Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Karena Hidup adalah Menghampiri Cakrawala "La'allakum..."

27 April 2020   02:59 Diperbarui: 29 April 2020   04:05 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pedagang yang menunggu pembeli| Foto: Kompas.id/P Raditya Mahendra Yasa

Selain kematian sebagai keniscayaan, kita dibekali harapan. Seorang penjual bakso bersama gerobaknya menyusuri jalanan karena didorong oleh harapan dan keyakinan bakal bertemu pembeli. Tukang tambal ban di tepi jalan punya harapan ada orang datang bersama ban sepeda motornya yang bocor.

Pagi hari seekor burung pun terbang meninggalkan sarang lalu kembali ke sarangnya sore hari karena ada "harapan" akan mendapat makanan.

Hidup bergerak dan siklus kehidupan berjalan karena ada harapan, semoga, cita-cita, asa, atau la'aallakum.

Demikian juga penghambaan kita kepada-Nya tidak mengenal garis finis. Kita berada pada posisi la'alla atau semoga. Kualitas muslim yang dimiliki seseorang pada dasarnya berposisi "semoga". Muslim, mukmin, orang bertakwa bukan pencapaian final. Ia bersifat dinamis.

"Semoga kita menjadi seorang muslim dan mukmin," demikian ungkapan verbalnya. Pada kata "semoga" terkandung dinamika perjuangan sekaligus aktualisasi yang dikerjakan secara terus menerus untuk tiba di cakrawala kualitas muslim dan mukmin.

Kata "semoga" juga merupakan sikap rendah hati bahwa kita belum seratus persen baik dan sempurna di mata Tuhan.

Memang Enak Tidak Puasa, Tapi...

Itulah sebabnya di awal tulisan ini saya berusaha jujur dan terbuka bahwa romantisme budaya selama bulan Ramadan lebih kuat mengisi kenangan saya. Bahkan kalau disuruh memilih enak mana puasa dan tidak puasa, pilihan saya jatuh pada enak tidak puasa.

Namun, hidup tidak hanya berurusan dengan enak dan tidak enak atau suka dan tidak suka. Terdapat dimensi kesadaran kualitatif selain enak dan tidak enak, yakni baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, indah dan tidak indah.

Kalau berhenti pada enak dan tidak enak, kita akan terkurung pada kedewasaan yang semu, karena anak kecil pun memiliki pertimbangan itu. Kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang ditentukan oleh kesungguhannya menjalani laku yang tidak disukainya hingga tiba di batas kesadaran apa yang tidak disukainya ternyata memberinya manfaat.

Jangan-jangan apa yang engkau senangi itu sesuatu yang buruk bagimu. Sebaliknya, apa yang engkau benci, justru itu baik bagimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun