Persoalannya kini bergeser. Sebagai makhluk rohani dan jasmani, apakah manusia telah menjaga keseimbangan dirinya? Apakah yang terjadi bukan sebaliknya: manusia justru mementingkan eksistensi jasmani?
Akibat ketidakseimbangan itu manusia lantas berpikir bahwa yang dimaksud bersih-bersih menjelang Idul Fitri adalah mengecat tembok rumah, membeli baju baru, mengganti mobil lama dengan mobil baru.
"Jangan buruk sangka!" tiba-tiba saya menyela.
"Aku tidak menuduh orang lain. Kalau pun ada pemikiran dan tindakan yang salah, itu kesalahan diriku dan dirimu."
Materialisme, individualisme, egoisme hingga kapitalisme global merupakan produk manusia yang belum tepat mengenali dirinya. Ia menomorsatukan eksistensi jasmani seraya mengabaikan kasunyatan rohani.
"Maka, jangan menyepelekan tema bersih-bersih menjelang Idul Fitri!" ucapku tegas.
"Saya tidak menyepelekan. Tema tersebut justru menemukan momentumnya," ungkap saya. "Momentum ketika manusia terperangkap oleh penampilan wadag dan pencitraan diri."
"Aku sepakat tapi dengan satu catatan," kataku. "Yang dimaksud manusia di sini bukan orang lain, tapi aku dan kamu."
Saya tidak berkata lagi. Barangkali saya tengah menyusun pokok pikiran selanjutnya. Kesempatan ini aku pergunakan untuk menekan diri saya agar mau jadi pendengar yang baik. Â
Apa yang harus dibersihkan menjelang Idul Fitri? Aku mengembalikannya pada konteks ketika aku mengerjakan puasa di bulan Ramadan, membayar zakat dan beberapa hari lagi Idul Fitri meminta maaf kepada orang lain.
Puasa bulan Ramadan mengajariku metode makan yang sejati. Ia lebih dari sekadar aktivitas jasmani tidak makan dan tidak minum. Kalau sekadar tidak makan, seekor ular pun sanggup "berpuasa" selama berhari-hari.
Puasa menjadi metode bersih-bersih yang menyapu kotoran nafsu serakah, dan yakinlah, volume serta takaran keserakahan itu tiada memiliki batas dan tiada pernah ada batasnya selain kematian.