan satu catatan," kataku. "Yang dimaksud manusia di sini bukan orang lain, tapi aku dan kamu."

Saya tidak berkata lagi. Barangkali saya tengah menyusun pokok pikiran selanjutnya. Kesempatan ini aku pergunakan untuk menekan diri saya agar mau jadi pendengar yang baik.  

Apa yang harus dibersihkan menjelang Idul Fitri? Aku mengembalikannya pada konteks ketika aku mengerjakan puasa di bulan Ramadan, membayar zakat dan beberapa hari lagi Idul Fitri meminta maaf kepada orang lain.

Puasa bulan Ramadan mengajariku metode makan yang sejati. Ia lebih dari sekadar aktivitas jasmani tidak makan dan tidak minum. Kalau sekadar tidak makan, seekor ular pun sanggup "berpuasa" selama berhari-hari.

Puasa menjadi metode bersih-bersih yang menyapu kotoran nafsu serakah, dan yakinlah, volume serta takaran keserakahan itu tiada memiliki batas dan tiada pernah ada batasnya selain kematian.

Bagaimana dengan zakat fitrah? Tiada beda dengan prinsip metode bersih-bersih puasa. Zakat yang kita tunaikan akan membersihkan kepemilikan harta kita. Zakat menyapu kotoran medit, cetil, kikir, bakhil justru setelah kita merasa bahwa ini duitku, hartaku, mobilku, kekayaanku adalah hasil kerja kerasku.

Semua yang serba "ku" itu menumpuk dan menjadi kotoran yang mengendap lalu mengeras dalam dasar jiwa. Yang mengenaskan adalah manakala diriku dan diri saya mati tertimbun oleh batu semen cor-coran "ku".

Sebelum semuanya berakhir sebagai tragedi kematian akibat ditimbun benda-benda yang disangka begitu berharga sehingga tiada yang lebih berharga dan bermakna selain menimbun benda-benda, atau membangun reputasi semu, atau menegakkan citra diri palsu---aku dan saya mengeluarkan zakat fitrah dan zakat maal sebagai upaya bersih-bersih diri sebelum Idul Fitri.

Kalau puasa mengajariku makan yang sejati, maka zakat membimbingku meraih kekayaan yang sejati.

"Apa yang sejati-sejati itu diakui oleh selera pasar? Cara pandangnya yang lumrah-lumrah saja. Bobot tulisannya yang ringan-ringan sehingga mudah dikunyah," protes saya.

"Mungkin pasar kurang berselera terhadap yang sejati," ucapku. "Namun, secara alami naluriah manusia akan kembali pada yang sejati, melalui berbagai cara dan momentum, sehingga ia akan tepergok sendiri oleh bayang-bayang kepalsuan yang selama ini dia agung-agungkan."

"Apa yang mendasari asumsi itu?"

"Ini bukan asumsi tapi kasunyatan hidup. Silakan manusia menggunduli hutan, menguras isi lautan, merobohkan gunung, mendaki puncak singgasana kekuasaan. Kelak, ketika ajal tiba ia akan merohani. Sedangkan jasadnya akan kembali menjadi tanah."

Dari kasunyatan hidup itu aku dan saya memerlukan momentum Idul Fitri. Kembali kepada yang fitri, kembali kepada yang suci. Kembali kepada yang fitri dan suci itu ya kembali kepada yang sejati. Bersih-bersih menyambut Idul Fitri itu menyucikan jiwa agar kembali meraih yang sejati.

"Jika demikian di manakah konteks saling memaafkan antar sesama manusia pada momen Idul Fitri?" Kali ini saya benar-benar penasaran.

"Yang pasti, kita memiliki bertumpuk-tumpuk kesalahan kepada orang lain. Kotoran itu ya harus dibersihkan. Caranya, kita meminta maaf kepada yang bersangkutan sambil berjanji tidak mengulangi kesalahan itu."

Aku sadar, jawaban itu terbilang normatif dan klise. Padahal aku juga memendam jawaban berikutnya.

Kesalahan yang kita perbuat pada satu orang saja, imbas serta akibatnya bisa menyusahkan ratusan, ribuan bahkan jutaan orang lain.

Apalagi kalau tangan kita menggenggam simpul-simpul kekuasaan di mana hajat hidup orang banyak bergelantungan di sana. Aku akan bersimpuh dan menangis di kaki mereka untuk meminta maaf.

Belum lagi aku harus meminta maaf kepada tanah, air, udara, pohon, hutan, lembah, serta semua partikel yang menyangga keseimbangan semesta.

Betapa kotor hidupku!

Betapa tak terhitung kesalahanku!

"Kok urusannya jadi ruwet dan panjang. Padahal tema yang kamu tulis adalah bersih-bersih sambut Idul Fitri."

"Semakin diselami, semakin didalami, semakin dihayati, kita akan berjumpa dengan kedalaman dan keluasan," ungkapku.

"Saya tidak menyangka tulisan ini jadi begini."

"Aku juga tidak mengira tema bersih-bersih yang kelihatan sederhana ternyata menyeret diriku dan diri saya menuju gua permenungan yang sunyi." 

Ternyata masih tersisa satu pertanyaan: tulisan ini makhluk jasmani atau makhluk rohani? []

Jombang, 190520

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun