Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Karena Hidup adalah Menghampiri Cakrawala "La'allakum..."

27 April 2020   02:59 Diperbarui: 29 April 2020   04:05 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pedagang yang menunggu pembeli| Foto: Kompas.id/P Raditya Mahendra Yasa

Zaman dahulu, langgar, surau, mushola atau masjid menjadi salah satu pusat pendidikan. Anak-anak belajar mengaji, cara wudu dan shalat, serta perilaku andhap asor ya dari pendidikan di surau.

Apalagi pada malam hari selama bulan Ramadan anak-anak tidur di mushola atau surau. Belum ada Pesantren Kilat yang diselenggarakan sekolah. Di surau anak-anak belajar tentang bekal hidup: ilmu dan perilaku menjadi manusia.

Jam sepuluh malam. Lampu mushola dipadamkan. Gelap gulita. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Sepi dan syahdu. Seorang anak yang sudah senior mulai mendongeng. Tidak ada yang berkomentar atau clometan.

Dongeng Kasan Kusen, Tongkat Nabi Musa, Perahu Nabi Nuh, Dramatisasi Munculnya Dajjal, atau kisah misteri dan horor, seperti Kuntilanak, Ndas Glundhung, Sundel Bolong, Jari Jempolan dan Pocong mengisi malam-malam menjelang tidur di mushola.

Imajinasi terasah. Kepekaan bahasa terbentuk. Empati terhadap tokoh cerita meresap dalam batin. Bangunan moral terbangun. Dan kelak, semua software kesadaran itu masih cukup aktual sebagai pemandu nilai di zaman yang katanya serba digital ini.

Kini, sastra surau diambil alih oleh televisi dan media sosial. Di waktu prime time anak-anak tidak lagi berkumpul di surau, melainkan duduk manis di depan televisi. Sebagian yang lain "khusyuk" menatap layar HP.

Selalu Ada Harapan, La'allakum...

Zaman sudah berubah. Namun, kerinduan terhadap suasana bulan Ramadan yang polos, magis dan syahdu masih saja menusuk-nusuk dinding kenangan.

Apa boleh buat. Memutar mundur jarum jam menuju dua puluh tahun silam juga tidak mungkin. Yang bisa kita kerjakan saat ini adalah mengendapkan setiap pengalaman agar tersaring nilai-nilai kebijaksanaan. Apa itu?

Tidak ada yang pasti dalam hidup ini kecuali kematian. Apalagi di tengah wabah Covid-19 kematian hadir begitu dekat. Padahal, ada wabah atau tidak, sakit atau sehat, kaya atau miskin, kematian tidak memandang bulu dan tidak memilih orang.

Namun putus asa juga bukan sikap yang tepat. Selalu ada harapan, doa, cita-cita. Kepada orang yang berpuasa Tuhan membentangkan harapan: la'allakum tattaquun. Semoga kamu menjadi orang yang bertakwa. Ya, semoga, atau bahasa Arabnya la'alla.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun