Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Antara Aturan Birokrasi, "Agama" Kejawen dan Pilar Kebudayaan Nusantara

9 Mei 2020   21:04 Diperbarui: 9 Mei 2020   20:58 3729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu adegan dalam film pendek

Niat baik tidak selalu berjalan sesuai harapan. Bisa saja ia menemui kendala urusan teknis bahkan bertolak belakang dengan keyakinan seseorang.

Itulah yang dialami Mas Darno, petugas dari Kecamatan, saat blusukan ke daerah terpencil, dusun Rojoalas. Ia harus menemui Mbah Karsono, warga lansia yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), sebagai syarat mendapat Kartu Sehat Manula.

Di rumah berdinding kayu, berlantai tanah, dan ruang tamu khas rumah pedesaan, Mbah Karsono menerima "tamu agung".

"Tujuan kulo mriki, bade sosialisasi Kartu Sehat Manula," ucap Mas Darno. "Dados menawi Simbah gerah, Simbah ten Puskesmas napa rumah sakit, gratis, dibiayai pemerintah. Nanging, syarate kedah kagungan KTP."  

Persoalan mulai terjadi. Mas Darno minta "data" untuk pengisian KTP. "Oh, njeh, monggo, niku...," kata Mbah Karsono sambil menunjuk tumpukan batu "bata" di pojok ruang tamu.

"Mbah, kulo nyuwun data, sanes bata." Mas Darno mulai merasa kesal.

"Oh, data..." ujar Mbah Karsono mantab.

"Ngertos to, Mbah?"

"Mboten."

Pengisian data KTP pun dimulai. Tidak ada kendala saat Mas Darno bertanya nama lengkap, tanggal lahir, dan usia. Mbah Karsono menjawabnya secara polos. Ia mengaku tidak tahu tanggal dan tahun kelahirannya. Tidak pula ingat berapa usianya.

Pertanyaan berlanjut. "Menawi agama, Mbah?"

"Kejawen," jawab Mbak Karsono.

Ini persoalan yang serius. Formulir pengisian data KTP hanya mencantumkan enam agama. Kejawen tidak ada. Namun, Mas Darno punya solusi.

"Ngeten mawon, Mbah. Menawi kulo tulis Islam mawon pripun?"

"Yo ojo. Wong aku ora tahu shalat," jawab Mbah Karsono.

Mas Darno pun menawarkan agama lain sekadar syarat "formalitas" agar Mbah Karsono memiliki KTP. Mbah Karsono tetap bersikeras menolaknya.

Lalu, datanglah tetangga sebelah, Nunung, mengembalikan palu milik Mbah Karsono. Kesempatan ini digunakan Mas Darno untuk meminta tolong Nunung membujuk Mbak Karsono agar memilih salah satu agama yang "diakui" pemerintah.

"Mbah, lha Jenengan niku agamane napa?" tanya Nunung.

"Ya Kejawen. Manunggaling kawula gusti," kata Mbah Karsono sambil tangannya menunjuk ke atas.

Nunung pun menyarankan Mbah Karsono pura-pura memilih salah satu agama hanya sebagai persyaratan. Hendak mencentang salah satu agama, Mas Darno tidak berani. Takut memalsu data, katanya.

Pengisian data KTP macet. Pripun niki? Lha piye? Pripun, Mbah? Piye iki, Nung?

Nunung punya ide cemerlang. "Bagaimana kalau kita mengundang Pak RT?"

Pak RT tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. Selaku pimpinan yang mengerti kehidupan warganya, Pak RT memahami agama yang diyakini Mbah Karsono. Namun, persoalannya, di kolom pengisian data KTP hanya ada enam agama. Kejawen tidak ada.

"Yo wes ora nduwe (KTP) yo ora opo-opo," ucap Mbah Karsono.

Pengisian data KTP macet lagi. Pripun niki? Lha piye? Pripun, Mbah? Piye iki, Nung? Pripun, Pak RT?

"Ahaaa, bagaimana kalau kita mengundang Pak Harso, Ketua Badan Musyawarah Warga?" usul Nunung.

Secepat kilat Pak Harso sudah hadir di ruangan.

"Saya tidak bisa bantu, kalau Mbah Karsono tidak bisa dibujuk," ungkap Pak Harso.

Pengisian data KTP, lagi-lagi, macet. Pripun niki? Lha piye? Pripun, Mbah? Piye iki, Nung? Pripun, Pak RT? Pak Harso, pripun niki?

"Ahaaa, bagaimana kalau kita panggilkan Mbak Sumirah, Mbok Dhe Narti, Joni, Susi Parabola, Mat Beruk, Mbak Sri Kribo. Pokoknya semua diundang ke sini...!"

Musyawarah warga pun berlangsung. Upaya membujuk Mbah Karsono terus berlangsung. Namun, lagi-lagi, Mbah Karsono tetap dengan keyakinannya.

"Untuk urusan Mbah Karsono tidak perlu dipaksa membuat Kartu Sehat," usul seorang warga.

"Ora nduwe yo ora opo-opo," ucap Mbah Karsono.

Nunung mencoba merayu lagi. Kalau Mbah Karsono sakit gara-gara disepak jaran atau diserempet truk dan harus dirawat di rumah sakit, siapa yang menanggung biayanya? Kalau punya kartu sehat nanti biaya pengobatan ditanggung pemerintah.

Pak RT angkat bicara, mengusulkan warga iuran saja untuk menanggung kehidupan Mbah Karsono.

"Kita menerima Mbah Karsono dengan apa adanya, menerima kepercayaannya," ucap Pak RT. "Dan kita tidak mempermasalahkannya. Bagaimana kita warga di sini yang mengurus Mbah Karsono?"

Usul diterima. Warga bulat mufakat menerima dan mengurus Mbah Karsono. Semua masalah beres.

"Mas Darno silakan balik ke kantor. Mbah Karsono biar diurusi warga sini," kata Pak RT mengakhiri polemik pengisian kolom agama.

Selengkapnya, silakan dinikmati film pendek "KTP" berikut ini.


Ini film pendek, diproduksi oleh ASA Film dan disutradarai Bobby Prasetyo. "KTP" berhasil memenangi Juara I Kategori Umum Festival Video Edukasi (FVE) 2016 yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).

Tema solidaritas dalam film pendek "KTP" ini hanya satu bagian dari keseluruhan problematika yang kerap dihadapi warga masyarakat. Solidaritas, setia kawan, kepedulian bukan satu penggalan tema yang lantas bisa dicopot dan dicomot begitu saja.

Problematikanya kadang begitu complicated. Aturan birokrasi "dari atas" tidak semulus harapan manakala diterapkan "di bawah". Regulasi dan kebijakan yang "birokrasi oriented" sering bertabrakan dengan fakta di lapangan.

Bahkan, agar bisa memperoleh bantuan pengobatan warga harus menyesuaikan sakitnya dengan daftar regulasi jenis-jenis penyakit yang ditetapkan pemerintah.

Diakui Pemerintah

Film pendek "KTP" justru berani menukik pada inti persoalan yang sering menyentuh ranah sensitif publik, yakni persoalan agama dan keyakinan. Gara-gara keyakinan yang dianut tidak sesuai dengan daftar isian kolom di KTP, Mbah Karsono tidak bisa memiliki Kartu Sehat Manula.

Akibatnya, publik menganggap hanya enam agama itu yang diakui pemerintah. Hal itu terungkap setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.

Dikutip dari Kompas.com, MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP. Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan.

Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata "agama" dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. (Kompas.com)

Dinamika hukum telah menghasilkan keputusan yang berpihak kepada penganut aliran kepercayaan. Namun, bukan berarti film pendek "KTP" kehilangan kontekstualitasnya. Bagaimana pun birokrasi harus menjadi bagian dari solusi.

Jika tidak, yang terjadi adalah eskalasi komplikasi persoalan kian menumpuk. Alih-alih menjadi bagian dari solusi, birokrasi justru menyumbang persoalan di tengah permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Solidaritas: Tonggak Peradaban Nusantara

Adakah solusinya? Tentu saja ada, dan lagi-lagi, solusi itu berakar dari budaya masyarakat, yaitu musyawarah dan gotong-royong. Tanpa memiliki KTP dan Kartu Sehat Manula kehidupan Mbah Karsono ditanggung oleh warga.

Itu kritik keras: di daerah terpencil, tanpa kehadiran pemerintah, warga tetap bisa hidup guyub, rukun, dan saling membantu dalam solidaritas yang utuh.

"Kehadiran pemerintah kadang justru merepotkan rakyat," ujar Cak Nun pada pada acara Maiyahan. Melalui fakta yang ditampilkan film pendek "KTP" pernyataan Cak Nun menemukan kebenarannya.

Ketika pemerintah lamban menurunkan bantuan sosial bagi warga terdampak virus corona, kita juga menyaksikan solidaritas warga bermunculan. Solidaritas sebagai perilaku hidup komunal menjadi modal sosial yang berharga bagi bangsa Indonesia.

Ringkas kata, solidaritas bukanlah perilaku yang ujug-ujug ada. Ia adalah produk kebudayaan bahkan menjadi salah satu tonggak peradaban Nusantara.

Pertanyaannya, apakah kita akan menjaga tonggak itu atau justru menggerogotinya dengan perilaku korup yang dilembagakan? []

Jagalan, 090520

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun